Ada Duri di Balik Century, Mengapa Tetap Diselamatkan?

    If you borrow 100 dollar, you are at the mercy of the bank
    But if you borrow 1 million dollar, the bank is at your mercy ….
    
   

    Metafor di atas menunjukkan bahwa perbankan adalah bisnis yang penuh 
komplikasi. Masalah yang dihadapi bukan melulu soal tekhnis keuangan, tapi juga 
soal kepercayaan dan psikologi publik. Istilah “risiko sistemik” pada perbankan 
misalnya, kerap terjalin kusut dengan salah kaprah. Adakah sebenarnya risiko 
sistemik itu? Atau itu hanya istilah semantik yang digunakan politisi dalam 
menutupi kepentingannya?

    Kasus bailout lembaga keuangan di Amerika Serikat dan Eropa, atau sejarah 
krisis sepanjang zaman, menunjukkan bahwa “risiko sistemik” adalah hal yang 
inheren dalam dunia keuangan. Itu adalah sebuah risiko akan terjadinya 
instabilitas di pasar keuangan yang dapat merambat ke sektor riil. Saat krisis 
terjadi, kepercayaan masyarakat runtuh. Saat itu, umumnya Pemerintah turun 
tangan mem-bail out sistem keuangan, meski misalnya, kesalahan seperti 
penerbitan subprime mortgage, dilakukan oleh para pemilik bank.

    Kegalauan itu pula yang mengemuka dalam kasus penyelamatan Bank Century. 
Kita perlu membedakan antara penyelamatan Century karena risiko sistemik dengan 
kejahatan perbankan yang dilakukan pemilik bank. Sayangnya, isu politis telah 
bercampur baur dengan isu tekhnis. Permasalahan penyelamatan bank, kejahatan 
perbankan, kebijakan pengawasan, hingga langkah penyelesaian, simpang siur 
dalam wacana publik.

    Mengapa Bank Century Diselamatkan?

    Banyak pendapat mengatakan bahwa Bank Century adalah bank kecil. 
Penutupannya dinilai lebih baik daripada penyelamatannya. Lantas, mengapa pada 
saat itu (akhir 2008) Bank Century tidak ditutup saja?

    Sebelum menjawab hal itu, ada baiknya kita melihat pada kontekstualisasi 
saat peristiwa itu terjadi. Terlepas dari permasalahan yang terjadi di Bank 
Century, pada akhir 2008, Indonesia sedang terkena imbas krisis global yang 
luar biasa dahsyatnya. Saat itu, Bank Century menghadapi “sakratul maut”. 
Pilihannya adalah menutup bank itu atau menyelamatkannya. Apabila melihat pada 
dampaknya di sektor riil dan jumlah nasabahnya, Bank Century sebenarnya 
termasuk ke dalam low impact bank. Jumlah nasabahnya pun hanya 65.000 orang. 
Artinya, apabila ada permasalahan, menutup bank ini memiliki dampak kecil ke 
sektor riil dan nasabah.

    Namun hal itu hanyalah satu parameter dalam mempertimbangkan penutupan 
suatu bank. Beberapa parameter lain perlu menjadi pertimbangan, khususnya 
apabila melihat apakah penutupan bank itu membawa “risiko sistemik”.

    Parameter pertama adalah melihat bagaimana dampak penutupan Bank Century 
pada bank lain. Dilihat dari parameter itu, Bank Indonesia memandang imbasnya 
sangat besar. Data pada waktu itu menunjukkan bahwa ada beberapa bank yang 
memiliki eksposur besar di Bank Century. Artinya, dana bank-bank tersebut akan 
“nyangkut” di Bank Century melalui fasilitas Pasar Uang Antar Bank (PUAB). 
Beberapa bank akan mengalami masalah likuiditas. Akibatnya, rasio kecukupan 
modalnya (CAR) akan anjlok. Kalau CAR suatu bank anjlok, bank tersebut langsung 
masuk ICU, atau pengawasan khusus BI. Masalah tidak berhenti di situ, karena 
efeknya akan berantai ke bank-bank lainnya.

    Parameter lain yang menjadikan Bank Century sistemik pada waktu itu, adalah 
imbasnya ke pasar modal, baik pada saham maupun obligasi. Belum lagi menghitung 
imbasnya pada sistem pembayaran antar bank, dan ditambah “trauma” masyarakat 
apabila mendengar sebuah bank “ditutup”.

    Kondisi ekonomi saat itu sungguh berada dalam posisi clear and present 
danger. Bangkrutnya Lehman Brothers dan ditutupnya lebih dari 50 bank di 
Amerika, belum termasuk di Eropa, telah menimbulkan “kengerian” yang luar biasa 
di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sistem keuangan Indonesia saat itu 
mengalami tekanan hebat. Kepercayaan publik terhadap perbankan merosot drastis. 
Hal itu dapat dilihat pada dana perbankan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 
yang biasanya mencapai Rp 200 triliun, tiba-tiba menyusut hingga “hanya” Rp 89 
triliun. Itu artinya, masyarakat beramai-ramai menarik dananya dari perbankan 
dalam jumlah besar. Untuk menutupi kebutuhan itu, perbankan mencairkan dana 
mereka di SBI.

    Indikator kepanikan masyarakat juga dilihat dari anjloknya dana deposito 
masyarakat di bank. Menyikapi penarikan ini, bank melakukan perang suku bunga, 
guna menghindari penarikan lebih lanjut. Di Pasar Uang Antar Bank (PUAB), 
bank-bank besar mulai menahan dana dan enggan saling meminjamkan pada bank yang 
membutuhkan. Akibatnya, bank kecil dan menengah mengalami kesulitan likuiditas.

Kondisi pasar uang saat itu, sungguh amat tegang.
   
Posisi CDS Indonesia tertinggi di Asia / sumber BI.
Di sisi lain, ada indikator risiko gagal kredit yang dinamakan CDS (Credit 
Default Swap). Ini adalah indikator yang berlaku internasional untuk melihat 
risiko kegagalan suatu negara dalam membayar kewajibannya. Makin tinggi 
indeksnya, makin tinggi risikonya. Saat itu, CDS Indonesia melonjak dari angka 
200 basis point (bps) menjadi 1400 bps. Risiko gagal Indonesia saat itu sungguh 
tinggi. Hal ini kemudian diikuti oleh penarikan dana asing yang mencapai 
sekitar 6 miliar dollar AS. Nilai tukar rupiah pun ikut tertekan. Masyarakat 
makin resah dan panik. Sebagian menarik simpanannya dan menukar ke dollar.

    Penutupan bank, dalam kontekstualisasi keadaan seperti di atas, akan 
menyebabkan kondisi semakin tidak terkendali. Masyarakat merosot kepercayaannya 
pada bank. Trauma penutupan 16 bank di tahun 1998 masih jelas membayang dan 
menjadikan mereka gelisah.

    Dari sisi ini, diperlukan sebuah professional judgement, atau executive 
decision yang berani. Tentu dengan segala risikonya. Bank Century pun 
diselamatkan.

    Duri di balik penyelamatan

    Namun di balik aksi penyelamatan itu, ada duri yang harus dipisahkan. 
Itulah kejahatan perbankan yang dilakukan oleh manajemen Bank Century. Secara 
diam-diam, manajemen Bank Century melakukan praktik-praktik kejahatan yang amat 
busuk. Beberapa praktik yang dilakukan antara lain adalah surat berharga 
senilai 11 juta dollar AS yang tak bisa dicairkan, letter of credit (L/C) 
fiktif senilai 100 juta dollar AS, pemalsuan bank note senilai 18 juta dollar 
AS, serta beberapa kredit fiktif lainnya bernilai jutaan dollar AS.

    Kejahatan perbankan seperti itu harus ditindak secara tegas. Oleh karena 
itu, langkah BPK untuk menuntaskan audit investigatif terhadap dugaan 
penyimpangan yang dilakukan oleh Bank Century, ataupun permasalahan dalam 
penyimpangan pengucuran dana, perlu dilakukan secara serius.
    Di sini kita perlu melihat secara proporsional antara penyelamatan, 
pengawasan, dan kejahatan. Kebijakan penyelamatan, adalah sebuah langkah yang 
berani dan dinilai tepat untuk menghindari kegagalan lebih besar pada sistem 
keuangan Indonesia. Namun, apabila dalam pelaksanaan penyelamatan itu terdapat 
penyimpangan, ataupun kejahatan pada perbankan, maka yang perlu diusut tuntas 
adalah kejahatannya, dan bukan pada kebijakan penyelamatannya.

    Saat puluhan bank ditutup di Amerika Serikat dan Eropa, perbankan di 
Indonesia justru solid di tengah guncangan krisis. Lebih dari 130 bank di 
Indonesia kondisinya sehat dan stabil dengan tingkat kesehatan yang baik. 
Bahwasanya dalam kondisi itu, ada satu atau dua bank yang sakit karena berbagai 
sebab, tentu memprihatinkan kita. Namun kiranya pandangan proporsional perlu 
diberikan pula pada berhasilnya pengawasan di 130 bank yang sehat.

    Mudah-mudahan kita bisa berpikir jernih dalam melihat kasus Bank Century. 
Mudah-mudahan kita tidak terseret pada diskusi semantik tentang risiko 
sistemik, apalagi isu-isu politis yang membelokkan isu sebenarnya.


Dikutip dari www.kompas.com

Junanto Herdiawan (Kompasiana)


      

Kirim email ke