Memang pemikiran kekuatan bersenjata belum tentu identik
dengan kekuatan pertahanan adalah benar, walau idialnya 
punya kekuatan dan peralatan persenjataan dan pesawat
tempur, kapal2 perang dll bisa jadi jaminan buat kekuatan
pertahanan suatu negara.
Dalam menyesuaikan kondisi keuangan negara yang masih 
fragile, kekurangan dan harus hutang dll, maka memang 
diperlukan kebijaksanaan yang sangat akurat , effektif dan 
efficient menghadapi beban keperluan negara.
Pemikiran macam2 pihak ditinjau dari segi kepentingannya
akan sulit sekali bisa memuaskan alokasi anggaran juga bagi 
pertahanan kita, misalnya soal anggaran pendidikan yang me
nurut UU harus 20% dari APBN misalnya.
Yang amat disesalkan adalah bagaimana cukup banyak anggaran
 buat subsidi2, BLT dll yang justru dipaksakan diambil dari 
hutang yang berbunga besar seolah2 seperti dana bencana alam
urgent, padahal sangat berbau politik uang.
Saya menyarankan kita bisa mempelajari bagaimana cara RRT 
bisa memadukan kepentingan2 ekonomi [ terutama industri dan
pertaniannya ] dengan masalah pendidikan, pertahanan dll 
yang kemudian bisa dilihat show of force kekuatan persenjataan
RRT di HUT ke 60 kemerdekaannya  kemarin [ di TV CCTV 9 
sangat amat megah paduan kekuatan persenjataan dan manusianya]
 
Diantara usulan2 me manage anggaran, saya kira perlu dikaji
bagaimana kebutuhan minimal alutsista kita yang juga sangat 
diperlukan buat penanggulangan bencana alam misalnya 
helicopter, pesawat2 angkut C 130, pesawatkapal2 perang skala tertentu 
yang bisa di mobilisir cepat menghadapi 




________________________________
 From: Agus Hamonangan <agushamonan...@yahoo.co.id>
To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Sent: Mon, October 5, 2009 11:17:07 PM
Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Kekuatan Bersenjata, Pertahanan, dan Ekonomi

 
Oleh Makmur Keliat

http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/10/05/ 0235428/kekuatan .bersenjata. 
pertahanan. dan.ekonomi

Suatu kekuatan bersenjata (armed forces) tidak dengan sendirinya menjadi suatu 
kekuatan pertahanan (defense forces). Hubungan yang tidak serta-merta otomatis 
ini dapat terjadi karena dua faktor.

Pertama, tentara terlibat sebagai kekuatan politik praktis. Kedua, tentara 
tidak memiliki peralatan dan persenjataan yang memadai untuk menjalankan 
profesi pertahanannya secara efektif. Walau asal muasalnya berbeda, keduanya 
menghasilkan tentara yang tidak profesional. Jika penyebab pertama terkait 
dengan faktor politik, yaitu sebagai pilar rezim politik otoriter, penyebab 
kedua terkait dengan faktor nonpolitik, dalam pengertian dapat ditemukan baik 
dalam rezim otoriter maupun demokratik.

Kalau kita merujuk pada ungkapan klasik Clausewitz bahwa bisnis tentara adalah 
keterampilan menangani kekerasan (violence) dan profesinya adalah perang (war), 
ada yang menarik untuk dicatat dari tentara yang tidak profesional dengan dua 
sebab yang berbeda ini.

Untuk sebab yang pertama, ketidakprofesionala n itu terjadi karena keterampilan 
kekerasan diarahkan pada sisi domestik yang harusnya menjadi tugas polisi dan 
lembaga penegak hukum. Sebab yang kedua, justru terjadi karena tidak memiliki 
kapabilitas untuk memaksimalkan keterampilan kekerasannya di sisi eksternal 
jika perang terjadi. Dalam rumusan lain, jika sebab yang pertama tidak disukai 
karena surplus kekerasan yang tidak pada tempatnya, sedangkan yang kedua justru 
karena defisit kekerasan yang tidak pada tempatnya. Dalam konteks Indonesia, 
penyebab pertama telah dialami pada masa Orde Baru, sedangkan penyebab kedua 
kini tengah dialami Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam satu dasawarsa 
terakhir.

Tiga indikator berikut barangkali bisa menjadi bermanfaat untuk kita renungkan 
bersama.

Pertama, postur pertahanan Indonesia, baik darat, laut maupun udara, 
menggambarkan postur pertahanan yang sangat defensif dengan kemampuan 
penggentar (deterrent capability) maupun penangkalan (denial capability) yang 
sangat terbatas dan tidak memadai. Postur pertahanan Indonesia sesungguhnya 
tidak disiapkan atau diorientasikan untuk memiliki kemampuan power projection 
di luar batas wilayahnya. Ia juga tidak diarahkan untuk melindungi sea lanes of 
communication untuk mendukung kepentingan- kepentingan ekonomi maritim 
nasionalnya.

Potret seperti ini tampak karena Indonesia hingga kini tidak memiliki—dan juga 
tidak merencanakan untuk memiliki—kapal induk (aircraft carrier) yang 
diperlukan oleh suatu negara untuk mendukung operasi militer jauh di luar 
wilayah nasional. Indonesia juga hanya memiliki striking force yang terbatas 
berupa 2 kapal selam, 6 fregate, dan 23 corvettes. Jumlah kapal terbesar adalah 
berjenis amfibi, patroli, dan logistik-pendukung. Postur yang sama juga 
ditemukan dalam struktur matra darat dan udara. Untuk matra darat, kekuatan 
terbesar alat utama sistem persenjataan (alutsista) terbesar bukan pada 
kekuatan offensive seperti tank dan rudal darat ke udara, tetapi pada 
penginderaan dan kendaraan pengangkut personel. Untuk Angkatan Udara, jumlah 
pesawat baik untuk striking force maupun mobilisasi juga sangat terbatas.

Kedua, walau Indonesia merupakan negara kepulauan, postur pertahanan Indonesia 
secara tradisional telah terstruktur untuk lebih berorientasi darat. Hal ini, 
misalnya, tidak hanya dapat dilihat dari jumlah personel matra darat yang 
melebihi jumlah personel matra laut (lima kali lebih besar) dan juga lebih 
besar dari matra udara (sepuluh kali lebih besar). Tidak hanya jumlah personel 
yang lebih besar, tetapi juga struktur pengorganisasian matra darat jauh lebih 
tersebar dibandingkan dengan matra laut. Jika matra laut terstruktur dalam dua 
pengorganisasian, yaitu armada laut timur dan armada laut barat, 
pengorganisasian matra darat sangat tersebar dan telah terstruktur hampir 
menyerupai garis administratif provinsi.

Struktur pengorganisasian seperti ini menyampaikan pesan yang dalam jika 
dikaitkan dengan pengertian ofensif dan defensif. Jika pengertiannya 
adalah—mengutip pendapat Andi Wijayanto (2009)—kemampuan untuk mendeteksi 
ancaman sedekat mungkin, barangkali tidak terdapat perubahan substansial dalam 
persepsi ancaman. TNI dapat disebut memiliki kapasitas yang sangat "ofensif" 
karena kuatnya persepsi bahwa ancaman terbesar datang dari dalam negeri. Dengan 
kata lain, TNI tidak dapat disebut "defensif" karena persepsi ancaman memang 
tidak diyakini datang dari sisi eksternal. Walau rentetan logika "ofensif" dan 
"defensif" ini dapat dinggap sebagai masuk akal (reasonable) , tetap saja 
menjadi suatu anomali jika dikaitkan dengan tipe ideal tentara yang dikemukakan 
oleh Clausewitz.

Ketiga, postur pertahanan Indonesia tampaknya tidak menghadapi perubahan 
signifikan dalam satu dasawarsa terakhir karena akuisisi peralatan dan 
persenjataan yang sangat terbatas. Hal ini pada gilirannya telah mengakibatkan 
tidak hanya secara kuantitatif terdapat kecenderungan statis (jika bukan 
penurunan) dari kekuatan pertahanan Indonesia. Secara kualitatif hal ini juga 
muncul. Misalnya, melalui tingkat kesiapan yang tidak optimal di sistem terpadu 
TNI Angkatan Laut (rata-rata sekitar 60 persen) dan juga di Angkatan Udara 
(sekitar 55 persen). Tampaknya ketidaksiapan ini sangat terkait dengan usia 
kritis dari peralatan dan persenjataan yang dimiliki oleh TNI. Rentetan 
kejatuhan pesawat tempur dalam beberapa tahun terakhir ini hanyalah puncak dari 
gunung es masalah yang tengah dihadapi TNI.

Jebakan ekonomi?

Hambatan dukungan pendanaan keuangan negara (APBN) sering disebut sebagai 
kendala utama mengapa situasi ini terjadi. Dengan struktur anggaran yang ada 
sekarang, di mana total besaran APBN setiap tahunnya selalu berada di bawah 20 
persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, dan di mana anggaran 
pertahanan tidak pernah melebihi angka 1 persen dari PDB, tidak akan banyak 
pilihan kebijakan yang tersedia. Peningkatan anggaran pertahanan untuk 
memperbaiki kapabilitas peralatan dan persenjataan TNI dengan melihat pada 
struktur APBN hanya dapat terjadi dengan beberapa "jika".

Pertama, jika mengorbankan alokasi anggaran untuk sektor lainnya, seperti 
pendidikan, kesehatan, pertanian, dan infrastruktur.

Kedua, jika mengurangi alokasi anggaran untuk subsidi, khususnya subsidi energi.

Ketiga, jika menunda dan mengurangi pembayaran cicilan bunga utang dan kemudian 
mengalokasikannya pada pertahanan.

Keempat, jika pagu persentase APBN terhadap PDB dapat ditingkatkan melebihi 20 
persen, misalnya, menetapkannya menjadi 40 persen sehingga seluruh sektor, 
termasuk pertahanan, mendapatkan manfaatnya. Dengan kata lain, peningkatan 
anggaran pertahanan tanpa mengorbankan sektor lainnya hanya mungkin terjadi 
jika pagu persentase APBN terhadap PDB ditingkatkan secara drastis.

Pilihan pertama dan kedua hampir tidak mungkin karena sensitivitas politik di 
sisi domestik. Reaksi keras dari konstituensi sektor lainnya akan muncul jika 
pilihan kebijakan ini dilakukan. Pilihan ketiga juga kecil kemungkinannya 
karena reaksi politik dari para kreditor internasional. Pilihan keempat yang 
paling ideal. Dengan cara ini, alokasi anggaran pertahanan Indonesia mungkin 
dapat menyesuaikan diri dengan standar umum di Asia Timur, yaitu 1,5 persen 
hingga 2 persen dari PDB.

Namun, untuk itu konsep negara minimalis harus ditinggalkan. Bagi para pengikut 
konsep negara minimalis, kekuatan militer hanya bisa dibangun jika sudah 
tercapai kekuatan ekonomi yang besar (economic foundation of military power). 
Namun, tidakkah sejarah telah membuktikan bahwa tidak akan ada suatu kekuatan 
ekonomi yang besar tanpa kekuatan militer yang besar (military foundation of 
economic power)? Karena itu, terobosan kebijakan untuk keluar dari jebakan 
anggaran tampaknya memang harus segera dilakukan jika kita memang ingin serius 
membuat TNI benar-benar profesional seutuhnya. Jika tidak, negeri ini 
barangkali memang telah ditakdirkan untuk tidak pernah memiliki tentara yang 
profesional.

Simulasi yang pernah penulis lakukan menunjukkan bahwa bahkan jika ekonomi 
Indonesia tumbuh terus sekitar 8 persen setiap tahunnya dan bahkan jika kita 
konsisten mematok pagu anggaran pertahanan terhadap PDB sebesar 1,5 persen, 
membutuhkan waktu sekitar 30 tahun bagi negeri ini agar besaran anggaran 
pertahanannya mencapai anggaran pertahanan yang telah dicapai Jepang pada saat 
ini.

MAKMUR KELIAT Ketua Program Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, 
Universitas Indonesia


   


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke