https://news.detik.com/kolom/d-4744879/plural-society-dan-konflik-identitas
Senin 14 Oktober 2019, 11:30 WIB
Kolom
"Plural Society" dan Konflik Identitas
Mahpudin Apud - detikNews
<https://connect.detik.com/dashboard/public/mahpudinapud3>
Mahpudin apud <https://connect.detik.com/dashboard/public/mahpudinapud3>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4744879/plural-society-dan-konflik-identitas#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4744879/plural-society-dan-konflik-identitas#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4744879/plural-society-dan-konflik-identitas#>
0 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4744879/plural-society-dan-konflik-identitas#>
Plural Society dan Konflik Identitas Pengungsi yang kembali setelah
Kerusuhan di Wamena (Foto: M Risyal Hidayat/Antara)
*Jakarta* -
Kasus kekerasan dan konflik identitas tampaknya tidak pernah padam dalam
realitas kebangsaan di Indonesia. Pergeseran sistem otoriter menuju
demokrasi ternyata tidak banyak memberi harapan terhadap terwujudnya
kehidupan sosial politik yang damai dan tentram di bawah payung
nasionalisme. Kasus Papua yang terjadi akhir-akhir ini sukses mencuri
perhatian publik.
Aksi demonstrasi yang diikuti oleh kekerasan dan pergolakan massa muncul
ke permukaan sebagai bentuk ketegangan vertikal dan horizontal.
Ketegangan vertikal terjadi antara etnis Papua terhadap pemerintah pusat
yang dianggap gagal dalam menghadirkan keadilan dan kesejahteraan
sosial-ekonomi di tanah Papua. Desain otonomi khusus untuk Papua yang
diikuti dengan sejumlah transfer anggaran ternyata tidak bekerja efektif
dalam meredam ketidakpuasan rakyat Papua terhadap pemerintah.
Sementara ketegangan horizontal terjadi antarkelompok dengan beragam
identitas dan etnis. Dikotomi pribumi dan non-pribumi di tanah Papua
masih menjadi narasi yang tajam dalam struktur kehidupan sosial politik.
Kerusuhan Wamena yang menyerang kelompok pendatang (non-pribumi) adalah
fakta empiris akan munculnya konflik identitas.
Berbagai kasus ketegangan dan konflik identitas yang kembali terjadi
akhir-akhir ini telah membawa kita untuk merenungkan dan merefleksikan
kembali apakah gagasan /plural society/ sebagaimana yang digagas oleh
Furnivall masih relevan dalam membaca politik Indonesia hari ini.
*Masyarakat Majemuk
*
/Plural society/ merupakan sebuah keniscayaan dalam membaca konteks
Indonesia. Jauh sebelum negara ini terbentuk, masyarakat Indonesia sudah
memiliki komunitas dan pranata sosial-politik sendiri berdasarkan ragam
identitas (ras, etnis, agama, budaya). Meskipun demikian, kehadiran
masyarakat yang beragam ini tidak bersatu dalam tatanan dan struktur
sosial-politik yang lebih besar. Hal ini sebagaimana diungkap oleh J.S
Furnivall (dalam Lee, 2009) yang mendefinisikan /plural society/ atau
masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih
elemen atau tatanan sosial yang hidup berdampingan, namun tanpa membaur,
dalam satu unit politik.
Kondisi ini bagi Furnivall memicu hadirnya gesekan antarkomunitas
masyarakat mengingat tidak adanya kehendak bersama yang menyatukan
mereka. Karena tidak adanya kehendak untuk bersatu, maka masyarakat yang
majemuk ini sulit untuk hidup berdampingan. Menurut Furnivall,
masyarakat yang berbeda secara identitas tidak saling menyatu ini dapat
hidup berdampingan dengan syarat terdapat saling ketergantungan ekonomi
atau hadirnya /market place/.
Pasar inilah yang mempertemukan berbagai komunitas yang berbeda sehingga
terjadi interaksi dan komunikasi di sana. Namun ketika /market place/
ini hilang, maka tidak ada lagi interaksi di antara komunitas yang
berbeda tersebut. Dengan kata lain, faktor ekonomi menjadi penentu bagi
terciptanya interaksi antarmasyarakat yang berbeda sekaligus menjadi
fakor pemicu yang menjelaskan pasang surut konflik komunal berbasis
identitas.
Berbagai cara dilakukan oleh pemerintahan untuk mengelola masyarakat
yang majemuk ini. Narasi-narasi coba dibentuk untuk menciptakan kehendak
bersama. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa rezim pemerintahan
tidak hanya sebatas mengandalkan logika /market place/ karena bersifat
temporal. Karena itu, isu nasionalisme menjadi salah satu strategi lain.
Upaya ini diambil oleh rezim pemerintahan dari masa kolonial, massa
kemerdekaan, Orde Baru bahkan Reformasi dan hingga saat ini.
Doktrin nasionalisme secara masif dijalankan oleh negara supaya
masyarakat yang majemuk ini tidak larut dalam tindakan anarki. Kenyataan
bahwa masyarakat majemuk yang secara inheren tidak stabil ini menjadi
pembenar bagi negara untuk melakukan tindakan represif, sentralistik.
Akibat dari upaya doktrinisasi ini pada akhirnya menghancurkan
nilai-nilai lokalitas. Sehingga terjadi pergeseran pola kehidupan
masyarakat dari populasi rasial menjadi populasi nasional (/Ibid/).
Meskipun doktrin nasionalisme dianggap sebagai obat mujarab dalam
mengelola masyarakat yang majemuk dengan menghadirkan narasi politik
untuk menciptakan kehendak hidup bersama, tetapi pada kenyataannya
karakter masyarakat secara ilmiah yang tidak bersatu ini sebenarnya
tidak pernah luntur sama sekali. Isu nasionalisme hanya mampu menutupi
kenyataan /plural society/ secara temporal, tetapi ketika dibenturkan
dengan konteks dan faktor lain justru nasionalisme menjadi bumerang bagi
merebaknya ketegangan identitas.
Misalnya, isu nasionalisme menjadi efektif pada masa penjajahan.
Masyarakat yang majemuk ini memiliki kehendak bersama untuk lepas dari
cengkeraman penjajahan atas nama kemerdekaan Indonesia. Karena itu mau
tidak mau mereka harus berbaur dengan kelompok lain untuk menggalang
kekuatan yang lebih besar melawan penjajah dan merebut kemerdekaan.
Tetapi ketika kemerdekaan telah direbut, isu nasionalisme semakin luntur
seiring banyaknya ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerah atas
ketidakpastian ekonomi dan distribusi /resources/ yang tidak merata.
Tidak salah jika kemudian Anderson (2006) mengungkap bahwa nasionalisme
dipahami sebagai komunitas yang terbayang (/imagine community/) yaitu
munculnya negara-bangsa (nasionalisme) sangat utopis karena hal tersebut
hanya terdapat dalam imajinasi tiap-tiap komunitas yang menganggap bahwa
mereka menjadi bagian dari komunitas tersebut padahal interaksi
sehari-hari anggotanya tidak mencerminkan apa yang diiimajinasikan.
Pergantian rezim yang berbeda dari massa ke massa pada akhirnya tetap
menghasilkan karakteristik yang sama yaitu perlawanan dan ketegangan
masyarakat berbasis identitas. Artinya, rezim demokratis sekalipun tidak
banyak membantu dalam menciptakan kehendak bersama di tengah kehidupan
masyarakat yang majemuk ini. Isu dan doktrin nasionalisme pada konteks
Indonesia hari ini tidak bisa meredam benturan kepentingan atas nama
perbedaan identitas. Bahkan tidak sedikit identitas kelompok masyarakat
tertentu mempertanyakan dan menggugat nasionalisme kebangsaan dengan
menuntut kemerdekaan partikular.
*Papua dan Jakarta
*
Konflik Identitas yang terjadi di Papua menjadi relevan untuk dibahas
pada bagian ini mengingat kasus ini terjadi dalam waktu yang relatif
masih hangat di Indonesia. Ketegangan sosial-politik di Papua awalnya
dipicu oleh ujaran rasis (pelecehan) dan perlakuan represif oleh aparat
keamanan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Pelecehan rasial ini
menyulut kemarahan warga Papua dan direspons dengan aksi protes disertai
perusakan sejumlah fasilitas publik.
Ketegangan ini berlanjut dari semula menuntut keamanan terhadap
mahasiswa Papua yang belajar di Jawa dan mengadili pelaku represif oleh
oknum keamanan, meluas pada tuntutan ingin merdeka dari NKRI. Ketegangan
ini menjadi semakin kompleks dan melebar dengan dukungan dari kekuatan
OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Apa yang dapat dibaca pada kasus ini adalah bahwa ujaran kebencian
bernada rasial terhadap mahasiswa Papua sebenarnya bukan faktor utama
yang menjelaskan ledakan protes warga Papua. Faktor ekonomi-politik yang
ditandai dengan diskriminasi, marginalisasi, dan ketidakpastian ekonomi
adalah faktor dominan yang sudah lama menjadi akar masalah di Papua.
Problem ketimpangan ekonomi dan Ketidakadilan sosial-politik menjadi
bahaya laten di Papua yang tinggal menunggu faktor pemicu lain untuk
meledak. Hasil penelitian lembaga YAPPIKA (2001) merinci yang dimaksud
dengan ketidakadilan terdiri dari eksploitasi sumber daya alam Papua,
dominasi kelompok pendatang, dominasi dan penindasan budaya, dan
kekerasan oleh aparat militer.
Isu politik identitas pada masa Pilkada DKI Jakarta 2017 juga sempat
meramaikan ruang publik. Pilkada Jakarta menjadi seksi karena sebagai
lanskap politik Indonesia. Kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan
oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah memicu kemarahan publik dengan
menggelar aksi protes yang mengakibatkan jutaan massa umat islam turun
ke jalan menuntut Ahok diadili di pengadilan. Saat itu Ahok merupakan
calon petahana yang akan maju pada Pilkada Jakarta 2017.
Menariknya, aksi umat Islam yang awalnya dipicu oleh faktor agama
berujung pada politik identitas. Gerakan ini mendeklarasikan kepada
publik khususnya /islamic voters/ untuk tidak memilih Ahok pada Pilkada
Jakarta karena berasal dari keturunan Cina dan bukan umat Islam. Gerakan
massa yang begitu masif menjelang pemilu menjadi alasan kekalahan Ahok
dalam Pilkada Jakarta, ia pun harus dipenjara karena kasus penistaan agama.
Anies Baswedan, kandidat muslim, berhasil memenangkan kontestasi pemilu
dengan memanfaatkan sentimen identitas (ras dan agama) dan menggunakan
masjid untuk menggemakan perlawanan terhadap kandidat Gubernur Ahok yang
non-Muslim (Hamid, 2019). Selain faktor identitas (Cina versus Pribumi,
Kristen versus Islam), isu ketimpangan sosial-ekonomi (Hadiz, 2016) juga
dapat membantu dalam menjelaskan munculnya gerakan yang mengatasnamakan
aksi "bela islam" yang berjilid-jilid ini.
Apa yang dapat dijelaskan dari dua kasus ini (Papua dan Jakarta)
sesungguhnya mengkonfirmasi bahwa konsep /plural society/ ala Furnivall
masih relevan dalam membaca fenomena ketegangan sosial-politik Indonesia
kontemporer. Benar bahwa masyarakat Indonesia bersifat majemuk yang
hidup berdampingan, tetapi tidak menyatu satu sama lain.
Akibat dari masyarakat yang terkotak-kotak tanpa adanya interaksi
antarkelompok yang berbeda ini rawan memunculkan sentimen negatif,
kebencian, dan mempertajam primordialisme sehingga memicu konflik dan
perpecahan komunal ketika ada faktor lain yang memperkeruh suasana
seperti faktor ketimpangan ekonomi dan diskriminasi politik. Bahkan
kondisi masyarakat yang berbeda identitas ini seringkali sengaja
dimanfaatkan oleh elite politik dengan mempertajam sentimen identitas
untuk memperoleh kekuasaan (Sari, 2016).
Kasus Papua dan Jakarta memberi sinyal bahwa sesungguhnya belum ada
kehendak dan keinginan yang sama dari masyarakat Indonesia untuk
mengakui dan menerima perbedaan akan kemajemukan masyarakat ini.
Penolakan terhadap Gubernur China-Kristen serta tidak adanya imajinasi
keindonesiaan di tanah Papua memperkuat konsep Furnivall.
Untuk menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda ini diperlukan narasi
lain yang lebih besar yang menaungi kelompok-kelompok tersebut sehingga
menciptakan kehendak umum untuk hidup bersama dalam payung nasionalisme.
Bagi Furnivall, perlu adanya saling ketergantungan ekonomi dalam bentuk
pasar yang memungkinkan adanya pertemuan dan interaksi dalam kehidupan
sehari-sehari di antara kelompok yang berbeda ini.
Namun, dalam konteks masyarakat modern hari ini makna /market place/
mengalami perluasan dan modifikasi sehingga tidak hanya menjelaskan
konsep pasar secara sempit yang mengandaikan adanya permintaan dan
penawaran serta hadirnya interaksi antara penjual dan pembeli. Perlu
melihat secara luas bahwa market place adalah salah satu bagian dari
varian aspek ekonomi. Bahkan untuk menjelaskan ketegangan berbasis
identitas hari ini perlu melibatkan aspek politik (/politics place/).
Perpaduan antara ekonomi dan politik menghasilkan logika /distribution
of resource/ --/economical resources and political resources/. Hal ini
dianggap lebih tepat dalam membaca konteks konflik sosial-politik
kontemporer di Indonesia. Premis yang dipakai adalah semakin meratanya
distribusi sumber daya ekonomi-politik, maka konflik identitas bisa
diredam. Sebaliknya, semakin terpusatnya sumber daya ekonomi-politik ke
tangan salah satu atau beberapa kelompok, maka konflik tidak bisa
terhindarkan (Vanhanen, 1997).
Mengingat sekali lagi secara ilmiah masyarakat majemuk hidup
berdampingan dalam suatu wilayah tetapi tidak menyatu, /mix but not
combine/ (Lee, 2009). Artinya, mereka tidak ada keinginan untuk bersatu.
Hal ini dapat mempertajam konflik ketika ada faktor lain yang memicu.
Faktor yang dimaksud adalah ekonomi dan politik. Ketimpangan ekonomi,
segregasi hak-hak identitas dalam politik, diskriminasi dan
ketidakadilan yang didapatkan dalam kelompok yang berbeda ini rawan
terjadinya perpecahan. Dari sini peran /market place /dan/politics
place/ menjadi penting untuk menciptakan keseimbangan sekaligus membuka
kesempatan yang setara bagi setiap kelompok untuk berpartisipasi dan
mengaktualisasikan diri secara otonom tanpa adanya ancaman dari kelompok
lain.
Jika /market place/ secara sederhana diwakili dalam bentuk pasar, maka
/politics place/ dapat dianalogikan sebagai institusi kekuasaan baik
formal (parlemen dan jabatan birokrasi) maupun non-formal (organisasi
kemasyarakatan). Institusi kekuasaan ini menjadi wadah yang memungkinkan
terjadinya interaksi antar-berbagai kelompok yang berbeda untuk
mendialogkan dan mengartikulasikan urusan publik secara inklusif dan
setara. Institusi kekuasaan ini harus menjamin hadirnya ide representasi
yang akomodatif terhadap kepentingan kelompok yang berbeda-beda tanpa
meminggirkan kelompok yang lain.
Ketika /politics place/ ini hanya dikuasi oleh sekelompok identitas
tertentu, maka kemungkinan terjadinya ketegangan sosial politik atas
nama identitas sulit dihindari. Karena itu dalam perspektif Kymlica
(2002:13-49) sistem politik yang ideal adalah dengan menyediakan
kesempatan yang sama terhadap kelompok masyarakat untuk mengekspresikan
identitas dan kepentingannya.
Sehubungan dengan ini diperlukan kebijakan spesifik yang mengakomodasi
perbedaan kelompok identitas ini paling tidak dalam tiga hal. Pertama,
memberikan hak atas pemerintahan sendiri. Kedua, hak polietnis. Ketiga,
hak perwakilan khusus.
Maraknya pemekaran daerah di era Reformasi dengan alasan memiliki
perbedaan identitas dan sejarah yang berbeda dengan daerah induk dapat
dibaca sebagai tidak bekerjanya /market place/ dan /politics place/ yang
terdistribusi secara merata sehingga keadaan ilmiah akan adanya
masyarakat yang plural dan berbeda ini menjadi pembenar untuk memisahkan
diri dari komunitas yang lebih besar karena dianggap merugikan dan
kekhawatiran akan adanya ancaman dan bahaya yang lebih besar.
Akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa konflik dan ketegangan etnis yang
terjadi di Indonesia dengan mengambil contoh kasus Papua dan Pilkada
Jakarta mempertegas bahwa konsep /plural society/ ala Furnivall masih
relevan. Bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang hidup
berdampingan namun hanya secara fisik; mereka terpisah oleh perbedaan
identitas yang melekat pada diri mereka masing-masing.
Beberapa modifikasi konsep Furnivall dapat dilihat dari perluasan logika
/market place/ ke /politics place/ sebagai syarat untuk menciptakan
keberadaan masyarakat yang majemuk ini hidup berdampingan dan saling
berinteraksi satu sama lain. /Market place/ dan /politics place/
sesungguhnya berbicara soal /distribution of resources/. Pola
/distribution of resources/ yang merata dan setara dapat memelihara
perdamaian dan meredam konflik, sementara /distribution of resources/
yang terpusat, diskriminatif cenderung membuka peluang terjadinya
konflik komunal berbasis identitas.
*(mmu/mmu)*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*