https://news.detik.com/kolom/d-4444626/agar-petani-bisa-hidup-layak?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.66353707.429525254.1551203188-1125027897.1551203188
Selasa 26 Februari 2019, 15:28 WIB
Kolom
Agar Petani Bisa Hidup Layak
Agus Nugroho - detikNews
<https://connect.detik.com/dashboard/public/agus.dwi.n>
Agus Nugroho <https://connect.detik.com/dashboard/public/agus.dwi.n>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4444626/agar-petani-bisa-hidup-layak?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.66353707.429525254.1551203188-1125027897.1551203188#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4444626/agar-petani-bisa-hidup-layak?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.66353707.429525254.1551203188-1125027897.1551203188#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4444626/agar-petani-bisa-hidup-layak?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.66353707.429525254.1551203188-1125027897.1551203188#>
0 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4444626/agar-petani-bisa-hidup-layak?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.66353707.429525254.1551203188-1125027897.1551203188#>
Agar Petani Bisa Hidup Layak Petani di desa Undaan, Kudus, Jawa Tengah
(Foto: Akrom Hazami)
*Jakarta* -
Pascadebat calon presiden (capres) putaran kedua, masyarakat melihat
bagaimana komitmen kedua capres untuk mengembangkan sektor pertanian.
Sebagai sebuah negara agraris, kontribusi pertanian terhadap
ketersediaan pangan sangatlah besar. Namun begitu, kinerja sektor
pertanian masihlah belum optimal sehingga Indonesia harus mengimpor
produk pangan. Kondisi tersebut yang menjadi fokus masing-masing capres,
bagaimana meningkatkan produksi dan mengurangi impor pangan.
Kedua capres dengan lugas mengungkapkan gagasan untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Namun, ada satu hal yang dilupakan kedua capres yakni
bagaimana menyejahterakan petani.
Pendekatan produksi yang diterapkan Indonesia selama ini hanya berpihak
pada konsumen, sedangkan nasib petani seperti diabaikan. Nilai Tukar
Petani subsektor tanaman pangan menunjukkan usaha tani tanaman pangan
tidak prospektif, yang membuat petani hidup di bawah standar kelayakan.
Kebijakan makro pada aspek produksi juga tidak menunjukkan dampak yang
signifikan pada kesejahteraan petani.
Program subsidi pupuk memang mampu meningkatkan produksi pangan, namun
petani ternyata tidak mampu untuk menentukan harga di pasar. Kondisi ini
menyebabkan petani memperoleh bagian harga yang terkecil dari proses
pemasaran.
Dengan begitu, pendekatan produksi yang selama ini diterapkan perlu
ditambah lagi dengan pendekatan harga. Pendekatan ini nantinya akan
memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi sehingga
Indonesia mampu mencapai kecukupan pangan. Namun, pendekatan harga harus
didesain ulang agar tidak seperti saat ini yakni melalui konsep Harga
Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah.
Konsep HPP belum mampu membuat petani pangan sejahtera karena Bulog
tidak mampu menyerap seluruh gabah petani. Akibatnya petani harus
menjual produk ke pasar dengan harga rendah.
Pendekatan harga yang akan diterapkan pada masa depan sebaiknya berfokus
pada kemandirian petani sehingga tidak memberatkan keuangan negara.
Untuk mewujudkannya, perlu dilakukan pemberdayaan lembaga petani dan
penerapan informasi pemasaran produk pertanian yang andal.
Konsep pemberdayaan petani selama ini fokus pada aspek produksi yang
akhirnya mengkerdilkan fungsi kelembagaan pertanian. Akibatnya, fungsi
kelompok tani saat ini hanya sebagai fasilitator distribusi pupuk
bersubsidi. Padahal kelompok tani sangat potensial untuk menjadi lembaga
pengolahan dan pemasaran hasil ataupun bermitra dengan lembaga sejenis.
Kelompok tani dapat bertransformasi menjadi koperasi atau pasar lelang.
Konsep ini sudah diterapkan petani cabai di lahan pasir pantai Kulon
Progo, Yogyakarta. Pasar lelang yang dibentuk kelompok tani di wilayah
tersebut mampu berperan dalam proses pembentukan harga yang
menguntungkan petani dan meningkatkan efisiensi biaya logistik karena
mengurangi panjang rantai pemasaran.
Contoh lain adalah petani di Jepang membentuk koperasi (/nokyo/) yang
mampu meningkatkan status sosial, ekonomi, dan politik masyarakat tani.
Untuk mencapai konsep ini, maka semua /stakeholders/ perlu memfokuskan
diri pada modernisasi kelembagaan pertanian. Lembaga ini didesain dengan
pendampingan berorientasi pada ekonomi modern.
Kegiatan pendampingan harus diperluas pada pengolahan produk,
administrasi usaha, kewirausahaan kelompok, perizinan dan kemitraan
usaha serta negosiasi pasar. Jenis kegiatan seperti inilah yang membuat
petani mampu menghadapi pelaku pasar yang lain sehingga memperoleh harga
yang layak.
Langkah kedua mengenai sistem informasi pemasaran pertanian yang andal
seharusnya dapat segera direalisasikan dengan melihat kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi yang cepat. Sistem informasi pasar yang
berkembang di dunia pertanian saat ini bersifat kuno, yakni hanya
mendengar keterangan dari petani sekitar. Sistem informasi konvensional
kenyataannya tidak dapat diandalkan petani karena ketidakakuratan
informasi maupun keterlambatan petani menerima informasi.
Petani membutuhkan informasi pasar mengenai kebutuhan konsumen dan harga
jual produk. Berbagai aplikasi /e-commerce/ dapat direplikasi untuk
pemasaran produk pertanian. Namun, konsep ini juga harus diikuti dengan
peningkatan keterampilan petani dalam menggunakan alat dan media
informasi dan komunikasi.
Usia sebagian besar petani yang sudah lanjut dan tingkat pendidikan yang
rendah menjadi kendala utama bagi petani untuk mengakses teknologi
modern. Untuk itu, peserta program tersebut sewajarnya diutamakan pada
pemuda tani di pedesaan yang memiliki sifat adaptif terhadap
perkembangan teknologi. Para pemuda ini kemudian diwajibkan untuk
mensosialisasikan pengetahuan tersebut kepada petani lain sehingga
proses alih teknologi berlangsung secara cepat dan tepat.
Selain dari sisi produsen, harga yang layak bagi petani dapat tercipta
dengan dukungan konsumen. Pendidikan konsumen untuk mengutamakan produk
lokal perlu terus ditingkatkan. Indonesia dapat melihat Jepang yang
masyarakatnya lebih memilih beras produksi sendiri walaupun harganya
lebih mahal daripada beras impor dari Thailand.
Tentu saja proses tersebut tidak harus menunggu rakyat Indonesia
semakmur Jepang, namun dapat dimulai dari pemanfaatan produk pertanian
untuk kebutuhan sehari-hari. Semoga tulisan ini dapat menjadi masukan
bagi pemerintah untuk mengutamakan harga yang layak bagi produk
pertanian sehingga membuat petani sejahtera.
*Agus Dwi Nugroho, SP, M.Sc* /peneliti di Pusat Kajian Kedaulatan
Pertanian (PAKTA) Fakultas Pertanian UGM/
*(mmu/mmu)*
*
*
*=====================*
*
*
*
*
*https://news.detik.com/kolom/d-4444523/regenerasi-petani-menjadikannya-cita-cita
*
Selasa 26 Februari 2019, 14:16 WIB
Kolom
Regenerasi Petani, Menjadikannya Cita-Cita
Mila Sulasmaya - detikNews
<https://news.detik.com/kolom/d-4444523/regenerasi-petani-menjadikannya-cita-cita#>
Mila Sulasmaya
<https://news.detik.com/kolom/d-4444523/regenerasi-petani-menjadikannya-cita-cita#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4444523/regenerasi-petani-menjadikannya-cita-cita#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4444523/regenerasi-petani-menjadikannya-cita-cita#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4444523/regenerasi-petani-menjadikannya-cita-cita#>
1 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4444523/regenerasi-petani-menjadikannya-cita-cita#>
Regenerasi Petani, Menjadikannya Cita-Cita Sebuah perusahaan patungan
Jepang-Indonesia membina petani muda (Foto: Pool/Ewindo)
*Jakarta* - Tidak banyak pemuda yang bercita-cita menjadi petani.
Kelompok kecil ini, yang benar-benar menjadikan pertanian sebagai
/passion/ dan mata pencaharian utama, mulai muncul ke permukaan.
Geliatnya sudah mulai terasa terutama di media-media sosial, tempat
mereka berbagi ilmu pertanian berdasarkan trial dan error.
Keinginan beberapa wilayah untuk menjadi daerah industri maju membuat
pertanian semakin tersisihkan. Tidak adanya dukungan yang
sungguh-sungguh dari pemerintah untuk menggenjot sektor pertanian
membuat sektor ini semakin terbelakang. Jauh dari radar keinginan
generasi muda.
Belanda yang luas wilayahnya tidak lebih luas dibandingkan Provinsi Jawa
Timur mampu tampil menjadi negara pengekspor produk pertanian nomor dua
di dunia. Hal ini tidak lepas dari peran pemerintah yang sungguh-sungguh
mengembangkan pertanian. Semua kebijakan dibuat berdasarkan riset-riset
yang dilakukan para ahli.
Amerika Serikat, Jepang, dan China adalah negara-negara besar lain yang
unggul dalam sektor pertanian. Riset-riset dilakukan untuk mendukung
kebijakan di bidang pertanian. Teknologi dibuat untuk mendukung
pertanian. Maka tidak heran jika hari ini mereka menguasai ekspor
pertanian dunia.
Perdesaan yang perekonomiannya bercorak pertanian tidak seharusnya
berubah menjadi perkotaan yang bercorak industri dan jasa untuk menjadi
daerah yang maju. Desa bisa menjadi pendukung yang baik bagi kota.
Begitupun sebaliknya. Desa bisa tumbuh, berkembang, dan maju setara
dengan kota tanpa harus beralih menjadi daerah yang bercorak industri
dan jasa. Profesi petani bisa setara dengan profesi lainnya terutama di
bidang industri dan jasa.
Pertanian tidak bisa tergantikan. Negara tanpa sistem pertanian yang
baik akan selalu tergantung kepada negara lain. Indonesia memiliki
sumber daya alam yang melimpah. Tanahnya subur, tapi ironis pertaniannya
malah tidak lebih baik dari negara tetangganya. Sudah banyak kata
sindiran ditulis namun tujuh puluh tiga tahun merdeka pertanian tidak
banyak berubah. Sistem mengolah, menanam, sampai memanen seperti
berjalan di tempat.
Jika di Amerika petani sudah menenteng laptop dan pegangannya GPS, di
negara kita masih saja mengayunkan cangkul. Tidak heran jika profesi ini
semakin hari semakin ditinggalkan. Kebanyakan orangtua petani pun tidak
ingin anaknya nanti berprofesi seperti mereka. Bagaimana regenerasi
petani bisa dilakukan jika fakta di lapangan seperti itu?
Mungkin tidak pernah mendengar ada anak yang bercita-cita menjadi
petani. Umumnya mereka bercita-cita menjadi dokter, polisi, yang penting
di kantor, tidak kotor. Kotor identik dengan keterbelakangan. Bahkan
mahasiswa Jurusan Pertanian sekalipun ketika lulus memilih menjadi
karyawan. Ini menjadi tanda paling sederhana bahwa menjadi petani bukan
sesuatu yang diharapkan --bukan profesi prestisius, apalagi menjanjikan.
Kebanyakan petani adalah mereka yang "kalah" dalam persaingan bursa
kerja --terpaksa daripada tidak bekerja. Akhirnya kualitas pertanian pun
tidak pernah berkembang, karena ilmu yang dipakai tidak pernah
di-/upgrade/. Bertani hanya sekadar menyambung hidup. Tanpa ada
keinginan untuk mencari dan melakukan cara lain yang lebih modern.
Data memperlihatkan bahwa jumlah petani setiap tahunnya selalu menurun
sekitar 1,1 persen, tanpa ada penambahan yang signifikan di kelompok
usia muda. Data BPS dari hasil survei pertanian antarsensus 2018
menunjukkan hampir 70 persen petani adalah kelompok umur 45 tahun ke
atas. Berkurangnya jumlah petani juga diikuti dengan luas lahan
pertanian yang semakin menyusut setiap tahunnya karena alih fungsi.
Regenerasi sudah lama tidak berjalan, ditambah label di masyarakat
tentang petani membuat anak muda maju-mundur untuk menjadi petani.
Seorang sarjana pertanian memiliki ilmu tentang bertani, tapi tidak
memiliki mental untuk menjadi petani.
Sebenarnya tidak menjadi masalah yang terlalu serius jumlah petani
semakin menyusut jika yang tersisa adalah petani yang memiliki keinginan
besar dalam bidang pertanian. Orang-orang yang memiliki /passion/ dalam
bidang mana pun akan selalu berupaya. Melalui orang-orang seperti ini
pertanian akan maju. Tapi, seberapa banyak orang yang memiliki /passion/
di pertanian?
Menjadi tugas kita semua sebagai masyarakat untuk turut mendukung
pertanian agar lebih maju. Salah satu caranya dengan menghapus gambaran
kurang baik tentang petani. Paling tidak, kita tidak menjadi bagian yang
menjatuhkan ketika seorang sarjana yang kata orang sudah sekolah
tinggi-tinggi memutuskan untuk menjadi petani. Walaupun sebenarnya
gambaran ini muncul lebih dikarenakan ketiadaan bukti petani yang
berhasil melalui ilmu dan teknologi. Petani kita masih identik dengan
pendidikan rendah dan kemiskinan.
Selama ini gambaran tentang petani adalah mereka dengan pendidikan
rendah dan hidup di bawah garis kemiskinan. Walaupun tidak sedikit yang
sukses dan menjadi kaya, tetapi kalangan ini pun belum menarik minat
generasi muda. Lagi-lagi petani yang sukses ini tidak lebih baik secara
pendidikan. Keberhasilan mereka identik dengan kerja keras menggunakan
otot. Sehingga terlihat masih kurang keren di mata anak muda.
Tugas untuk menghapus gambaran kurang baik tentang petani akan lebih
mudah jika petaninya itu sendiri yang berubah. Salah satunya melalui
petani-petani muda yang saya sebutkan tadi. Mereka memiliki kemauan dan
/passion/ di bidang pertanian. Mereka menghargai profesi pertanian.
Dengan begitu kita berharap beberapa tahun ke depan akan muncul
petani-petani sukses yang tentengannya laptop, bukan pacul --yang cara
kerjanya dengan penerapan teknologi. Sehingga akan menggugah minat
generasi selanjutnya. Maka regenerasi petani diharapkan akan tumbuh.
Pemerintah juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Desa yang maju
akan memudahkan petaninya. Desa yang maju adalah desa yang memiliki
infrastruktur dasar yang baik, seperti fasilitas jalan yang baik, air
bersih yang memadai, dan listrik. Di sinilah pemerintah hadir untuk
menyediakan infrastruktur dasar yang lengkap.
Dengan begitu kita berharap di masa yang akan datang akan banyak anak
muda yang bercita-cita menjadi seorang petani. Menumbuhkan kembali minat
pertanian yang sebenarnya sangat cocok di alam Indonesia. Menumbuhkan
semangat berdikari yang sampai hari ini masih menjadi slogan manis
pemecut semangat. Sehingga lirik lagu kondang era 1970-an milik Koes
Plus, "/Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi
tanaman/," tidak sekadar ironi di tanah subur yang hasil pertaniannya
sendiri harus impor.
*Mila Sulasmaya* /ASN BPS Brebes
/
*(mmu/mmu)
*
**
**
*
*
*
*