Lho? Bukannya Eva Kusuma dan partainya PDIP ada di DPR dan turut merancang
serta mengesahkan semua produk UU itu? Lha kok mau disetir asing?
Logika tak jalan, hasilnya jeruk makan jeruk. Mestinya rakyat menggugat mereka,
bukan malah mereka yang ngeluh ke koran. Hadoh!
manneke
--- On Mon, 8/16/10, Satrio Arismunandar wrote:
Received: Monday, August 16, 2010, 5:18 AM
Beritasatu.com | Senin, 16 Agustus 2010
Asing Turut Campur Pembuatan Undang-Undang
http://www.beritasa tu.com/articles/ read/2010/ 8/955/asing- turut-campur-
pembuatan- undang-undang
Badan Intelijen Negara atau BIN melaporkan, proses pembuatan 79 undang-undang
di DPR dikonsep oleh konsultan asing.
Pernyataan itu disampaikan oleh anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Eva
Kusuma Sundari, yang mengaku mendapatkan informasi tersebut dari
laporan BIN.
"Pasca reformasi, berdasarkan hasil laporan BIN, 79 UU kita, dikonsep
oleh konsultan asing," kata Eva dalam sebuah acara diskusi di Jakarta.
Eva mengatakan, campur tangan asing dalam pembuatan undang-undang itu
adalah bentuk subversif terhadap konstitusi karena regulasi yang dibuat
dan dihasilkan tidak lagi merujuk konstitusi.
"Ke depan, guidance value kebijakan itu harus merujuk pada konstitusi," kata
Eva.
Sektor Mingas dan Pertanian
Menurut Eva, campur tangan asing dalam proses pembuatan undang-undang
kebanyakan menyangkut regulasi di sektor strategis. Antara lain
undang-undang di sektor minyak dan gas, energi dan pertanian.
"Bayangkan saja, sekarang 80 persen tambang kita dikuasai asing. Wajar
bila sustaibility energi listrik, pupuk dan energi di dalam negeri tak
terpenuhi," kata Eva.
Dia memberi contoh, campur tangan asing dalam eksplorasi gas di
Sulawesi. "Belum-belum, negara sudah menyatakan 20 persen hanya untuk
dalam negeri. Padahal perusahaan gas negara teriak-teriak, " ujar Eva.
Dia juga merujuk hasil kajian Serikat Tani yang menyebutkan ada 23
undang-undang yang berhubungan dengan pertanian tidak memihak para
petani dalam negeri.
"Undang-undang yang terkait migas, energi dan pertanian, sangat pro corporate,"
kata Eva.
Dia menyimpulkan, praktek kekuasaan saat ini jarang sekali menggunakan
konstitusi sebagai pegangan karena semua diserahkan kepada selera pasar
sehingga yang muncul kemudian adalah negosiasi politik transaksional.
Salah satu contohnya adalah Undang-Undang Politik yang di dalamnya ada wacana
ambang batas atau parliamentary treshold.
"Banyak partai setuju [ambang batas] 5 persen. PDI-P juga. Namun nanti
akan ada transaksi, sehingga di dapat angka 3,5 persen," ujarnya.
Memukul Kredibilitas DPR
Menurut Eva, campur tangan asing dalam proses legislasi di Indonesia
bukan saja mengejutkan, tapi juga berbahaya bagi kedaulatan dan
kemandirian Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Menurutnya, campur tangan asing itu juga memukul kredibilitas parlemen sebagai
lembaga legislasi.
"Anggap saja [laporan BIN] itu otokritik bagi DPR. Ke depan jangan
terjadi lagi. Biarlah alon-alon [pelan-pelan- Red] tapi orientasi
pembuatan undang-undang benar-benar demi bangsa," kata dia.
Rekan Eva di DPR, Teguh Juwarno mengatakan, sebagai sebuah bangsa,
Indonesia bisa dikatakan adalah bangsa yang rendah diri karena semua
tergantung asing.
"Beli susu dari Australia. Padahal kita ini negara besar. Semua
berkepentingan dengan Indonesia, misalnya kalau Australia mencoba
menekan Indonesia, negara lain seperti Jepang akan bereaksi, karena
akan ke mana Honda dan Kawasaki dipasarkan," kata
wakil ketua komisi II DPR RI dari Fraksi PAN itu.
Menurut Teguh, potensi penduduk yang besar tidak disertai mental pemimpin yang
berdaulat.
"Kita ini sebagai bangsa terbiasa ditanamkan sebagai bekas jajahan. Jadi
mentalnya inlander. Mental penjilat," kata Teguh.***
Satrio Arismunandar
Executive ProducerNews Division, Trans TV, Lantai 3
Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790
Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 3542, Fax: 79184558,
79184627 http://satrioarismunandar6.blogspot.com
HP: 0819 0819 9163
"Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan turunnya si tigawarna
(Belanda). Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk, belumlah pekerjaan
kita selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyaknya keringat"
(Pidato Bung Karno, 17 Agustus 1950)
[Non-text portions of this message have been removed]