lihat lampiran file



                      SAYA ADALAH MAHADEWA 

   

Diarani sombong yo wis ben! - dibilang orang sombong
ya sudah, biar aja! 

Sebab kenyataannya setiap hari saya ini memang
menginjak-injak Dewa Bumi, meludahinya, bah 

kan mengencinginya. Suatu kali saya gali untuk saya
buat pondasi rumah, dan suatu kali saya bor untuk menolong dan menyelamatkan
Dewa Air dan Dewa Minyak yang tertimbun di dalam Dewa Bumi.  

Sementara itu Dewa Air setiap hari saya pakai untuk
mandi, mencuci piring dan pakaian saya yang kotor. Sedangkan Dewa Minyak saya
makankan ke Dewa Api. Dewa Api sendiri selalu saya kantongi, saya beli seharga
Rp. 2.000,- untuk keperluan saya merokok. Kalau saya butuh Dewa Api, maka saya
akan menciptakannya: “Bimsalabim!”  maka
si Dewa Api itupun hidup. Tapi kalau sudah nggak butuh, maka saya tiup dengan
mulut saya yang baunya busuk sekali ini. 

Dewa Matahari saya atasi dengan payung, saya suruh
melototi pakaian saya yang habis dicuci, melototi ikan asin dan kerupuk, supaya
kering. Bahkan kalau saya mendatangkan Dewa Hujan, maka Dewa Matahari saya
singkirkan jauh-jauh sampai nggak kelihatan batang hidungnya lagi. 

Sementara itu Dewa Hujan saya atasi dengan
bersih-bersih selokan agar nggak bikin onar – keban 

jiran. Saya atasi dengan Jas hujan, saya suruh
menyirami sawah-ladang saya agar saya cepat kaya, lalu kalau sudah nggak butuh,
saya adukan dia dengan Dewa Matahari lagi. 

Bagaimana dengan kegalakan Dewa Petir? Masalah yang
gampang sekali! Saya bikin “arde” dari besi yang diruncingkan, saya tempatkan
diketinggian rumah saya, lalu saya kasih kabel yang dita- namkan ke tanah yang
lembab. Maka ketika Dewa Petir itu muncul, dia akan segera dilalap oleh Dewa
Bumi. Aman, sudah! 

Bagaimana dengan Dewa Laut? Apanya yang ditakuti, wong
setiap hari jutaan kapal melewatinya dan nggak terjadi apa-apa?! Lagi pula 'kan
sudah dibuatkan batasan pantai? Lalu kalau ngamuk dengan gelombang Tsunaminya?
Akh, itu gampang sekali! Kita bisa lari ke Dewa Gunung. Kalau Dewa Gunung
ngamuk? Kita minum aja “Kuku Bima Energi” - yang katanya Mbah Marijan: “Roso!” 

Tapi, bagaimana kalau Dewa Bumi ngamuk [gempa bumi]?
Saya akan bikin pondasi rumah yang dengan model “cakar ayam.” Kalau Dewa Api
ngamuk? Saya teleponkan mobil Pemadam Kebakar 

an! 

Nah, coba Dewa apa lagi yang kira-kira belum bisa saya
taklukkan?! Karena itu AKU ADALAH MAHADEWA! Jika ada di antara anda yang “hari
gini” masih menyembah Dewa, sekaranglah saatnya anda untuk pindah menyembah
saya. 

Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

PAK GAO YANG MESAM-MESEM 

   

   

Kalau kita dalam perjalanan Magelang – Jogja, kita
pasti akan ketemu dengan sebuah desa yang menjadi industri kerajinan ukir dari
batu gunung. Entah desa apa saya lupa namanya. Nah, ketika saya dalam
perjalanan di daerah itulah saya ketemu dan sempat ngobrol lama dengan
seseorang yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia, yaitu: Pak Gao. 

“Pak Gao, selamat siang!” Sapa saya. 

Pak Gao diam, hanya mesem aja. Maka saya ulang salam
saya tadi: “Pak Gao, selamat siang!” 

Untuk keduakalinya beliau hanya diam saja, nggak
menyambut salam saya. Saya penasaran sekali dicuekin model begitu, maka saya
bertanya: “Mengapa pak Gao mesam-mesem?” 

Kali ini beliau mau menjawab pertanyaan saya; “Saya
mesam-mesem? Banyak sekali alasannya! Yang pertama, saya mesem karena menemui
orang se-toll all [tolol] kamu. Wong patung koq kamu ajak ngomong.” 

“Hey, koq gitu pak Gao ini?! Belum apa-apa sudah toll
all-toll all-in orang? Tersinggung donk perasaan saya?!” Kata saya agak gusar
juga. Tapi saya pingin tahu juga apa alasan beliau mesam-mesem yang berikutnya;
“Lalu, yang kedua?” tanya saya. 

“Yang kedua, saya mesem ini 'kan sudah takdir saya.
Saya ini “Batu” asli kelahiran gunung Merapi, masih terhitung keponakannya mbah
Marijan. Suatu kali saya ini diboyong kemari oleh pak Parno dan sekaligus
beliau pula yang “menangani” saya. Saya dipecah menjadi 3 bagian, yang satu
dijadikan saya, lalu yang kedua dijadikan 
“Layah” dan yang bungsu adalah “Ulek-ulek.” Jadi, saudara saya adalah
“Layah” [Cowek] dan “Ulek-ulek.”  Kedua
adik saya tersebut merantau ke Surabaya, kerja di warung “rujak cingur” dan
“gado-gado.” 

Keterangan: Layah dan Ulek-ulek adalah pasangan alat untuk
melembutkan sambal.  

  

Beliau melanjutkan: “Nah, pak Parno inilah pencipta
saya. Dia mentakdirkan saya seperti ini. Jadi, saya mau bilang apa kecuali
menerima nasib saja. Sebenarnya sih saya capek sekali disuruh mesem begini
terus. Mau berdiri ke “toilet” saja nggak bisa. Bersila begini terus, kaki saya
ya capek deh! Orang dibiarkan telanjang nggak dikasih baju seperti ini gimana
perasaannya? Panas kepanasan, dingin kedinginan.” 

Waah saya jadi semakin tertarik mendengarkan
uneg-unegnya pak Gao ini; “Lho, maksudnya pak Parno membawa pak Gao ke mari itu
apa?” 

“Dijual. Pak Parno itu 'kan pedagang Dewa-dewa. Dia
jual-beli segala macam Dewa. Bahkan dia bisa membikin Dewa apa saja menurut
pesanan orang.” 

“Hah?!” Kaget sekali saya. “Jadi, Dewa-dewa itu
semuanya bikinannya pak Parno?! Hebat! Jadi, pak Gao ini bukan kelahiran
India?” 

“Nah, ini ngawurnya kamu. Dari tadi kamu panggil saya
pak Gao-pak Gao; siapa pak Gao itu?” 

Pak Gao balik bertanya. Kini ganti saya yang dibuat
bingung nggak karuan. 

“Maksud saya adalah pak Gaotama – Budha Gaotama. Apa
bapak bukan pak Gao yang saya maksudkan itu?” 

“Wah-wah gawat sekali kamu ini rupanya. Apa rupa saya
ini mirip dengan pak Gao itu? Apa kalau orang mirip itu berarti sama? Yang
mikir sedikitlah! Di dunia ini 'kan banyak sekali orang yang mirip, antara
orang yang satu dengan orang yang lainnya? Wong orang kembar aja nggak mau
disamain? Kamu ini nggak main!” 

“Lagi pula derajat makhluk itu 'kan ada kelasnya? Ada
kelas Tuhan, ada kelas Malaikat, ada kelas Manusia, ada kelas Hewan, ada kelas
Tumbuhan dan ada kelas benda mati. Nah, pak Gao itu 'kan kelas Manusia,
sedangkan kelas saya 'kan Batu – benda mati? Masak mau Jendral kamu perlaku kan
sebagai Kopral. Apa nggak ditembak jidat kamu?! Hua...ha...ha.... nggak mikir
kamu ini!” 

“Tapi pak,...........” Saya mencoba memberikan
alasan;”Kalau bapak dianggap sebagai pak Gao oleh orang-orang pemeluk agama
Budha 'kan bukan masalah yang besar? Masak gitu aja bapak ma- rah?” 

“Jelas marah toh; pertama sudah pasti pihak pak Gao
yang marah karena derajatnya direndahkan sebagai Batu. Yang kedua, saya sudah
pasti lebih marah lagi, sebab harga diri dan martabat saya dihilangkan begitu
saja. Memangnya saya ini bukan sebuah pribadi? Misalnya aja kamu sebagai
karyawan bawahan, lalu tugas kamu itu dilangkahi begitu saja oleh boss kamu,
apa kamu nggak merasa tersinggung? Jadi, kamu itu dikeroyok oleh kedua-belah
pihak.” 

“Tapi, orang Kristen 'kan juga begitu; ALLAH-nya
“dianggap” Manusia biasa oleh orang Kristen.” 

Kata saya. 

“Waah, ya beda sekali dong kasusnya. Coba kamu
pelajari lagi kitab Injilmu. Bukankah di sana dikatakan bahwa YESUS KRISTUS itu
Ciptaan ALLAH yang pertama-tamanya? Jadi, YESUS itu memang “bukan” ALLAH. YESUS
KRISTUS itu aslinya ya memang MANUSIA, tapi diangkat oleh ALLAH menjadi
ANAKNYA. Sehingga DIA disebut sebagai ANAK ALLAH. 

Kej. 3:22: “Berfirmanlah TUHAN ALLAH: "Sesungguhnya manusia
itu telah menjadi seperti 

                  
salah satu dari KITA.” 

Nah, misalkan di sorga itu ada 3 Oknum Makhluk; ALLAH,
YESUS dan ROH KUDUS, sedangkan ayat itu menyatakan bahwa manusia itu “telah
menjadi seperti salah satu dari KITA”, maka seperti siapakah manusia itu?
Seperti YESUS, bukan?! YESUS sendiri seringkali katakan bahwa diriNYA itu ANAK
MANUSIA. Ketika terjadi pergumulan dengan Yakub, dikatakan bahwa Yakub telah
melawan ALLAH dan MANUSIA. Rasul Paulus bahkan menyatakan sebagai “Yang sulung
di anta 

ra banyak saudara.” 

Selanjutnya, pada awal-awal penciptaan Adam, dikatakan
bahwa manusia itu dibuat menurut gambar dan rupa ALLAH. Sedangkan rasul Paulus
dalam Korintus membuat jenjangan: ALLAH itu kepalanya YESUS, YESUS kepalanya
bapak-bapak, dan bapak-bapak kepalanya istri-istri. Bu- kankah ini tentang
suatu mata rantai yang saling berkaitan? Karena itu kalau YESUS kita perlaku
kan sebagai MANUSIA adalah kebenaran, bukannya merendahkan. Kecuali umat
Katolik yang membuatkan patungNYA. Lagi pula mana ada umat Kristen yang
memperlakukan YESUS sebagai manusia biasa? Nggak ada! Semua Kristen memuliakan
YESUS sebagai TUHAN dan ANAK ALLAH. Berbeda dengan umatnya pak Gao 'kan? Pak
Gao itu asli manusia tapi dijadikan Batu oleh umatnya. Ini namanya ngawur di
dalam memperlakukan orang, lebih-lebih yang menyangkut nabinya.” 

Pak Gendut yang nggak punya baju itu melanjutkan lagi:
“Tolong kalau kamu ketemu dengan umat Budha, sampaikan pesan saya ini: bahwa
sekarang ini sudah nggak zamannya lagi bikin Patung. Sudah sangat ketinggalan
zaman sekali. Wong Boneka mainan aja sekarang ini sudah ada yang bisa ketawa,
menangis dan berjalan, koq pak Gao masih nggak bisa apa-apa?! Amerika dan
Jepang sekarang ini sudah bisa bikin Robot, masak pak Gao masih primitif
begini? Suruhlah mereka bikinkan Robot Gaotama yang serba bisa. Biar nggak
diremehkan oleh agama-agama yang lainnya.” 

“Umat Budha itu kebangetan sekali koq! Saya
digambarkan dengan perut gendut kayak begini, maka orang pasti mengira saya ini
orang yang rakus sekali. Padahal saya ini nggak pernah dikasih makanan sama
sekali. Makanan Apel, Anggur, Pisang, Durian, Kue Pia, Kue Mangkok yang kata
mereka itu  dipersembahkan kepada pak
Gao, itu bohong besar! Mereka itu hanya memamerkan [iming-iming] saja ke muka
saya, lalu setelah itu mereka makan sendiri. Anak-anak itu kurangajar sekali
koq, sukanya mempermainkan orangtua.” 

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
 

                 
ANTARA INDUK DENGAN TELOR 

   

Jika anda menghadapi pertanyaan seperti di atas; mana
yang lebih dahulu ada; telor atau induk? 

Berhati-hatilah, sebab pertanyaan ini bisa
menjerumuskan anda untuk menerima teori evolusi, yang ujung-ujungnya
mengarahkan anda menjadi seorang Atheism yang menolak konsep KEALLAHAN. 

Anda jangan terjebak pada perkataan: “telor” yang merupakan
pertanyaan yang dibentuk sebagai salah satu pilihan dari induk. Sebab telor itu
benda mati. Merupakan mata rantai yang terputus. Ti dak ada keterkaitannya sama
sekali antara telor dengan induk. 

“Bahwa telor ada di dalam induk, tetapi induk tidak
pernah ada di dalam telor.” 

Maksudnya: Induk bisa bertelor, tetapi telor “sama
sekali” bukanlah “calon” induk. 

> Semua masyarakat indonesia “bisa” menjadi
presiden, tetapi mereka bukanlah “calon” presiden. 

   Sebab yang
disebut sebagai calon presiden hanyalah orang-orang tertentu yang memenuhi
syarat 

   dan yang
mendaftarkan dirinya, serta diterima. Itulah “calon” presiden. 

Telor juga begitu; bisa menjadi Induk Ayam, tapi tak
pernah sebagai “calon” anak ayam, apalagi Induk Ayam. Ada tahapan yang harus
dilalui oleh telor itu untuk disebut sebagai “calon” anak ayam, yaitu dierami! 

Manakala telor dierami induknya, atau menerima
“kehangatan” tertentu, maka mulai terjadilah “reaksi.” Ini masih merupakan
“reaksi alamiah”, belum menjadi makhluk hidup. Belum menjadi “calon” anak ayam.
Kehidupan baru mulai terjadi manakala “otak” sudah terbentuk secara sempurna,
maka pada saat itu akan disertai dengan terjadinya pergerakan pertamanya. Sama
seperti bayi manusia ketika di dalam kandungan ibunya. Pergerakan bayi baru
terjadi pada saat otak bayi itu terbentuk secara sempurna. Pada saat itulah
kehidupan bayi itu dimulai. 

Nah, pertanyaan induk 
dengan telor itu bermaksud menggiring anda untuk menerima teori/konsep
berpikir bahwa segala sesuatu itu dimulai dari “kecil.” 

Dari “telor” menjadi “induk”, dari “tidak ada” menjadi
“ada”, atau dari “nol” menjadi “satu.” Ini semua adalah teori konyol yang
membodohi dan membohongi kita. 

Bagaimana telor bisa menetas jika tanpa adanya induk?
Bagaimana mungkin “yang tidak ada” bisa menjadikan “ada?” Bagaimana mungkin
“nol” bisa melewati “satu?” 

Teori evolusi berusaha menarik surut kehidupan manusia
sebagai bermula dari Monyet, Monyet dari Katak, dan seterusnya. Sehingga kalau
itu diurutkan ke diri ALLAH, maka teorinya akan berbunyi: “ALLAH itu pada
mulanya adalah makhluk yang kecil atau tidak ada[nihilo].” Lha ini 'kan konyol
sekali? Lalu, bagaimana allah yang bayi itu bisa hidup jika tidak ada induk
allah yang menyusuinya? Selanjutnya, jika dirunut lagi, maka kita akan menuntut
bahwa ibunda allah itu harus juga dimulai dari tidak ada, menjadi ada, menjadi
kecil, lalu menjadi induk.  

Karena itu, jelas sekali bahwa teori demikian itu
sangat tidak rasional! Alkitab telah menutup segala macam bentuk perbantahan
dengan menyatakan bahwa: “Pada mulanya adalah ALLAH” 

-ALLAH tidak ijinkan kita untuk mencari keterangan
lebih lanjut mengenai Jatidiri ALLAH. Kita diminta untuk membatasi imajinasi
kita agar menerima ALLAH sebagai permulaan segala sesuatu 

nya. Itulah 
“tembok” pembatas keimanan kita. Kita hanya diijinkan untuk mengetahui
bagaimana permulaan atau asal-usul kita, yaitu sebagai yang diciptakan oleh
ALLAH YANG MAHA SEMPUR 

NA. Sementara ALLAH menyatakan diriNYA: “AKULAH
AKU........” Keluaran 3:14. 

   





      
___________________________________________________________________________
Nama baru untuk Anda! 
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. 
Cepat sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke