Oleh Pieter P Gero
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.01.25.0401349&channel=2&mn=13&idx=13



Seluruh Jepang sontak bersukacita pada 6 September 2006. Para
politisinya lega. Sebuah debat krusial soal amandemen UU akhirnya
batal. Kawashima Kiko, perempuan biasa yang dinikahi Pangeran
Akishino, putra kedua Kaisar Akihito, pada 29 Juni 1990, yang menjadi
perantara datangnya keceriaan bagi seluruh Jepang.

Pukul 08.27 pada 6 September itu, Putri Akishino atau populer dengan
Putri Kiko melahirkan anak laki-laki. Anaknya yang ketiga, tetapi
laki-laki pertama dalam lingkup Takhta Bunga Seruni Jepang setelah
lebih dari empat dekade ini. Bocah laki-laki yang membuat cuaca cerah
musim gugur pada Rabu pagi di Tokyo dan Jepang saat itu kian bersinar.

Harian The International Herald Tribune menulis, massa mengelu-elukan
Putri Kiko yang harus menjalani operasi Cesar untuk melahirkan
Pangeran Hisahito. Tidak ada yang keliru dari Putri Kiko di mata
seluruh rakyat Jepang setelah lahirnya Pangeran Hisahito.

Dia langsung melejit menjadi model istri idola, ibu teladan, bahkan
menjadi simbol keteguhan di Jepang. Perdebatan soal amandemen
konstitusi yang memungkinkan perempuan bisa menjadi penerus Takhta
Seruni terhenti. Padahal, PM Jepang saat itu, Junichiro Koizumi,
bersiap dengan amandemen, sekalipun ditentang keras kelompok
konservatif di istana.

"Dia riang, selalu senyum, dia sepertinya tidak pernah mengalami
hal-hal menyedihkan," ujar Jeff Kingston, Direktur Studi Asia pada
Temple University di Tokyo. Kingston membandingkan Putri Kiko dengan
Putri Masako, istri putra mahkota Naruhito yang sulit menyesuaikan
diri dengan kehidupan istana. "Putri Kiko sangat sempurna," tegasnya.

Teman kuliah

Wajah ceria Putri Kiko selama sepekan terakhir ini muncul di media
massa di Indonesia. Ibu tiga anak—Putri Mako (lahir 23 Oktober 1991),
Putri Kako (29 Desember 1994), dan Pangeran Hisahito (6 September
2006)— yang sedang menemani suaminya, Pangeran Akishino, ke Indonesia
(18-24 Januari 2008). Bagian dari perayaan 50 tahun hubungan
Indonesia-Jepang.

Saat acara resmi, Putri Kiko berada beberapa langkah di belakang
suaminya. Namun, saat acara lebih santai, Putri Kiko terlihat lengket,
penuh senyum menggandeng lengan Pangeran Akishino. Masa pacaran yang
relatif lama membuat Putri Kiko paham benar kapan Akishino sebagai
pangeran dan kapan sebagai suami.

Pangeran Akishino dan Putri Kiko melewati masa pacaran selama lima
tahun. Keduanya bertemu saat kuliah di Universitas Gakushuin di Tokyo
pada tahun 1985. Setahun kemudian, Pangeran Akishino langsung mengajak
Kawashima Kiko—nama asli Putri Kiko—untuk menikah.

Mereka pun serius pacaran. Namun, selama tiga tahun, keduanya tidak
mengungkapkan rencana untuk menikah kepada siapa pun. Pertunangan pun
berlangsung September 1989, dan pernikahan di Istana Kekaisaran di
Tokyo 29 Juni 1990.

Perkawinan ini menciptakan beberapa sejarah dalam kekaisaran. Pertama
kali pasangan pangantin masih kuliah. Perkawinan melangkahi putra
mahkota Pangeran Naruhito yang baru menikahi Putri Masako tahun 1993.

Pengantin perempuan, Putri Kiko, berasal dari masyarakat biasa kelas
menengah sama seperti ibu mertuanya. Putri Michiko, ibu Pangeran
Akishino, juga dari warga biasa saat menikah dengan Kaisar Akihito
pada 10 April 1959. Tetapi, Putri Kiko datang dari keluarga terpelajar
dan cukup kaya.

Putri Kiko adalah anak sulung dari Kawashima Tatsuhiko, profesor
geologi pada Universitas Gakushuin. Saat kecil acap kali dipanggil
Kiki oleh teman-teman dan keluarganya. Masa pra- sekolah dilaluinya di
AS saat ayahnya mengambil doktor di Universitas Pennsylvania.

Sekolah dasar dan SLTA dilaluinya di Vienna, Austria, saat ayahnya
menjadi kepala riset di Laxenburg, Austria. Karena itu, Putri Kiko
sangat lancar berbahasa Inggris dan Jerman. Sang putri juga menyandang
gelar master psikologi pada Universitas Gakushuin tahun 1995.

Semangat belajar dari ayahnya membuat Putri Kiko terus kuliah saat
hamil putri pertama dan kedua. Meski demikian, dia tetap menjalani
tugasnya di lingkup istana. Dia kini menjabat sebagai presiden dari
Asosiasi Antituberkolosis Jepang dan wakil presiden kehormatan Palang
Merah Jepang.

Putri Kiko juga dikenal dengan keahliannya dalam bahasa isyarat,
bagian dari kepeduliannya pada pengidap tuna runggu. Keahlian ini
selalu dipraktikkan pada kontes tahunan nasional setiap Agustus. Putri
Kiko mempelajari bahasa isyarat ini sejak dia masih pelajar.

Latar belakang psikologi dan ragam lingkungan kehidupan sejak di AS,
Austria, dan Jepang membuat Putri Kiko lebih mudah menyesuaikan diri
dengan lingkup istana. Masa pacaran yang panjang juga bagian lain yang
membuat Putri Kiko tidak terlalu kaget dengan kehidupan serba kaku dan
protokoler di istana. Dia dengan mudah menyesuaikan keadaan.

Majalah mingguan Bunshun pernah menulis, Pangeran Akishino dan Putri
Kiko menerapkan kehidupan penuh keakraban dalam rumah tangga mereka.
Putri Kiko yang menyediakan sendiri minuman buat sahabat-sahabat
suaminya. Dia tidak menunggu pada pelayan istana yang ada. Dia juga
yang menyediakan sendiri makanan dan perlengkapan dari putri-putrinya
yang sudah beranjak remaja.

Sejak tahun 1997, Pangeran Akishino dan Putri Kiko dan anak-anaknya
tinggal di Istana Akasaka di Motoakasaka, kawasan Minato, Tokyo. Putri
Kiko kini punya tugas membimbing dan mendidik Pangeran Hisahito yang
adalah pewaris nomor tiga Takhta Seruni itu.

Seperti biasanya, Putri Kiko selalu tampak ceria, penuh senyum, dan
berupaya melewatkan hidup seperti apa adanya. Seperti kata Jeff
Kingston, dia selalu senyum dan sepertinya tak pernah merasakan
hal-hal sedih dalam hidupnya.

Melihat penampilan sederhana penuh ceria dari Pangeran Akishino selama
di Indonesia, jelas hasil dari kehadiran Putri Kiko dalam kehidupan
sang pangeran. Apalagi, setelah kehadiran si kecil Hisahito.

Kirim email ke