[Forum-Pembaca-KOMPAS] Re: Sketsa Puasa 1: Orang "Sampah" & Pintu Air Bersampah
Jan cadiak da, tabung nan tiga kilo kan buek sanak nan indak bisa ba-Internet. Ndak buliah tu da! Nan paduo. Anda seharusnya resek juga bagaimana para produsen gelap itu menyusupkan tabung gasnya ke tabung gas Pertamina. Nan katigo. Tindakan Pertamina itu sudah tepat WALAUPUN MEMANG SUDAH TERLAMBAT. Dengan cara penolakan seperti itu, DIHARAPKAN para pengguna tabung juga berhati-hati dalam menerima tabung gas isian baru: HARUS BER-SNI, KALAU TIDAK JANGAN MAU MEMBAWANYA PULANG. Dengan cara seperti ini diharapkan semua tabung yang akan diisi-ulang sudah ber-SNI. Memang risiko ada pada pengguna yang jujur. Itu juga wajar, karena kalau kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang korup tentu kita akan kena getahnya juga. Begitu juga kalau hidup di tengah-tengah orang yang pelit. Logikanya, tabung 3 kg tidak ada pasarannya jika orang-orang mampu tidak mau berpelit-pelit sebanyak 36 ribu rupiah dengan ikut-ikutan menggunakan tabung 3 kg. Tabung 3 kg dimaksudkan untuk masyarakat yang kurang beruntung. Nan kaampek. Kajai tu baguno untuk membuat regulator duduk lebih manis (tegak) pada katupnya sehingga muncung regulator masuk simetris ke dalam karet perapat katup: kebocoran berhenti. Saya juga sering mendapat tabung 12 kg nan pakai kajai. Itu pekerjaan si Mbok. Kita-kita ini hendaknya setiap kali menukar tabung, karet perapat itu dicopot agar nanti di SPBE tabung yang takbakajai tersebut dipasang karet baru. Nan palima, salam. Zul --- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, iwan piliang wrote: > > Saya  tinggal di > bilangan Guntur, Setiabudi Jakarta Selatan. Guntur lebih dikenal karena > di pojokan Jalan Sultan Agung dan Perempatan Jalan Guntur ada markas > Polisi Militer (PM). Di belakang penjara PM Guntur, ada Pasar Manggis, > tempat kami acap membeli kebutuhan sehari-hari. Tak terkecuali gas > elpiji ukuran 3 kg.  Sekelimut pengalaman memakai tabung gas elpiji 3 kg > dan kisah  pemberhentian langkah di saat menjelang berbuka puasa > Ramadan hari pertama di Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan. SEJAK >  menjelang Ramadan, hingga puasa hari pertama, suatu kehebohan nyata di > Pasar Manggis, Guntur, Jakarta Selatan. Tabung gas elpiji 3 kg, tak > bertanda Standar Nasional Industri (SNI) tidak  bisa ditukarkan lagi ke > pedagang. Tabung terakhir  kami pakai, bagian mulut lehernya diberi > ikat karet gelang, kajai, kata orang Minang. Suatu > petang aku pulang. Di dapur aku menyium bau gas. Sertamerta aku cabut > selang tabung, lalu membawa "melon"  ke halaman. Dan kini tabung itu > tak mau diterima pedagang, padahal sebelumnya dibeli dari pedagang > sama.Dan di belakang Pasar Manggis ada perkampungan padat, yang > sehari-hari warga membeli gas dengan tabung gas tanpa SNI itu. Keajaiban > demikian,agaknya, mungkin cuma terjadi di ranah Indonesia. Di > awal Ramadan ini, menikmati hidup sebagai rakyat,  ihwal berpisahnya > nyawa dari badan akibat meleduknya tabung gas, membuat jasad bisa bak > sampah. Seakan murah. "Tukang gas yang 12 kg tak lewat. > Telepon ke  penjual agen agak dekat rumah, dia bilang tidak ada petugas > antar," kata isteri saya. Maka dengan berjalan kaki, dan > menenteng tabung "melon" ringan, menjadi pilihan keluarga kami membeli > gas. Apalagi pedagang penjual gas "melon": yang suka keliliang juga tak > lewat. Kenyatan demikian, manalah dipedulikan oleh > Pertamina. Segenap pimpinan Pertamina, jajarannya, asyik sibuk  dengan > rutinitas yang ada. Lagian, mereka di kantoran, sudah pasti melepaskan > tanggung jawab ke para distributor, dealer dan segenap turunannya. Dengan > logika demikian, mereka membenarkan diri, tetapi dengan rendah hati > saya katakan: bolehlah sebagai orang biasa bertanya, bagaimana > pengawasan produsen terhadap barang dagangan produksinya? Apalagi urusan gas > elpiji ini memang monopoli Pertamina memproduksi? Dalam > kerangka inilah kepapaan sebagai orang biasa menjadi kian tergerus asa. > Bentuk kekecewaan publik satu dua meretas ke aksi datangnya warga ke > istana: setelah cara dan segenap akal menjadi percuma menyampaikan kata, > tak tahu lagi harus mengadu ke mana? Puncaknya seorang > Susi Hariani yang membawa anaknya, Ido,  cacad panggang, dari > Bojonegoro mengadu ke istana, 18 Juli lalu - - untungnya kini sudah > dalam penanganan rumah sakit dibiayai pemerintah. Lebih banyak masalah tak > mengemuka ke media! Lebih berjibun mengendap di bawah permukaaan. Kami > tinggal hanya dipisahkan Jalan Sultan Agung dan Kali Ciliwung, hitungan > jarak tak sampai dua ratus meter, bersebelahan dengan kawasan Menteng, > Jakarta Pusat, dan tidak pula sampai lima ratus meter dari kediaman > Rumah Dinas Wapres, mengalami keadaan tabung gas bermasalah, bagaimana >   pula warga di banyak daerah? Jika di pusat Jakarta saja, > tabung gas bermasalah beredar banyak, kuat dugaan saya, angka 9 juta > tabung bermasalah dari 45 juta elpiji 3 kg tabung beredar k
[Forum-Pembaca-KOMPAS] Re: Sketsa Puasa 1: Orang "Sampah" & Pintu Air Bersampah
Rekan-2 FPK, tulisan yang sangat menyentuh hati serta perasaan, karena nyaris tidak beda dengan kenyataan yang mengitari keseharian rakyat kebanyakan sekarang ini. Namun saya pun yakin, masih cukup banyak manusia yang tidak mengerti inti pesan tulisan ini. Lebih disayangkan lagi, sebagian dari yang tidak mengerti itu, adalah kalangan (secara quantitative memang minoritas, tapi qualitative sebenarnya berbobot) yang telah berhasil (entah dengan cara yang seperti apa?) meraih kewenangan yang sekarang berada ditangan nya. Salam, bodo --- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, iwan piliang wrote: > > Saya  tinggal di > bilangan Guntur, Setiabudi Jakarta Selatan. Guntur lebih dikenal karena > di pojokan Jalan Sultan Agung dan Perempatan Jalan Guntur ada markas > Polisi Militer (PM). Di belakang penjara PM Guntur, ada Pasar Manggis, > tempat kami acap membeli kebutuhan sehari-hari. Tak terkecuali gas > elpiji ukuran 3 kg.  Sekelimut pengalaman memakai tabung gas elpiji 3 kg > dan kisah  pemberhentian langkah di saat menjelang berbuka puasa > Ramadan hari pertama di Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan. SEJAK >  menjelang Ramadan, hingga puasa hari pertama, suatu kehebohan nyata di > Pasar Manggis, Guntur, Jakarta Selatan. Tabung gas elpiji 3 kg, tak > bertanda Standar Nasional Industri (SNI) tidak  bisa ditukarkan lagi ke > pedagang. Tabung terakhir  kami pakai, bagian mulut lehernya diberi > ikat karet gelang, kajai, kata orang Minang. Suatu > petang aku pulang. Di dapur aku menyium bau gas. Sertamerta aku cabut > selang tabung, lalu membawa "melon"  ke halaman. Dan kini tabung itu > tak mau diterima pedagang, padahal sebelumnya dibeli dari pedagang > sama.Dan di belakang Pasar Manggis ada perkampungan padat, yang > sehari-hari warga membeli gas dengan tabung gas tanpa SNI itu. Keajaiban > demikian,agaknya, mungkin cuma terjadi di ranah Indonesia. Di > awal Ramadan ini, menikmati hidup sebagai rakyat,  ihwal berpisahnya > nyawa dari badan akibat meleduknya tabung gas, membuat jasad bisa bak > sampah. Seakan murah. "Tukang gas yang 12 kg tak lewat. > Telepon ke  penjual agen agak dekat rumah, dia bilang tidak ada petugas > antar," kata isteri saya. Maka dengan berjalan kaki, dan > menenteng tabung "melon" ringan, menjadi pilihan keluarga kami membeli > gas. Apalagi pedagang penjual gas "melon": yang suka keliliang juga tak > lewat. Kenyatan demikian, manalah dipedulikan oleh > Pertamina. Segenap pimpinan Pertamina, jajarannya, asyik sibuk  dengan > rutinitas yang ada. Lagian, mereka di kantoran, sudah pasti melepaskan > tanggung jawab ke para distributor, dealer dan segenap turunannya. Dengan > logika demikian, mereka membenarkan diri, tetapi dengan rendah hati > saya katakan: bolehlah sebagai orang biasa bertanya, bagaimana > pengawasan produsen terhadap barang dagangan produksinya? Apalagi urusan gas > elpiji ini memang monopoli Pertamina memproduksi? Dalam > kerangka inilah kepapaan sebagai orang biasa menjadi kian tergerus asa. > Bentuk kekecewaan publik satu dua meretas ke aksi datangnya warga ke > istana: setelah cara dan segenap akal menjadi percuma menyampaikan kata, > tak tahu lagi harus mengadu ke mana? Puncaknya seorang > Susi Hariani yang membawa anaknya, Ido,  cacad panggang, dari > Bojonegoro mengadu ke istana, 18 Juli lalu - - untungnya kini sudah > dalam penanganan rumah sakit dibiayai pemerintah. Lebih banyak masalah tak > mengemuka ke media! Lebih berjibun mengendap di bawah permukaaan. Kami > tinggal hanya dipisahkan Jalan Sultan Agung dan Kali Ciliwung, hitungan > jarak tak sampai dua ratus meter, bersebelahan dengan kawasan Menteng, > Jakarta Pusat, dan tidak pula sampai lima ratus meter dari kediaman > Rumah Dinas Wapres, mengalami keadaan tabung gas bermasalah, bagaimana >   pula warga di banyak daerah? Jika di pusat Jakarta saja, > tabung gas bermasalah beredar banyak, kuat dugaan saya, angka 9 juta > tabung bermasalah dari 45 juta elpiji 3 kg tabung beredar kini, lebih > besar lagi. Angka sembilan itu kini bisa jadi sudah sembilan belas, atau > bisa jadi dua puluh sembilan? Kedengaran mengarang memang. Tetapi > sebuah angka rabaan bisa jadi bukan omong kosong, karena tidak ada > program darurat,  aksi cepat,  Pertamina memverifikasi perihal > ke-pah-poh-an ini. Hilangnya nyawa puluhan orang mereka > anggap biasa. Sama biasanya dengan pulang perginya mereka  bekerja di > Pertamina sehari-hari menunaikan tugas, terkadang membuat mereka > bagaikan robot, melupakan aras  manusia. Macam melihat robot itulah body > language > Dirut Pertamina dalam sosialisasi penggunaan tabung gas 3 kg belakangan > di televisi. Bahkan dalam iklan layanan masyarakat yang mereka buat > pun, sang Dirut hanya berujar, "Tabung Gas Pertamina Aman". Tanpa ada > kerendah-hatian, membeberkan  dalam satu paparan, langkah-langkah > tanggap telah mereka lakukan, lalu p