Kemanusiaan seseorang itu akan teruji dari caranya menyelesaikan persoalan yang 
sedang dihadapinya.
Seorang yang berprofesi sebagai Wartawan atau Politisi, ketika melihat ada 
pihak yang melakukan tindak kesewenangan terhadap pihak lain, waduh, ributnya 
bukan main.
Wartawan atau Politisi tersebut pasti akan melakukan investigasi dan hasilnya 
akan digunakan sebesdar - besarnya untuk membela Pihak Yang Tertindas.
Wartawan atau Politisi tersebut akan menggambarkan bahwa dirinya adalah Pejuang 
Kemanusiaan yang akan melawan semua tindakan terhadap pelanggaran Kemanusiaan 
yang ada di Dunia ini.
Ya begitulan cara seorang Wartawan atau Politisi untuk mempromosikan Media atau 
Partainya terhadap masyarakat pengagumnya.
 
Kualitas aslinya akan terungkap ketika yang bersangkutan tersangkut masalah.
Di situlah akan terlihat, apakah yang bersangkutan satu kata dengan tindakan.
 
Dalam kasus ini, kelihatannya Surya Paloh tidak satu kata dengan tindakan.
Semua ulasan yang sifatnya Membela Masyarakat Lemah dan Tertindas atas tindak 
kesewenangan Pihak Yang Merasa Kuat, yang banyak di ulas oleh Surat Kabar Media 
Indonesia dan Metro TV, termasuk perjuangannya membela rakyat Miskin dan 
Tertindas melalui Nasional Demokrat, ternyata itu bukan upaya untuk membela 
masyarakat miskin dan tertindas, tetapi upaya untuk mencari popularitas belaka.
 
Bila upayanya berhasil dan Surya Paloh mendapat mandat dari rakyat untuk 
mengelola negri ini, tindakannya terhadap masyarakat Miskin dan Tertindas pasti 
akan sangat kejam.
Menurut saya, Surya Paloh, baik sebagai Wartawan maupun Politisi, tidak lebih 
dari "Serigala Berbulu Domba".
 
Salam,
Adyanto Aditomo
 


--- Pada Jum, 16/7/10, iwan piliang <iwan.pili...@yahoo.com> menulis:


Dari: iwan piliang <iwan.pili...@yahoo.com>
Judul: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Sketsa: Tulang Serikat Pekerja dan Paloh di PHK 
Papandayan
Kepada: jurnali...@yahoogroups.ocm, mediac...@yahoogroups.com, 
forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com
Tanggal: Jumat, 16 Juli, 2010, 6:28 AM


  



Perjalanan menulis Sketsa, dominan mereportase. Sebutlah dari 
reportase tukang patri menaut jalanan Jakarta, Kalimati Pademangan 
seumur Jakarta tak mengalir, kasus pembunuhan David, dipenjaranya Prita 
Mulyasari hingga memulangkan Ziyad ”terpenjara” 8 tahun Uni Emirat Arab.
Berbeda dengan media mainstream memiliki rapat perencanaan, Sketsa 
esok, acap saya tak menduga menuliskan apa. Pada 14 Juli lalu, kaki 
telah menggerakkan saya berada di ruang Menteri Tenaga Kerja, pukul 
13.00. Menteri menerima 44 orang Serikat Pekerja Mandiri Hotel 
Papandayan (SPMHP), Bandung. Ketika mengkonfirmasi via hand phone kepada
Elman Saragih, Direksi Media Group, wartawan senior di Media 
Indonesia; bertanya mengapa Surya Paloh enggan menuntaskan PHK karyawan
Hotel Panpandayan, Elman menjawab, ”Saya sedang ada pekerjaan.” HP-nya
lalu dimatikan. Begitulah langgam wartawan menanggapi kerja dunianya 
sendiri. Bukan dunia lain.

TENGAH malam di berita malam sebuah televisi, 15 Juli saya 
menyimak bagaimana rombongan para advokat di Mahkamah Agung ribut. 
Pagi harinya koran Rakyat Merdeka menurunkan headline berjudul Gaduh, 
Pengacara Hina Ketua MA. Di situ juga ada foto Ketua MA, Arifin Tumpa 
menggeletak di lantai di barisan kaki para anggota Kongres Advokat 
Indonesia (KAI) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Mereka 
bertikai. Mereka menepuk dada demi pengakuan, so paling absah.

Sikap dan laku yang tersiar ke media itu, tidak mencerminkan lagi adab,
norma, hukum yang harus dijunjung. 

Siang harinya, setelah sempat menghadiri pertemuan Serikat Pekerja 
Mandiri Hotel Papandayan (SPMHP), Bandung dengan Menteri Tenaga Kerja, 
saya mencoba mengkonfirmasi kepada Heyden Lubis, advokat PT. Citragraha 
Nugratama-Hotel Papandayan, di Bandung. Saya bertanya ihwal kalimatnya 
kepada serikat pekerja, mengapa begitu kasar berkata kepada serikat 
pekerja ini bahwa sesuai penuturan Asep Ruhiyat, ketua SPMHP, sang 
pengacara ini berujar, ”Sampai tulang pun serikat pekerja tak akan 
menang.”

Melalui saluran selularnya, Heyden dengan nada tinggi mengatakan, ”Saya
tak pernah mengatakan begitu.”

”Dan hotel ini juga tak ada hubungan kepemilikan dengan Surya paloh,” 
ujarnya dengan nada sama.

Saya katakan di depan saya ada dokumen kepemilikan Surya Paloh sebesar 
95% akan PT Citragraha Nugratama, pemilik Hotel Panghegar. Lagi Heyden 
membantah. ”Tak ada Surya Paloh memiliki hotel ini.”

Demi sebuah sambutan lebih baik, saya mengirim SMS ke selularnya 
menuliskan nama saya, jabatan di karir jurnalisme yang pernah saya 
sandang, plus, sertifikasi saya di dunia investigasi. Ia membalas, 
”Saya lawyer di Matraman, Jakarta. Nada saya bicara memang seperti ini.”

Saya membayangkan bagaimana para karyawan di serikat pekerja ini 
berhadapan dengan wakil manajemen perusahaan yang dimiliki oleh Surya 
Paloh, kelompok besar itu?

Sebagai sosok yunior Surya Paloh di HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda, di 
mana saya pernah menjadi member dan pengusaha), acap saya memperhatikan 
ia berpidato sejak lama beretorika mulia. Bahkan di majalah Nasinal 
Demokrat, di mana di edisi perdananya, ada tulisan saya soal Transfer 
Pricing, yang diminta tuliskan oleh Noorca M. Massardi. Di majalah itu 
saya membaca idealisme besar bagi perubahan bangsa ini ingin digadang 
Surya Paloh, tak terkecuali untuk ranah pekerja.

Kernyataan ihwal Hotel Papandayan ini, bagi saya seakan lain kata 
dengan irama, beda angguk dan anggap. Retorika lawyer mereka mengatakan
bahwa Hotel Papandayan bukan milik Paloh, dibantah sendiri oleh oleh 
Sugeng Suparwoto, wartawan di kelompok Media Group - - pemimilik 
utamanya Surya Paloh.

“Memang benar hotel ini milik Media Group dan Surya Paloh. Manajemen 
sudah bertindak wise, tetapi bisa saja yang terjadi political blowing.” 
Saya mengutip Rakyat Merdeka. 

Saya tak paham apa maksud lema political blowing. Agaknya, Anda 
sidang pembaca lebih mafhum?

Bagi saya ini esensinya urusan hati saja, urusan nasib pekerja di 
tengah kepentingan investor. 

Sugeng mengaku manajemen sudah menempuh semua prosedur dan ketentuan 
perundangan sebelum melakukan pemutusan hubungan kerja. Ia juga 
menegaskan sudah melakukan diskusi dengan Disnakertrans, karena hotel 
direnovasi menghabiskaan waktu 12-18 bulan, memakan waktu panjang, maka 
diizinkan melakukan PHK. 

Ihwal pesangon, paparan Sugeng pula di Rakyat merdeka: dilakukan dengan
dua kali pesangon, ditambah dua kali pendapatan lainnya ditambah 15 % 
hal lain ditambah tiga bulan gaji. 

Katakanlah kalkulasi Sugeng ini benar. 

Kepada salah satu pekerja yang sudah bekerja 21 tahun saya tanyakan, ia
akan menerima uang PHK total Rp 50 juta. Jumlah Rp 50 juta angka itu 
jika diambil tetap akan divisit menutupi cicilan kredit rumah yang 
sudah terlanjur mereka beli, misalnya. Sementara untuk mengikuti 
ketentuan berlaku, ia masih memiliki kesempatan kerja tiga belas tahun 
lagi hingga usia 55 tahun masa pensiun. ”Kami membutuhkan pekerjaan, 
di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan kini, ” ujar Asep Ruhiyat.

“Lagian perusahan tidak bangkrut. Ketentua itu berlaku jika perusahaan 
bangkrut.”

Otomatis perihal ini yang tidak diterima karyawan., Papandayan kini 
melakukan renovasi menjadi lebih besar gran. Dan jika Anda ke Bandung, 
Hotel yang terletak tak jauh dari Gedung Sate itu, memang kini memang 
tampak sedang melakukan finishing bangunan megahnya.

Atas penolakan PHK sepihak itulah maka serikat pekerja mengajukan 
penuntun ke pengadilan, dengan resiko mereka dikucilkan dan tak digaji.
Maka kemudian keluar keputusan pengadilan kasasi, meminta perusahaan 
membayarkan gaji April dan Mei 2010, sebesar Rp 93.995.492. Dan meminta
perusahaan pada 1 Juli 2010 hadir ke Pengadilan Negeri Bandung. Namun 
entah faktor apa, pihak perusahaan tidak tampak batang hidungnya. Atas 
dasar itulah mereka merasa perlu mengadu ke Menteri.

Lebih dari tiga orang karyawan serikat pekerja yang saya temui; mengaku 
serabutan sejak adanya kasus ini. Mereka tidak bergaji. Salah satu 
isteri karyawan stress, sampai harus dirawat di rumah sakit. Arif 
Rahman, yang saya temui di bawah tiang Merah Putih di depan Gedung 
Depnaker mengatakan ia harus bekerja serabutan, mencari barang bekas, 
menjadi calo menjualkan apa saja, termasuk HP bekas untuk sekadar 
seperak dua sehari. Bahkan salah seorang persis di depan pintu masuk 
ruang kerja Menteri Muhaimin Iskandar, memperlihatkan di HP-nya. Ia 
menjadi tukang cat gedung. Ia memanjak bak cicak hingga ke lantai 6 
bangunan, padahal sebelumnya, ia hanyalah petugas front office hotel.

Memang menjadi pertanyaan, jika mengembangkan Papandayan menjadi lebih 
besar, mengapa pula harus mem-PHK, toh setelah beroperasi, hotel ini 
membutuhkan lagi karyawan baru? Di sinilah letak soalnya. Acap pemilik 
modal menyerahkan segalanya ketatanan hukum berlaku, setelah tatanan 
hukum itu diikuti dan serikat pekerja terbukti menang di pengadilan, 
hukum itu sendiri masih belum ditunaikan sang pengusaha.

Karenanya kuat dugaan saya, pihak manajemen dan pemilik tak senang 
dengan gaya adanya serikat pekerja. Dan jika menelusuri sejarah di 
kelompok usaha Media Group, dengan mudah Anda mendapatkan di 
Google.com, bahwa pembentukan serikat pekerja di kelompok Media Group 
itu pun, terindikasi tidak diingini oleh Surya Paloh. 

Kalau sudah begitu, sebesar apapun keinginan ambisi, perihal esensi 
dasar pekerja saja kita lupakan, menjadi tanya besar akan cita-cita 
agung. Dalam kerangka inilah saya selama ini bertanya terhadap corak 
langgam para pemilik media, televisi.

Lalu apakah karena hal ini pula lantas keluar kalimat political blowing?
Kendati saya tak paham diksi kalimat ini, saya mengira maksudnya 
sebagai membesarkan untuk kepentingan politik. Tentulah jauh panggang 
dari api. 

Ini murni urusan hubungan pengusaha dengan tenaga kerja, yang 
mengesampingkan hati. 

Khusus terhadap serikat pekerja ini, kini, mereka di depan hukum telah 
menang tanpa harus menunggu tulang? Apakah ada kerendahan hati memenuhi
ketentuan hukum, apatah lagi ada kerendahan mempekerjakan mereka 
kembali? Kembalikan ke ego pemilik saja tampaknya.***

Iwan Piliang, literary citizen reporter, blog-presstalk.com

[Non-text portions of this message have been removed]










[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke