Yth. Mbak Tatiana
Mohon ijin untuk membagikan tulisan ini, megingat diskusi pro dan kontra 
pemisahan Irian Barat dari wilayah Republik Indonesia masih terus berlangsung 
di kalangan aktifis pro Demokrasi  dan Hak Asasi  Manusia.Saya tunggu lanjutan 
tulisannya semoga akan memperkaya wawasan demi memperkuat gerakan perjuangan 
Rakyat.
Salam hangat,
Bedjo UntungYPKP65

Dikirim dari Yahoo Mail di Android 
 
  Pada Sen, 28 Okt 2019 pada 7:04, Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com 
[GELORA45]<GELORA45@yahoogroups.com> menulis:       


Meluruskan Sejarah (Bagian 1)

Dengan jatuhnya Hindia Belanda ke tangan Jepang, dan pemerintah Belanda sendiri 
dipaksa mengungsi, meninggalkan negerinya sendiri, hilanglah sudah hak 
“sejarah” Belanda atas jajahannya yang terbesar dan terkaya: Hindia Belanda
27 Oktober 2019   
   - 
   - 
   - 
   - 
   - 
Pertempuran Sekutu dan Jepang di Papua pada Perang Dunia II/Istimewa
Koran Sulindo – Di antara mahasiswa Irian Barat yang terlibat dalam 
separatisme, ada yang berpendapat perlunya pelurusan sejarah, berkaitan dengan 
pulau di mana sampai sekarang masih terus terjadi pelanggaran berat HAM. Sebuah 
keinginan yang sangat masuk akal, apalagi di bawah sebuah rezim yang terbukti 
telah memutar balik dan menyembunyikan fakta sejarah yang tidak menguntungkan 
dan tidak sesuai dengan kepentingannya.

Sementara orang mengajukan Perjanjian New York 1962, atau operasi Trikora 1961 
atau Pepera 1969 sebagai titik tolak dan fakta untuk membuktikan “pencaplokan” 
dan “penjajahan kolonial” Indonesia terhadap Irian Barat. Fakta-fakta ini hanya 
sebagian saja dari kejadian sejarah yang masih harus diungkap latar belakang 
dan hubungannya dengan sikap serta kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

Masalah batas-batas wilayah Republik Indonesia timbul ketika dan karena 
pemerintah kolonial Belanda menolak mengakui kemerdekaan 17 Agustus 1945. Usaha 
gigih Belanda untuk kembali menjajah, tercermin dalam politik pecah belah dan 
adu dombanya, bahkan dua kali agresi militer, tahun 1947 dan 1948. Bagian ini 
hampir tidak pernah disinggung oleh para pendukung separatisme.

Jepang Berkuasa
Pada 1937, dalam menghadapi bahaya fasisme, atas inisiatif Amir Syarifudin, 
tokoh-tokoh komunis dan nasionalis lainnya seperti, Sartono, A.K. Gani, Wikana 
dan lain sebagainya mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Gerindo 
merupakan partai nasionalis pertama yang menerima anggota dari kalangan kaum 
peranakan Tionghoa. Keputusan itu diambil dalam Kongres II di Palembang pada 
1939.

Pada tahun yang sama, Gerindo mengambil inisiatif untuk mendirikan sebuah 
federasi dari berbagai partai politik yang ada ketika itu, dengan nama Gabungan 
Politik Indonesia (GAPI). Di dalamnya terdapat Gerindo, Parindra, Partai 
Sarekat Islam Indonesia, Partai Islam Indonesia, Partai Katolik Indonesia, 
Partai Arab Indonesia, Pasundan dan Persatuan Minahasa.

Perubahan musuh pokok telah mengubah taktik perjuangan. Gerindo dan GAPI 
mengajak Belanda untuk bekerja sama menghadapi bahaya agresi Jepang. Tapi, 
Belanda menolak.

Salah satu sumber alam yang selalu dicari untuk dikuasai oleh kaum imperialis 
adalah minyak. Persaingan dan rebutan sumber alam itu merupakan salah satu 
penyebab perang antar-imperialis. Salah satu sumber alam yang dicari Jepang di 
Hindia Belanda juga minyak. Tidak heran kalau pulau pertama yang disasar 
ada-lah Tarakan, di Kalimantan Timur, di mana Belanda sudah menemukan minyak 
pada akhir abad ke-19.

Sejak itu Belanda melakukan pengeboran minyak mentah dari perut buminya. Jepang 
berhasil menduduki Tarakan tanggal 12 Januari 1942. Balikpapan merupakan sumber 
minyak kedua yang jatuh ke tangan Jepang, 24 Januari 1942.

Setelah pertahanan dan perlawanan Belanda di Pontianak, Samarinda dan 
Banjarmasin ditundukkan, Jepang mengarahkan serangannya ke Sumatera dan14 
Februari 1945, Jepang menduduki Palembang, di mana juga terdapat sumber minyak.

Di samping terus meluaskan kekuasaannya ke daerah Sumatera lainnya, sasaran 
serangan Jepang berikutnya adalah Pulau Jawa, pusat pemerintahan kolonial di 
Hindia Belanda. Jepang mendaratkan balatentaranya hampir sekaligus di Banten, 
Eretan (sebelah barat Cirebon) dan Kragan di Jawa Tengah. Usaha Belanda untuk 
merebut kembali Subang tak berhasil. Setelah pertempuran singkat, bandar udara 
Kalijati jatuh ke tangan Jepang. Lalu, pada 5 Maret 1942, Jepang menduduki 
Batavia. Setelah Bogor dan Lembang tak dapat dipertahankan, Panglima Tertinggi 
Tentara Hindia Belanda, Letjen Hein ter Poorten, di bawah ancaman Bandung akan 
dibom, terpaksa menyerah tanpa syarat. Dengan begitu, tanggal 8 Maret 1942, 
berakhirlah pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda. Dimulailah 
kekuasaan fasisme Jepang di bumi Nusantara.

Sementara itu di Hindia Belanda bagian timur, Jepang mendaratkan tentaranya di 
Fakfak tanggal 1 April 1942. Dari situ, serangan ditujukan ke Ternate, Sorong 
dan Manokwari. Tentara Belanda dipukul mundur dan tanggal 19 April 1942, Jepang 
berhasil merebut Hollandia (sekarang Jayapura). Secara garis besar dan pada 
pokoknya, Hindia Belanda dari Sabang sampai Merauke jatuh ke tangan Jepang. 
Jepang tidak membatasi atau mengecualikan Irian Barat dalam penaklukannya 
terhadap Belanda.

Di Eropa, 10 Mei 1940, tentara Nazi Jerman menyerbu Belanda. Dalam waktu tiga 
hari Belanda tekuk lutut. Pemerintah Kerajaan serta Ratunya melarikan diri ke 
Inggris..

Dengan jatuhnya Hindia Belanda ke tangan Jepang, dan pemerintah Belanda sendiri 
dipaksa mengungsi, meninggalkan negerinya sendiri, hilanglah sudah hak 
“sejarah” Belanda atas jajahannya yang terbesar dan terkaya: Hindia Belanda. 
Ini juga kenyataan yang harus diingat dalam menganalisa kejadian-kejadian 
sejarah berikutnya. “Hak sejarah” Belanda atas Nusantara telah dihancurkan oleh 
fasisme Jepang dan Jerman Nazi.

Selama Jepang menduduki Irian Barat, rakyat melakukan perlawanan dengan senjata 
yang sederhana seperti parang dan panah. Misalnya, perlawanan terbuka terjadi 
bulan Oktober 1942, di pantai Manswan, Biak Selatan, dengan korban sangat besar 
di pihak rakyat. Mereka yang selamat meneruskan perlawanan dalam 
kelompok-kelompok kecil untuk mengganggu kegiatan Jepang.

Silas Papare, salah seorang tokoh Irian Barat, pembela kemerdekaan Indonesia, 
memainkan peran penting dalam perlawanan terhadap Jepang. Sumbangan besarnya 
telah dihargai melalui pemberian Bintang Perunggu dari Ratu Wilhelmina, 5 April 
1945. Penghargaan juga diberikan oleh Biro Intelijen Tentara Sekutu, yang 
ditandatangani oleh Mayor Jenderal G.A. Willongby, 31 Oktober 1945, berkat 
jasa-jasanya dalam membantu Sekutu melawan Jepang.

Sebelum proklamasi diumumkan, tentara Sekutu telah membebaskan Irian Barat. 
NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) membonceng Sekutu untuk menguasai 
kembali jajahannya. Di bawah kondisi negerinya yang hancur, Belanda tidak punya 
kekuatan militer sendiri untuk mengusir Jepang. AS dan Australialah yang 
membantu Belanda berkuasa kembali di kepulauan Nusantara bagian Timur, yaitu 
Irian Barat, kepulauan Maluku, Sunda kecil dan Sulawesi.

Kembalinya kekuasaan Belanda di Irian Barat tidak mendapat tantangan serius 
Rakyat, karena memang tidak ada kekuatan rakyat yang terorganisasi secara 
memadai.

Jelang Kemerdekaan
Soal wilayah yang didiskusikan di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan 
Kemerdekaan, 10 hingga 11 Juli 1945, sudah dibahas dalam “Rasisme dan 
Separatisme di Papua” (Koran Sulindo, 8 Oktober 2019). Karena terdapat 
perbedaan pendapat, dalam kaitannya dengan Papua, antara Mohammad Yamin dan 
Mohammad Hatta, maka dilakukan pemungutan suara. Hatta yang ingin menggantikan 
Papua dengan Malaya dan Borneo Utara hanya mendapat 6 suara. Artinya mayoritas 
setuju bahwa wilayah Indonesia meliputi Papua.

Akhirnya, diputuskan bahwa wilayah Indonesia adalah wilayah bekas Hindia 
Belanda termasuk Papua. Ini sesuai dengan hukum internasional yang mengakui 
prinsip Uti Possidetis Juris. Anehnya, Martin Sitompul, dalam “Debat Pendiri 
Bangsa Soal Papua”, menganggap konsep Hatta-lah yang paling rasional. Apakah 
menggantikan Papua dengan Malaya dan Borneo Utara, rasional? Di mana 
rasionalnya? Konsep itu justru bertentangan dengan hukum internasional. Borneo 
Utara dan Malaya bukan jajahan Belanda.

Pendukung separatisme dan media propagandanya sering mengangkat Hatta dengan 
konsep Indonesia tanpa Papua, seolah-olah itu suara mayoritas dan seolah-olah 
masalah wilayah masih belum selesai pendiskusiannya. Padahal Hatta pun ikut 
dalam proklamasi kemerdekaan dan menjadi wakil presiden Republik Indonesia. 
Artinya dia pun akhirnya menerima suara mayoritas. Mengapa kaum separatis terus 
menggugat dan menguar-uarkan sesuatu yang sebetulnya sudah bukan masalah lagi? 
Seperti Benny Wenda yang ngotot mengatakan Papua tidak pernah menjadi bagian 
dari Indonesia (Aljazeera, 4 September 2019). Ini salah satu pandangan yang 
harus diluruskan, karena tidak sesuai dengan fakta sejarah.

Sejarawan Belanda, Pieter Drooglever, menganggap forum BPUPKI bukan wadah yang 
representatif, karena tidak ada wakil dari Papua. Apakah tiap suku bangsa yang 
hidup di kepulauan Nusantara ini punya wakil di BPUPKI ? Apakah suku bangsa 
Dayak, orang Toraja atau orang Sasak ingin memisahkan diri dari Indonesia, 
karena merasa tidak turut serta dalam diskusi itu. Seandainya, ketika itu sudah 
ada kesadaran politik yang rata di semua suku bangsa Nusantara, dan ada 
penolakan terhadap partisipasi wakil suku bangsa tertentu, barulah kita dapat 
memprotes BPUPKI sebagai badan yang diskriminatif..

Adalah satu fakta bahwa jumlah wakil yang berasal dari Jawa merupakan mayoritas 
dalam BPUPKI. Ini menjadi dasar untuk menuduh seolah-olah kemerdekaan Indonesia 
diperjuangkan hanya oleh orang Jawa untuk kepentingan sukunya sendiri dengan 
mengorbankan kepentingan suku-suku bangsa lain.

Tapi, anggota BPUPKI yang berasal dari Maluku pun, oleh akademisi, Hendry 
Reinard Apituley SH, tidak dianggap sebagai wakil dari Maluku. Ia menganggapnya 
sebagai orang Indonesia terkemuka di Pulau Jawa. Begitu juga orang-orang Maluku 
yang ditemui Bung Karno dalam rangka kemerdekaan, antara lain, Piet de Queljoe 
dan Dolf Jans dari Jakarta, Dr. Latumeten dari Lawang, Dr. Augustien, Piet 
Matulessy dan Mias Supusepa dari Bandung, Tjaka Riupassa dari Semarang, M. 
Ruhupatty dari Magelang, Dr. Thom Pattiradjawane, Librek Nanlohy dan Dr. S. 
Latupeirissa dari Malang, Dr. Siwabessy dan Sasabone dari Surabaya.

Oleh karena itu, Apituley tetap menganggap Maluku tidak diwakili dalam BPUPKI. 
Kalau kita ikuti logikanya, yang dianggap wakil dari Maluku adalah orang yang 
menentang Sukarno dan anti-orang Jawa. Sedangkan mereka yang sadar dan turut 
serta dalam pembangunan bangsa Indonesia, tidak dianggap orang Maluku. Dengan 
begitu, kehadiran Poreu Ohee, kepala kampung di Sentani, yang diutus Sultan 
Tidore untuk bergabung dengan Jong Ambon dalam Kongres Pemuda Kedua, 1928, 
tidak akan diakui sebagai wakil Papua oleh para pendukung separatisme. Karena 
dia setuju dengan Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.

Para perintis dan pembela kemerdekaan RI ketika itu, sadar bahwa 
keberpihakannya kepada RI sama sekali tidak berarti mereka mengkhianati suku 
bangsanya. Dr. Van der Plas menganggap semua orang Ambon pro-Belanda. Maka 
dicobanya meyakinkan Dr. Siwabessy supaya bekerja sama dengan Belanda. Usaha 
saudara kandungnya sendiri, seorang perwira KNIL, juga gagal meyakinkan 
Siwabessy untuk turut membentuk Negara Maluku, boneka Belanda.

Belanda menjadikan Jawa sebagai pusat kehidupan politik, ekonomi dan kebudayaan 
Hindia Belanda. Bersama dengan rakyat kepulauan Maluku sebagai penghasil utama 
rempah-rempah, rakyat Jawa merupakan sasaran pertama pengisapan dan penindasan 
Belanda. Jangan lupa perkebunan tebu, kopi dan sistem tanam paksa di Jawa.

Masuknya modal dan unsur-unsur kapitalisme yang mendobrak tanpa menghancurkan 
seluruh struktur feodalisme di Jawa, melahirkan kebutuhan akan tenaga pribumi 
yang terdidik. Sarana pendidikan yang terpusat di Jawa melahirkan kaum 
intelektual pribumi. Putera-putera suku bangsa lain, yang keadaan ekonomi 
keluarganya memungkinkan, berdatangan ke Jawa untuk menuntut ilmu.. Mereka 
inilah yang kemudian memulai gerakan kemerdekaan dengan membentuk berbagai 
macam organisasi. Dengan demikian, dimulailah proses nation building, yang 
tidak diakui oleh para pendukung separatisme. Apakah munculnya banyak tokoh 
kemerdekaan di Jawa dibanding dengan pulau-pulau lain merupakan kemauan dan 
kesalahan orang Jawa? Tempat kegiatan politik putera-putera suku bangsa lain 
pun terutama di Jawa, itu bukan keinginan subjektif mereka, tapi terdapat 
kondisi material yang melahirkan kenyataan itu.

Hendry Apituley, dalam “Kita ‘Orang Maluku’ Pernah Juga Disebut Anjing” 
menyatakan “Bangsa Indonesia muncul dari ketiadaan! (entah dari mana?) mungkin 
dari antah berantah secara tiba-tiba dan dengan secara tidak terduga dapat 
berkuasa atas seluruh golongan etnis/bangsa/suku dalam wilayah Hindia-Belanda.” 
Inilah seorang intelektual yang buta sejarah. Karena itu, menolak mengakui 
perjuangan para perintis kemerdekaan dalam membangun bangsa Indonesia atau 
nation building. Ia menutup dirinya rapat-rapat dalam tempurung suku bangsanya 
sendiri, maka tidak bisa menerima orang Maluku yang pro-Indonesia sebagai wakil 
dari Maluku.

Dalam pengorganisasian dan administrasi Belanda, Papua dimasukkan ke dalam 
residensi Maluku dengan pusatnya di Ambon.. Ini menunjukkan, ketika itu Belanda 
menganak-tirikan Papua. Papua tidak dianggap penting. Belanda “kaget” dan ingat 
akan kekayaan serta posisi strategis Papua ketika diproklamasikan kemerdekaan 
Indonesia dari Sabang sampai Merauke. [Tatiana Lukman]

  #yiv3521121575 #yiv3521121575 -- #yiv3521121575ygrp-mkp {border:1px solid 
#d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575ygrp-mkp #yiv3521121575hd 
{color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 
0;}#yiv3521121575 #yiv3521121575ygrp-mkp #yiv3521121575ads 
{margin-bottom:10px;}#yiv3521121575 #yiv3521121575ygrp-mkp .yiv3521121575ad 
{padding:0 0;}#yiv3521121575 #yiv3521121575ygrp-mkp .yiv3521121575ad p 
{margin:0;}#yiv3521121575 #yiv3521121575ygrp-mkp .yiv3521121575ad a 
{color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv3521121575 #yiv3521121575ygrp-sponsor 
#yiv3521121575ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575ygrp-sponsor #yiv3521121575ygrp-lc #yiv3521121575hd {margin:10px 
0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575ygrp-sponsor #yiv3521121575ygrp-lc .yiv3521121575ad 
{margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv3521121575 #yiv3521121575actions 
{font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575activity 
{background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv3521121575
 #yiv3521121575activity span {font-weight:700;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575activity span:first-child 
{text-transform:uppercase;}#yiv3521121575 #yiv3521121575activity span a 
{color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv3521121575 #yiv3521121575activity span 
span {color:#ff7900;}#yiv3521121575 #yiv3521121575activity span 
.yiv3521121575underline {text-decoration:underline;}#yiv3521121575 
.yiv3521121575attach 
{clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 
0;width:400px;}#yiv3521121575 .yiv3521121575attach div a 
{text-decoration:none;}#yiv3521121575 .yiv3521121575attach img 
{border:none;padding-right:5px;}#yiv3521121575 .yiv3521121575attach label 
{display:block;margin-bottom:5px;}#yiv3521121575 .yiv3521121575attach label a 
{text-decoration:none;}#yiv3521121575 blockquote {margin:0 0 0 
4px;}#yiv3521121575 .yiv3521121575bold 
{font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv3521121575 
.yiv3521121575bold a {text-decoration:none;}#yiv3521121575 dd.yiv3521121575last 
p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv3521121575 dd.yiv3521121575last p 
span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv3521121575 
dd.yiv3521121575last p span.yiv3521121575yshortcuts 
{margin-right:0;}#yiv3521121575 div.yiv3521121575attach-table div div a 
{text-decoration:none;}#yiv3521121575 div.yiv3521121575attach-table 
{width:400px;}#yiv3521121575 div.yiv3521121575file-title a, #yiv3521121575 
div.yiv3521121575file-title a:active, #yiv3521121575 
div.yiv3521121575file-title a:hover, #yiv3521121575 div.yiv3521121575file-title 
a:visited {text-decoration:none;}#yiv3521121575 div.yiv3521121575photo-title a, 
#yiv3521121575 div.yiv3521121575photo-title a:active, #yiv3521121575 
div.yiv3521121575photo-title a:hover, #yiv3521121575 
div.yiv3521121575photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv3521121575 
div#yiv3521121575ygrp-mlmsg #yiv3521121575ygrp-msg p a 
span.yiv3521121575yshortcuts 
{font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv3521121575 
.yiv3521121575green {color:#628c2a;}#yiv3521121575 .yiv3521121575MsoNormal 
{margin:0 0 0 0;}#yiv3521121575 o {font-size:0;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575photos div {float:left;width:72px;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575photos div div {border:1px solid 
#666666;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575photos div label 
{color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv3521121575
 #yiv3521121575reco-category {font-size:77%;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575reco-desc {font-size:77%;}#yiv3521121575 .yiv3521121575replbq 
{margin:4px;}#yiv3521121575 #yiv3521121575ygrp-actbar div a:first-child 
{margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv3521121575 #yiv3521121575ygrp-mlmsg 
{font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575ygrp-mlmsg select, #yiv3521121575 input, #yiv3521121575 textarea 
{font:99% Arial, Helvetica, clean, sans-serif;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575ygrp-mlmsg pre, #yiv3521121575 code {font:115% 
monospace;}#yiv3521121575 #yiv3521121575ygrp-mlmsg * 
{line-height:1.22em;}#yiv3521121575 #yiv3521121575ygrp-mlmsg #yiv3521121575logo 
{padding-bottom:10px;}#yiv3521121575 #yiv3521121575ygrp-msg p a 
{font-family:Verdana;}#yiv3521121575 #yiv3521121575ygrp-msg 
p#yiv3521121575attach-count span {color:#1E66AE;font-weight:700;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575ygrp-reco #yiv3521121575reco-head 
{color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv3521121575 #yiv3521121575ygrp-reco 
{margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv3521121575 #yiv3521121575ygrp-sponsor 
#yiv3521121575ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575ygrp-sponsor #yiv3521121575ov li 
{font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575ygrp-sponsor #yiv3521121575ov ul {margin:0;padding:0 0 0 
8px;}#yiv3521121575 #yiv3521121575ygrp-text 
{font-family:Georgia;}#yiv3521121575 #yiv3521121575ygrp-text p {margin:0 0 1em 
0;}#yiv3521121575 #yiv3521121575ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv3521121575 
#yiv3521121575ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none 
!important;}#yiv3521121575   

Kirim email ke