Setuju dengan kesimpulan akhirnya, yaitu Pansus harus mencari strategi lain. 
Tidak akan ada kemajuan bila kita terus memperdebatkan masalah sistemik. Yang 
penting untuk diungkap saat ini adalah cashflownya dan bagaimana strategi untuk 
menjaga dana yang masih ada di BC agar tidak bocor dan memperoleh kembali dana 
yang tekah bocor.

Ulasan tentang ekonometriknya meskipun simpel tapi cukup untuk menggambarkan 
bahwa ekonomi bukan ilmu pasti.
-------------------------------------------------------------

-----Pesan Asli-----
Dari: muslimin putra
Terkirim:  05/01/2010 07:48:16
Subjek:  [Forum-Pembaca-KOMPAS] Kriteria Sistemik Dalam Skandal Century

Harian Tribun Timur, Selasa, 05 Januari 2010

Kriteria Sistemik Dalam Skandal Century
http://www.tribun- timur.com/ read/artikel/ 67099 

Oleh : Muslimin B. Putra

Kriteria sistemik adalah kata kunci bagi panitia angket DPR untuk melakukan 
penyelidikan terhadap kasus dana talangan (bail out) Bank Century. Dari empat 
pejabat dan mantan pejabat Bank Indonesia yang telah dipanggil dihadapan Sidang 
Pansus Hak Angket di DPR, dua orang mengatakan Bank Century tidak berpotensi 
sistemik dan sisanya dua orang lagi mengatakan berbeda.

Burhanuddin Abdullah dan Anwar Nasution adalah dua orang mantan pejabat BI 
menyatakan bahwa Bank Century tidak berpotensi sistemik. Menurut keduanya, Bank 
Century hanyalah bank kecil sehingga tidak banyak berperanan pasar keuangan 
antarbank dan pasar bank devisa. Sedang dua orang yang menyatakan sebaliknya 
adalah Miranda Goeltom dan Boediono. Keduanya berusaha mempertahankan 
argumentasi sistemik karena kedunya adalah pejabat BI yang paling 
bertanggungjawab atas proses bail out Bank Century pada November 2008 silam.

Riwayat Bank Century
Untuk menganalisis performa Bank Century sebagai bank sistemik maka harus 
ditinjau kebelakang pada awal berdirinya. Bank Century pada awalnya adalah 
gabungan dari tiga bank yakni Bank CIC, Bank Pikko, dan Bank Danpac. Alasan 
penggabungan yang utama karena pemegang sahamnya adalah orang yang sama yakni 
Chinkara Capital Ltd, yang dimiliki Rafat Ali Rizvi dan Hesyam Al Warraq 
melalui pasar modal. Namun ada dua bank dari ketiga bank merger itu yang 
memiliki masalah besar yakni Bank CIC dan Bank Pikko yang memiliki permasalahan 
surat-surat berharga (SSB) valas 203 juta dollar AS berkualitas rendah. 
Pengawas BI juga menemukan US Treasury sebesar 185,36 juta dollar AS yang 
memiliki bunga rendah serta sistem pencatatan yang tidak sesuai dengan Pedoman 
Standar Akuntasi Keuangan (PSAK).

Pertimbangan lain dilakukan merger ketika itu selain faktor kepemilikan saham 
adalah faktor pengawasan. Dengan merger, BI akan semakin mudah mengawasi dan 
mudah dalam proses pengalihan kepemilikan bank hasil merger kepada investor 
serta akan semakin memperluas jaringan kantor bank. Prasyarat merger ketiga 
bank itu adalah diharuskan ada penambahan modal untuk mengatasi tekanan 
terhadap permodalan bank karena dampak dari SSB yang bermasalah sejak awal. 

Sejak awal merger, ada tiga persoalan utama SSB yang diserukan oleh BI kepada 
Bank Century yakni SSB unrating yang dikategorikan macet, SSB berbunga rendah 
yang mengakibatkan tekanan terhadap rentabilitas bank dan pencatatan yang tidak 
sesuai PSAK. Seandainya menggunakan PSAK akan langsung terlihat bahwa bank 
tersebut selalu mengalami kerugian. 

Mengacu pada hasil audit BPK terhadap Bank Century, pasca merger pada 2002 saat 
itu Menteri Keuangan dijabat Boediono ditemukan adanya dana Menkeu ditransfer 
ke Bank CIC berjumlah USD 24 juta. Kemudian pada 1 November 2005, Dirjen 
Perbendaharaan Departemen Keuangan membuat kesepakatan dengan Bank Century 
pemindahan escrow account (rekening terpisah) sebesar 17,28 juta dollar AS dari 
Bank Rakyat Indonesia (BRI) ke Bank Century yang dibuka untuk dan atas nama 
Menteri Keuangan. 
Keberadaan escrow account Menkeu pada Bank Century diakui oleh Kepala Biro 
Humas Depkeu Harry Z Soeratin dalam sebuah keterangan pers. Escrow account 
tersebut bernomor 10220000320250 atas nama Menteri Keuangan sebesar USD 
17,279,976.20 di Bank Century. Menurut Harry, Escrow Account tersebut berfungsi 
sebagai jaminan (cash collateral) terkait permasalahan antara Bank Century 
dengan debiturnya, yaitu INKOPTI (Induk Koperasi Tempe Tahu Indonesia), IKKU 
(Induk Koperasi Kesejahteraan Umat), dan INKUD (Induk Koperasi Unit Desa) yang 
telah wanprestasi sesuai putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dari 
Mahkamah Agung tahun 2004. Wanprestasi yang dimaksud adalah gagal bayar kepada 
Bank Century (dulu Bank CIC) dari ketiga koperasi di atas, terkait penjualan 
terigu dalam program hibah dari Pemerintah Amerika Serikat (USDA) sesuai 
PL-416(b) (Fajar, 18/12). 

Bila mengacu pada hasil audit BPK, sejak 2001 ketika Boediono menjabat Menteri 
Keuangan hingga 2009 keetika Boediono menjabat Gubernur BI telah terjadi 
pelanggaran kebijakan sebanyak sembilan kali. Atau dengan kata lain, Boediono 
sudah terlibat sejak awal berdirinya (merger) Bank Century pada 2001 hingga 
Bank Century dicabut dari status SSU (Status dalam pengawasan intensif BI) pada 
Agustus 2009.

Pemindahan dana hibah pemerintah dari BRI ke Bank Century menyimpang dari 
aturan yang ada. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.318/KMK.02/ 
2004 dinyatakan penyimpanan uang negara hanya diperkenankan pada bank-bank 
pemerintah saja, tidak diperkenankan pada bank swasta. Ironisnya lagi, dana 
hibah pemerintah yang ditempatkan di Bank Century dibawah Sri Mulyani Indrawati 
sebagai Menteri Keuangan berpotensi hilang karena tidak jelas keberadaannya. 
Bisa saja dana tersebut beralih status kepemilikan atas nama pribadi tertentu. 

Melihat latar belakang berdirinya Bank Century tersebut, secara logika tidak 
beralasan bila pilihan bail out dilakukan kepada bank gagal. Sementara 
bank-bank yang memiliki kriteria sistemik berdasarkan informasi Burhanuddin 
Abdullah hanya lima belas bank, diantaranya Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, BTN, 
Bukopin, Bank Danamon, Bank Permata. Kelimabelas bank tersebut menguasai 
sekitar 85 persen industry perbankan nasional. Sementara Bank Century hanyalah 
bank kecil dengan peran yang juga kecil.

Kriteria Sistemik

Bila menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Depdiknas, kata 
“sistemik” hampir pasti tidak ditemukan karena istilah tersebut adalah istilah 
teknis dalam bidang keuangan. Kata “sistemik” berasal dari kata dasar “sistem” 
yang berarti adanya seperangkat unsur atau subsistem yang saling berkaitan 
hingga membentuk satu kesatuan (totalitas). Dari asal katanya berarti sistemik 
bisa diartikan sebagai “berpeluang mempengaruhi suatu sistem”.

Dalam bidang ilmu keuangan, istilah “sistemik” selalu dihubungkan dengan 
seperangkat upaya untuk mengantisipasi munculnya risiko yang timbul. Parameter 
dan ukurannya bersifat teknis, jelas dan terukur secara akademik. Karena itu, 
didalam ilmu keuangan dikenal teori yang disebut systemic risk. 

Seorang rekan yang aktif di dunia maya dengan nama pena Mbah Darmo dalam sebuah 
tulisannya di Politikana.com menulis bahwa istilah “sistemik” sangat 
berhubungan dengan upaya manusia dalam mengantisipasi risiko yang timbul. Jika 
salah satu variabel mengalami anomali dalam intensitas yang tidak biasa maka 
dipastikan kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap sistem secara 
keseluruhan. Besar kecilnya pengaruh tergantung dari tingkat dependensi 
variabel yang terjadi anomali tersebut relatif dengan variabel lain yang 
bekerja dalam keseluruhan sistem. Ilmu yang mempelajari cara menghitung dan 
menarik kesimpulan atas fenomena anomali tersebut disebut Ilmu Ekonometrika. 
Secara akademis perhitungan dampak variabel anomali sangatlah mudah dilakukan 
melalui alat hitung (komputer) yang memiliki kemampuan numerik yang nyaris 
tidak terbatas.

Ilmu Ekonometika membenarkan adanya toleransi atas variabel-variabel yang tidak 
bisa dikuantifikasi. Dalam rumus persamaannya selalu terlihat adanya variable 
epsilon di akhir formula. Hal ini mencerminkan bahwa ilmu ekonomi bukanlah ilmu 
eksakta. Disinilah titik persinggungan para pengambil kebijakan dibidang 
keuangan yang berhitung secara akademis secara simultan dengan legika social 
politik. Bila kondisi politik tidak stabil sementara basis data sosial ekonomi 
tidak valid dan kuat maka melahirkan nilai (value) dari variabel epsilon yang 
relatif besar. Apalagi respon pasar dan publik tidak selamanya berjalan searah 
dengan hitungan akademis para pengambil kebijakan bidang keuangan. Dampaknya, 
publik akan menaruh ketidakpercayaan terhadap otoritas moneter dan otoritas 
ekonomi serta pasar sangat rentan dengan gejolak dan fluktuasi. 

Melihat perimbangan pandangan aktor-aktor utama dalam lembaga otoritas keuangan 
(BI) sebagaimana disebut pada awal tulisan terhadap kriteria sistemik pada 
kasus Bank Century, maka kerja Pansus Hak Angket Century seharusnya mencari 
strategi lain dalam mengungkap dugaan penyimpangan dana talangan. Salah satunya 
yang paling penting adalah aliran dana pasca bailout sehingga keberadaan PPATK 
sangat penting sebagai mitra strategis Pansus karena lembaga inilah 
satu-satunya yang punya akses dalam meneliti aliran dana-dana didalam lembaga 
perbankan.

Penulis, Pemerhati Politik dan Kebijakan Publik pada Center for Policy Analysis 
(CEPSIS), Makassar.



      Lebih aman saat online. Upgrade ke Internet Explorer 8 baru dan lebih 
cepat yang dioptimalkan untuk Yahoo! agar Anda merasa lebih aman. Gratis. 
Dapatkan IE8 di sini! 
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer/

Kirim email ke