Terima kasih pak Jakob Sumardjo atas pencerahannya.

 

Semoga bermanfaat sebagai bahan renungan, terutama bagi anggota Pansus yang
terhormat ....

 

AMI

 

 

Teater DPR

Sabtu, 23 Januari 2010 | 04:17 WIB

Jakob Sumardjo

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/23/04172148/teater.dpr

Dalam pertunjukan teater, seorang mahasiswa yang menjadi raja dapat
memaki-maki dosennya yang menjadi prajurit. Dan, Indonesia adalah sebuah
panggung sandiwara.

Waktu kita selama ini habis disita oleh teater semacam itu, bagaimana
seorang wakil presiden diperlakukan sebagai pesakitan oleh anggota-anggota
DPR yang katanya terhormat. Teater itu hanya nyata selama di panggung.
Setelah turun panggung, ganti dosen yang mencaci-maki mahasiswanya untuk
waktu yang lebih lama, dan berdampak sistemik bagi mahasiswa itu.

Bedanya sangat jelas, seorang presiden, wakil presiden, menteri itu menjadi
seperti dirinya melalui proses panjang. Dalam teater, seorang pemulung yang
gagah dapat disulap menjadi seorang patih, tetapi seorang pemimpin bangsa
tidak dapat disulap semacam itu, kecuali dalam sebuah kudeta. Seorang
kolonel bisa tiba-tiba menjadi presiden.

Sebagian besar anggota DPR adalah nama-nama yang sebelum duduk di sana
hampir tidak dikenal publik. Mungkin dikenal oleh organisasi partainya,
tetapi jelas tidak dikenal secara luas di masyarakat. Dan, tiba-tiba,
seperti pemulung yang menjadi patih, mereka mencecar wakil presidennya dalam
pertunjukan teater bangsa ini. Mereka ini tokoh tanpa proses. Mereka adalah
produk tanpa proses dan sebentar lagi mereka akan memanggil presidennya
untuk diperlakukan sama.

Bangsa ini menyatakan dirinya sebagai bangsa yang ramah, santun, berbudi
luhur, kenyataannya paradoks, kita bisa lebih barbar dari bangsa mana pun.
Seorang presiden dan wakil presiden yang dipilih mayoritas rakyat, di
Indonesia, dapat dibentak-bentak oleh wakil-wakil rakyat. Wakil rakyat dapat
lebih berkuasa dari rakyat yang diwakilinya. Dalam dunia calo atau broker,
hal ini lazim terjadi, pemilik barang justru dikuasai oleh wakil atau
perantara si pemilik.

Negara ini adalah negara percaloan, negara "markus" (makelar kasus). Kita
sudah tidak memiliki etika kenegaraan. Ibaratnya seorang guru besar yang
dijadikan bulan-bulanan mahasiswanya semata-mata karena dia mengajarkan
metode ilmiah yang tidak lazim. Semata-mata karena cara berpikir yang
berbeda. Ternyata bangsa ini masih menginginkan cara berpikir yang seragam
untuk mengatasi semua masalah. Karya ilmiah yang salah hanya dapat diadili
dengan karya ilmiah yang lain dan bukan dengan menganiaya profesornya.

Bangsa dan negara yang usianya hampir 70 tahun ini belum menemukan jati
dirinya yang stabil. Kalah dengan Vietnam yang baru merdeka 30 tahun yang
lalu karena mereka lebih stabil jati dirinya, sosialisme. Budaya bernegara
telah mereka capai sejak berdirinya. Rakyat telah paham negara dan bangsa
semacam apa yang akan mereka hidupi.

Indonesia adalah pendulum ideologi negara. Sejak tahun 1950, kita menganut
sistem pemerintahan demokrasi parlementer. Presiden dan wakil presiden cuma
simbol negara, mirip raja-raja Eropa. Eksekutif dijalankan perdana menteri
yang ditunjuk simbol negara. Periode 1950-1959 memang DPR begitu besar
kekuasaannya sehingga mampu meng-impeach perdana menteri. Itulah sebabnya,
hampir dua tahun sekali kita ganti pemerintahan. Gajah bertempur dengan
gajah dan rakyat terinjak-injak di bawahnya.

Kekacauan pemahaman

Mengalami zaman yang "tidak nyaman" ini, maka sejak tahun 1959, presiden
yang berkuasa, bahkan dinamakan demokrasi terpimpin yang berlangsung sampai
zaman presiden Soeharto. DPR dan MPR mati kutu, tahun 1998 pendulum bergerak
sebaliknya, kembali pada kekuasaan DPR yang nama-namanya dipilih rakyat
seperti halnya presiden. Resminya masih menganut presidensial, tetapi
praktiknya seperti kita lihat dalam teater berlakon "Bank Century" ini. Kita
tak usah kaget kalau muncul lakon-lakon lain yang lebih seru.

Hak angket DPR adalah warisan zaman parlementer Indonesia 1950-1959. Dalam
zaman sentralisasi presidensial, hak ini sama sekali tak muncul. Tak pernah
MPR dan DPR menanyakan kebijakan eksekutif negara, bahkan selalu menyetujui
dan menyanjungnya. Siapa berani mengoreksi Soekarno pada zaman mereka? DPR
dan MPR mati kutu dan jadi yes man. Setelah reformasi, bandul kenegaraan
berayun sebaliknya, DPR menjadi no man. Itulah yang terjadi sekarang.

Apakah sebenarnya hak angket itu? Bertanya atau mendakwa. Dialog atau
pengadilan? Kalau akhirnya hanya menyebarkan ketidakpercayaan rakyat kepada
eksekutif, akhirnya memang impeachment presiden. Ini amat berbahaya melebihi
bahaya zaman parlementer. Dulu yang dimaksulkan cuma perdana menteri yang
setiap saat dapat diganti. Namun, sekarang ini kepala negara yang harus
diganti.

Presiden itu harus dipilih kembali lewat pemilihan umum. Negara ini akan
bubar karena pemilihan umum akan dilakukan setiap tahun karena begitu
mudahnya menjatuhkan kepala negara seperti menjatuhkan perdana menteri zaman
dulu. Dan, sumbernya adalah DPR yang penuh tokoh tanpa proses ini.

Angket memang menanyakan kebijaksanaan eksekutif yang dianalisis dapat
membahayakan bangsa dan negara. Apakah hak angket juga meliputi
kebijaksanaan keliru yang sudah dilakukan? Apakah ini bukan wewenang
yudikatif? DPR adalah "pengadilan" pre-factum, sedangkan yudikatif
pengadilan post-pactum. Kekacauan pengertian hak angket dapat menjalar ke
mana-mana akibat juga mengurusi dosa masa lalu person eksekutif.

Indonesia bukan negara teater, Indonesia negara dan bangsa beneran. Dibunuh
di atas panggung itu sangat berbeda dengan dibunuh di luar panggung. Memaki
di atas panggung bisa berbeda sekali dengan memaki di luar panggung. Jadi,
mana panggung mana realitas?

Jakob Sumardjo Esais

 



 
<http://1422708.sigclick.mailinfo.com/sigclick/09050203/0607094C/0B03054D/03
08101171.jpg> 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke