Pada 18 Juli 2010 ini ditetapkan sebagai Hari Nelson Mendela I. 
Panitianya mengajak warga dunia untuk 67 menit saja minimal, berbuat 
bagi mereka tertindas, bagi mereka miskin, bagi mereka papa. Data BPS 
menyebutkan 32 juta orang Indonesia miskin. PBB bilang masih lebih 50% 
penduduk kita miskin - - jika acuan pendapatan minimal  US $ 2 per hari.
 Saya berusaha belajar  rendah hati dan, siapa tahu Anda, mencoba pula 
berkaca  membeningkan hati: jernih bertutur jujur, demi  berbuat bagi 
meningkatnya mutu peradaban.





ANAK saya yang kedua, ketika masih di usia 3 tahun - - kini 
delapan tahun - - suka menyanyikan lagu yang acap didendangkan Ustad Aa 
Gim, ”Jagalah hati  jangan kau nodai, dan seterusnya.”  Sayangnya sang 
ustad  itu kini seakan tenggelam karena menikah lagi. Kini Aa lebih 
banyak ditanggap berceramah di Singapura, Malaysia, Filipina.



Kita di Indonesia, belum ”sehebat” Argentina, membuka diri mampu bijak 
bestari. Masyarakat Argentina memisahkan urusan pribadi dengan kodrat 
hati memimpin kehidupan. Kita belum semenerima  bagaikan  Argentina 
menghargai  Carlos Menem, membungkus ranah pribadi, lalu  mengedepankan 
prestasi diri.



Sebaliknya justeru prestasi  kita di  tahun  ini paling sakti. Tak ada 
duanya di muka jagad kini. Prestasi itu menularkan penyakit latah ke 
media besar dunia  mengabarkan  aib pribadi. 



Di negara besar  - - AS dan Inggris - -  nan terlanjur latah 
memberitakan aib video porno  Ariel, film porno  bahkan dibuat dengan 
tata pencahayaan prima; artis bohai, bahkan lengkap adegan, maaf, hingga
 burung terkulai. Negaranya santai-santai.



Kita, media di Indonesia, tak peduli lagi berapa devisa yang telah 
dicetak Ariel, Peterpan, dari segenap albumnya nan laris manis di 
Malaysia, Singapura, hingga Suriname, Belanda.  Semua seakan tiada, sama
 seakan lenyapnya segenap kebaikan yang pernah disiarkan  Ustad Aa Gim 



Dalam kerangka inilah saya melihat bahwa bangsa Indonesia kini 
berpenyakit hati: dari kena virus busuk, memang  sudah busuk, hingga 
membeku hati.



Apatah pula, macam kalimat saya menganjurkan negara mengirim grup band 
potensial pergi sembilan  bulan belajar bahasa Inggris ke Inggris. Agar 
mereka  bertutur bercengkok native Inggris, lalu membuat album barat, 
berpeluang besar  meraih devisa. Sebuah ide yang akan ditertawakan saja.
 Bisa saja dianggap gila.



Tak banyak pihak mafhum, bahwa Argentina, devisa keduanya datang dari 
Polo; mulai dari ekspor kuda polo, piranti olah raga polo, hingga 
mengekspor tenaga pengajar pelatih Polo. Pelatih Nusantara Polo-nya 
Prabowo Subianto, di Jagorawi, Bogor, Jawa Barat, Indonesia, juga 
berasal dari Argentina. 



Hal ini saya tuliskan, sebagai contoh tabiat pikir, jika kita membuka 
hati, tidak macam  kodok dalam batok, kunci otak mengalirkan isi 
cemerlang bahwa  banyak sisi lain, khususnya ranah positif, membawa 
kehidupan terang benderang. 







KETIKA  pertama  menjadi jurnalis yunior pada medio  1980-an, 
lagak saya luar biasa. Luar biasa angkuhnya. 



Jika saya ingat kini, bah, sok kali! 



Bayangkan sebagai reporter di kelompok media Tempo, saya dengan mudah 
berjumpa pejabat, bertemu direksi papan atas perusahaan besar. Alamnya 
kala itu,  acap ketemu pula  sumber berita nan ongeh  - - setingkat di 
atas congkak - - ikut pula mewarnai ketinggi-hatian diri sebagai 
reporter. 



Kala itu acap saya bertemu pejabat didampingi ajudan, map, buku, data, 
dan tas lain lagi  ajudan yang membawakan. Kini setelah tak menjadi 
wartawan di media mainstream, corak langgam demikain tidak kian punah. 
Bahakn ketika ke Papua, ada oknum Bupati di sana yang lakunya bak raja 
di raja.



Laku pasukan pengawal presiden, yang menggebrak kap mobil, mengancam, 
bukan terjadi kali ini. Sejak di era Soeharto juga acap nian. Tapi dulu 
mana ada yang berani memuat menuliskan?



Poin saya,  kejadian demikian, sesungguhnya, titik utamanya di urusan 
permasalahan hati. Hati yang tak kunjung rendah. Hati yang kotor.  Hati 
yang kian meninggi  bahkan masih ingin tinggi lagi menggapai langit 
tinggi-tinggi. 



Padahal jazirah alam  dari sananya di ketinggian langit berhawa minus 
derajat. Maka  tak heran, bila Anda di sana pasti bekulah hatinya.



Bila  hati sudah beku, maka data kemiskinan pun bisa dibulak-balikkan. 
Membuat UU pun  bisa-bisa TERTEGA di dunia, misal dalam penggelapan 
pajak, UU yang dibuat DPR, bunyinya boleh diselesaikan dengan cara di 
luar pengadilan dengan membayar denda  MAKSIMUM  400% dari pajak yang 
dihasilkan. Ini salah sastu contoh saja produk yang dihasilkan dari 
kebekuan hati.



Urusan tertega di jagad ini, juga tampak misalnya di Direktorat Jenderal
 Pajak (DJP). Sudah jelas indikasi bobol Rp 1.300 triliun di Transfer 
Pricing, maka seksi yang menangani 5 orang saja dari 32.000 jumlah 
karyawan. Dan lantas jika uang pembangunan kurang, karena hati beku, 
yang kemudian tampaknya hanya menaikkan harga gas, BBM, listrik dan 
kemudian semua harga melambung. Jalan tol, tanpa pengembangan jalan 
alternatif pun,  ikut-ikutan  naik. Kita seakan hidup di negara 
berbekuan hati. 



Begitulah bila segala kebijakan diambil oleh insan berhati beku.



Hati beku tidak menggerakkan otak mengalirkan pikiran kreatif, apalagi 
terobosan  jitu.  Maka tantangan ke depan carilah pemimpin yang tidak 
beku hatinya. Sebab yang kemudian kental  ada di pasaran adalah gaya 
pemimpin  bak kodok di dalam batok.





MAKA  ketika saya di awal 2000-an berjumpa dengan sosok jurnalis 
senior AS di Jakarta,  Bill Kovach, yang menuliskan buku   The Element 
of Journalism, secara nyata ia tegaskan, bahwa kunci utama verifikasi, 
adalah kerendahan hati.



Dan setelah aktif terus menulis, mencoba mengedepankan hati, termasuk 
membasuh kisi-kisi hati yang kotor karena congkak dulu, saya menemukan 
jawaban bahwa: memang tak perlu tinggi hati, apalagi kian meninggi, toh 
di cakrawala sana, di ketinggian 10.000 kaki, misalnya, beku nyatalah 
hati Anda.



Dan, jika kehidupan di Indonesia kita bukan kian enak rasanya, tak perlu
 lagi saya jabarkan karena ulah apa? 



Sehingga jika di teve Anda menyimak berita rakyat miskin dibagikan beras
 dan mie instan, itulah fakta nyata, betapa bekunya hati yang membuat 
program. 



Beras karbohidrat. Mie instan isinya? Dua bungkus saja dimakan, tanpa 
asupan makanan bergizi lain, saya jamin yang memakan pada sulit buang 
air besar. Bahkan kakek-nenek, bisa-bisa mengeluarkan darah duburnya. 



Tak ada bantuan ke orang miskin membagikan pisang, buah segar, apalagi 
susu segar. Semuanya sudah terjangkit beku hati, otak dan nalar menjadi 
seragam: bantuan, ya, beras, ya, mie instan.



Itulah hasil kebekuan hati yang terkadang datang menyerang secara 
instan!



Karenanya di hari ini, di mana panitia Hari Nelson Mandela yang jatuh 
hari ini, saya meneruskan ajakan, 67 menit saja Anda berbuat bagi 
kemiskinan. Dan  jika Anda enggan mengeluarkan uang  bantuan - - dalam 
pengelaman saya di lapangan kini, kuat dugaan makin kaya seseorang makin
 pelit dan kian berhitung mengeluarkan uang - -  cukup 6,7 detik saja 
tafakur.



Bertanyalah  ke lubuk hati yang dalam: apakah hati saya sudah latah kena
 penyakit beku hati?



Anda sendirilah menjawabnya! Siapa tahu hari ini Anda mampu mencairkan 
kebekuan hati. Dan jika berhasil, saya yakin besok, jika Anda pejabat, 
akan lain lagak-langgamnya, juga kebijakannya. Dan jika tetap sama, 
maka, bukan saja beku, tapi Anda telah mati hati! ***



Iwan Piliang, literary citizen reporter, blog-presstalk.com



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke