[Forum-Pembaca-KOMPAS] Mustaqim dan Sekolah Pemimpinnya

2010-08-02 Thread Satria Dharma
Mustaqim dan Sekolah Pemimpinnya

Namanya Mustaqim. Ia kepala Baitul Maal Hidayatullah Balikpapan. 
(http://www.bmh.or.id/).  Pagi itu HP-nya berdering. Ia meliriknya dan ia 
melihat nomor yang tidak ia kenal. Ia tidak segera mengangkatnya. “Mungkin 
salah nomor.” Pikirnya. HP-nya berdering untuk kedua kalinya. Ia masih belum 
tergerak untuk mengangkatnya. Tapi ketika HP-nya berdering untuk ketiga kalinya 
ia baru sadar bahwa tak mungkin itu salah sambung. Tentunya ini masalah serius 
kalau ada yang menelponnya sampai tiga kali.
Begitu ia angkat HPnya dan mengucapkan salam, di ujung sambungan langsung 
menyambutnya dengan tangisan. Mustaqim terkejut dan terheran-heran. “Ada apa 
ini…?!Kok nangis di telpon?” tanyanya dalam hati.
Tapi ia membiarkan si penelpon menangis sampai berhenti. Mungkin perasaan 
sedihnya telah ia pendam selama berhari-hari dan begitu bertemu dengan saluran 
langsung jebol!. Ketika tangisnya telah selesai ia langsung bertanya,” Ada apa 
Pak? Apa yang bisa saya bantu?”
Tapi ternyata ia salah. Si penelpon ternyata seorang wanita dan tanpa basa-basi 
ia langsung menyatakan maksudnya untuk pinjam uang sebesar 150 ribu karena ia 
sakit dan tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Ia bermaksud untuk pergi ke 
rumah sakit atau dokter untuk berobat dan satu-satunya tempat yang ia tahu 
untuk pinjam uang adalah BMH.
BMH memang menyediakan pinjaman bagi orang-orang miskin seperti ibu tersebut 
dan BMH memang bergerak di komunitas orang-orang miskin. Sebagai lembaga baitul 
maal tentu saja BMH punya prosedur untuk meminjam uang tapi Mustaqim langsung 
meminta stafnya untuk meminjami si ibu. “Ini emerjensi.” Katanya. “Kalau 
seorang ibu sudah menangis-nangis untuk minta pinjaman maka semua protokol dan 
prosedur boleh dilewati”, demikian guraunya. “Ini rahasia perusahaan tapi 
disini saya bocorkan.”, lanjutnya mengenang peristiwa tersebut.
Ketika tim BMH mendatangi rumah dari ibu yang sakit tersebut ternyata kondisi 
rumahnya sungguh mengenaskan. Si ibu sendiri sudah tidak bisa bergerak sehingga 
harus diangkat untuk dibawa ke dokter. Rumahnya begitu kecil dan sempitnya 
sehingga anak-anaknya terpaksa harus tidur di atas kursi dan juga dibawah 
kursi. Bagi BMH (dan keluarga pesantren Hidayatullah) keluarga miskin bukanlah 
hal yang asing karena sehari-hari mereka bergumul dengan orang-orang miskin. 
Tapi apa yang dilihat oleh Mustaqim pada hari itu benar-benar menyentuh 
perasaannya. Kemiskinan yang diderita si ibu benar-benar membuat Mustaqim 
menangis dalam hati. “Ya Allah! Betapa miskinnya keluarga ini. Mereka 
benar-benar butuh bantuan yang nyata.”
“Seandainya kemiskinan adalah manusia maka saya akan membunuhnya”, demikian 
kata Ali Bin Abu Thalib suatu kali. Kemiskinan membuat banyak manusia hidup tak 
bermartabat dan hilang kemuliaannya. Hal ini membuat Mustaqim berpikir keras. 
Ia harus melakukan sesuatu untuk membantu orang-orang miskin seperti si ibu ini 
agar anak-anaknya tidak melanjutkan kemiskinan tersebut. 
Ia tahu bahwa pendidikan adalah jawabnya. Bahkan Hidayatullah, tempat Baitul 
Maalnya bernaung, memiliki pesantren dan juga sekolah SDIT Lukman AlHakim yang 
terkenal tersebut. Tapi sekolah tersebut mungkin bukan jawaban bagi anak-anak 
yang super miskin, yang bahkan untuk makan saja sulit. Harus ada terobosan 
pemikiran di mana anak-anak miskin tersebut bisa belajar menuntut ilmu tanpa 
harus memikirkan makan untuk sehari-hari dan juga tidak perlu membantu orang 
tuanya mencari kehidupan sehari-hari. Mereka terlalu kecil untuk harus terlibat 
dalam kesulitan orang tua mereka. Mereka juga harus memiliki harapan untuk 
lepas dari kemiskinan dan menjadi pemimpin bagi lingkungannya.
Dari sinilah kemudian ide “Sekolah Pemimpin”nya bergulir. Sekolah tersebut 
haruslah dikhususkan bagi anak-anak yang benar-benar miskin, siswanya 
diasramakan (boarding school), dan berkualitas tinggi sehingga dapat memberi 
anak-anak tersebut bekal pengetahuan dan ketrampilan untuk menjadi pemimpin 
kelak. Tapi yang paling penting adalah bahwa sekolah berasrama tersebut 
haruslah gratis!
Tentu saja ini sebuah program yang ambisius. Belum pernah ada program sejenis 
ini sebelumnya. Yang ada adalah sekolah bagi anak dhuafa tapi memang memiliki 
tingkat kecerdasan yang tinggi. Program Sekolah Pemimpinnya ini tidak 
mensyaratkan adanya tingkat intelektual tertentu bagi siswanya. Syaratnya 
adalah siswa miskin dan yang penting orang tuanya bersedia untuk menyerahkan 
anaknya kepada sekolah dan asrama tersebut untuk dididik. Semakin miskin, 
semakin besar kemungkinannya untuk diterima. Tak perlu syarat nilai raport atau 
ijazah tertentu. Sekolah tersebutlah nantinya yang akan menyiapkan anak-anak 
tersebut bekal untuk menjadi pemimpin kelak.
Ketika Mustaqim menemui saya di rumah dan menceritakan Sekolah Pemimpinnya ini 
saya langsung tertarik. Menjadikan siswa sebagai calon-calon pemimpin adalah 
tantangan bagi setiap pendidikan dan sebagai seorang konsultan pendidikan saya 
merasa bahwa ide ini sangat menarik

Re: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Mustaqim dan Sekolah Pemimpinnya

2010-08-09 Thread Item
This is an inspiring story. Sangat faktual dan menyentuh. Baitul Maal
Hidayatullah adalah contoh konkret lembaga keuangan umat bekerja efektif
menjawab persoalan di sekitarnya. Sikap Mustaqim yang amanah dan tidak
birokratis, menyiratkan optimisme saya bahwa masih ada orang2 jujur dan
punya integritas di bumi Indonesia.

Al Item

2010/7/31 Satria Dharma 

>
>
> Mustaqim dan Sekolah Pemimpinnya
>
> Namanya Mustaqim. Ia kepala Baitul Maal Hidayatullah Balikpapan. (
> http://www.bmh.or.id/). Pagi itu HP-nya berdering. Ia meliriknya dan ia
> melihat nomor yang tidak ia kenal. Ia tidak segera mengangkatnya. “Mungkin
> salah nomor.” Pikirnya. HP-nya berdering untuk kedua kalinya. Ia masih belum
> tergerak untuk mengangkatnya. Tapi ketika HP-nya berdering untuk ketiga
> kalinya ia baru sadar bahwa tak mungkin itu salah sambung. Tentunya ini
> masalah serius kalau ada yang menelponnya sampai tiga kali.
> Begitu ia angkat HPnya dan mengucapkan salam, di ujung sambungan langsung
> menyambutnya dengan tangisan. Mustaqim terkejut dan terheran-heran. “Ada apa
> ini…?!Kok nangis di telpon?” tanyanya dalam hati.
> Tapi ia membiarkan si penelpon menangis sampai berhenti. Mungkin perasaan
> sedihnya telah ia pendam selama berhari-hari dan begitu bertemu dengan
> saluran langsung jebol!. Ketika tangisnya telah selesai ia langsung
> bertanya,” Ada apa Pak? Apa yang bisa saya bantu?”
> Tapi ternyata ia salah. Si penelpon ternyata seorang wanita dan tanpa
> basa-basi ia langsung menyatakan maksudnya untuk pinjam uang sebesar 150
> ribu karena ia sakit dan tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Ia
> bermaksud untuk pergi ke rumah sakit atau dokter untuk berobat dan
> satu-satunya tempat yang ia tahu untuk pinjam uang adalah BMH.
> BMH memang menyediakan pinjaman bagi orang-orang miskin seperti ibu
> tersebut dan BMH memang bergerak di komunitas orang-orang miskin. Sebagai
> lembaga baitul maal tentu saja BMH punya prosedur untuk meminjam uang tapi
> Mustaqim langsung meminta stafnya untuk meminjami si ibu. “Ini emerjensi.”
> Katanya. “Kalau seorang ibu sudah menangis-nangis untuk minta pinjaman maka
> semua protokol dan prosedur boleh dilewati”, demikian guraunya. “Ini rahasia
> perusahaan tapi disini saya bocorkan.”, lanjutnya mengenang peristiwa
> tersebut.
> Ketika tim BMH mendatangi rumah dari ibu yang sakit tersebut ternyata
> kondisi rumahnya sungguh mengenaskan. Si ibu sendiri sudah tidak bisa
> bergerak sehingga harus diangkat untuk dibawa ke dokter. Rumahnya begitu
> kecil dan sempitnya sehingga anak-anaknya terpaksa harus tidur di atas kursi
> dan juga dibawah kursi. Bagi BMH (dan keluarga pesantren Hidayatullah)
> keluarga miskin bukanlah hal yang asing karena sehari-hari mereka bergumul
> dengan orang-orang miskin. Tapi apa yang dilihat oleh Mustaqim pada hari itu
> benar-benar menyentuh perasaannya. Kemiskinan yang diderita si ibu
> benar-benar membuat Mustaqim menangis dalam hati. “Ya Allah! Betapa
> miskinnya keluarga ini. Mereka benar-benar butuh bantuan yang nyata.”
> “Seandainya kemiskinan adalah manusia maka saya akan membunuhnya”, demikian
> kata Ali Bin Abu Thalib suatu kali. Kemiskinan membuat banyak manusia hidup
> tak bermartabat dan hilang kemuliaannya. Hal ini membuat Mustaqim berpikir
> keras. Ia harus melakukan sesuatu untuk membantu orang-orang miskin seperti
> si ibu ini agar anak-anaknya tidak melanjutkan kemiskinan tersebut.
> Ia tahu bahwa pendidikan adalah jawabnya. Bahkan Hidayatullah, tempat
> Baitul Maalnya bernaung, memiliki pesantren dan juga sekolah SDIT Lukman
> AlHakim yang terkenal tersebut. Tapi sekolah tersebut mungkin bukan jawaban
> bagi anak-anak yang super miskin, yang bahkan untuk makan saja sulit. Harus
> ada terobosan pemikiran di mana anak-anak miskin tersebut bisa belajar
> menuntut ilmu tanpa harus memikirkan makan untuk sehari-hari dan juga tidak
> perlu membantu orang tuanya mencari kehidupan sehari-hari. Mereka terlalu
> kecil untuk harus terlibat dalam kesulitan orang tua mereka. Mereka juga
> harus memiliki harapan untuk lepas dari kemiskinan dan menjadi pemimpin bagi
> lingkungannya.
> Dari sinilah kemudian ide “Sekolah Pemimpin”nya bergulir. Sekolah tersebut
> haruslah dikhususkan bagi anak-anak yang benar-benar miskin, siswanya
> diasramakan (boarding school), dan berkualitas tinggi sehingga dapat memberi
> anak-anak tersebut bekal pengetahuan dan ketrampilan untuk menjadi pemimpin
> kelak. Tapi yang paling penting adalah bahwa sekolah berasrama tersebut
> haruslah gratis!
> Tentu saja ini sebuah program yang ambisius. Belum pernah ada program
> sejenis ini sebelumnya. Yang ada adalah sekolah bagi anak dhuafa tapi memang
> memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Program Sekolah Pemimpinnya ini
> tidak mensyaratkan adanya tingkat intelektual tertentu bagi siswanya.
> Syaratnya adalah siswa miskin dan yang penting orang tuanya bersedia untuk
> menyerahkan anaknya kepada sekolah dan asrama tersebut untuk dididik.
> Semakin miskin, semakin besar kemungkinannya untuk d