http://www.satuharapan.com/read-detail/read/anak-anak-gki-yasmin-11-tahun-tumbuh-dalam-diskriminasi



09:21 WIB | Kamis, 29 Agustus 2019
Anak-anak GKI Yasmin 11 Tahun Tumbuh dalam Diskriminasi

Ivan Kristiadi memegang fotonya pada 2012 lalu, saat dia bernyanyi di depan
gerejanya yang disegel. Kini Ivan berusia 19 tahun dan jadi mahasiswa
tingkat tiga. (Foto: Voaindonesia.com/Rio Tuasikal)


BOGOR, SATUHARAPAN.COM – Ivan Kristiadi, 19 tahun, memandang fotonya pada
2012, ketika dia masih siswa SD, bernyanyi di depan gerejanya yang disegel.

“Saya ngelihat ini kayak merinding gitu. Dari sekecil ini sampai detik ini
kayak (kasusnya) nggak berhenti-berhenti aja,” katanya saat ditemui
pertengahan Agustus lalu.

GKI Yasmin ditutup oleh Pemkot Bogor sejak 2008 atas desakan kelompok
tertentu. Saat itu Ivan menyanyikan *Gereja Tua* dan *Lilin-lilin Kecil*.
Dia mengisahkan pemahamannya ketika masih kecil.

“Ngertinya sih gara-gara banyak orang yang nggak suka aja. Jadi istilahnya
kita disegel sama Pemkot Bogor. Nggak tahu disegelnya kenapa, dibilangnya
karena IMB. Yang saya tahu, saya tuh anak kelas 6 SD, IMB itu izin
mendirikan bangunan,” katanya.

Pihak gereja sudah memenangkan kasus ini di Mahkamah Agung pada 2012, namun
Pemda belum membukanya. Lebih dari 7 tahun, jemaat GKI Yasmin memindahkan
ibadah ke seberang Istana Merdeka sambil menuntut hak-hak mereka.

Selama itu pula belasan anak Yasmin tumbuh besar tanpa gereja. Masa kecil
Ivan dihabiskan dengan ibadah di seberang Istana atau rumah warga. Ketika
remaja, ia bahkan melalui proses katekisasi dengan menumpang di gereja lain..

“Katekisasi adalah sebuah proses penting menuju proses pendewasaan diri dan
iman. Kalau gua nggak dewasa secara iman, nggak dewasa secara diri di GKI
ini dan nggak bisa, ya salah siapa? Salah pemerintah. Padahal, sudah ada
seluruh turunan-turunanya. Kenapa nggak dilaksanakan sih, susah banget
dilaksanakan?” katanya.

*Anak-Anak Yasmin Alami Diskriminasi Sejak Dini*

Kisah serupa dialami Matthew Edward alias Edo, 18 tahun, yang saat itu
masih siswa SD. Edo pernah dua kali menulis surat terbuka kepada Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), meminta pemerintah membuka gerejanya. Edo
tidak tumbuh seperti anak-anak Kristen pada umumnya, kata ibu Edo, Renata
Anggraeni.

 “Untuk usia dia, idealnya kan sebaiknya bahagia. Terus bisa menjalankan
ibadah dengan sehat dan normal. Tapi dia kan enggak. Dia diusir-usir,
didorong-dorong,” katanya.

Ketika usia 13 tahun, Edo pernah didorong oleh kelompok massa ketika
berusaha merayakan Natal di gerejanya. Saat itu, gerejanya dikepung
pengunjuk rasa, sementara Edo menggunakan handycam untuk merekam situasi.
Dia menjadi target kemarahan massa.

“Untuk hal-hal yang buat dia sedih, dia nggak pernah nangis. Tapi hari itu
dia nangis. Dia menangis di depan orang banyak. Itu sampai terguncang
sekali. Sampai harus didampingi, karena Edo sampai… aku baru sekali itu
lihat dia seperti itu. Habis itu dia jadi pendiam,” kata Renata ketika
ditemui pertengahan Agustus.

Seperti Ivan, Edo harus melewati proses katekisasi di gereja lain ketika
gerejanya sendiri terlunta-lunta.

*KPAI Prihatin dengan Anak-Anak Yasmin*

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan prihatin dengan
kondisi anak-anak GKI Yasmin. Komisioner KPAI bidang pendidikan, Retno
Listyarti, mengatakan anak-anak yang mengalami diskriminasi dapat terganggu
perkembangannya.

“Anak ini biasanya akan emosional, akan menjadi lebih terlihat murung atau
sedih. Bisa jadi untuk anak-anak tertentu sulit tidur, bermimpi buruk,
memiliki rasa kepercayaan diri yang rendah, atau bahkan ingin melukai diri
sendiri,” katanya kepada *VOA*, yanng dilansir *Voaindonesia.com*, pada
Rabu (28/8)

Penelitian Howard University tahun 2009 menunjukkan, diskriminasi bisa jadi
sumber trauma kronis yang berdampak negatif pada perkembangan mental dan
fisik anak.

Namun, yang paling terlihat dalam diri Ivan dan Edo adalah sikap apatis
terhadap pemerintah.

Tahun demi tahun berselang, kini keduanya telah jadi mahasiswa. Ivan
mengambil jurusan teknik sipil di sebuah universitas di Depok. Mahasiswa
tingkat tiga ini berharap bisa membantu renovasi gerejanya kelak.

“Makanya gue pengen ngambil sesuatu yang (berguna). Oke, teknik sipil,
mungkin. Bisa ngebangun mungkin nanti. Renovasi segala macem. Tapi gimana
mau ngebangun? Orang masih diginiin (disegel)” katanya.

Sementara Edo baru memulai statusnya sebagai mahasiswa jurusan hukum di
Bali. Pengalaman masa kecilnya telah membentuk cita-citanya.

“Sebenarnya nggak ingin jadi lawyer sih. Cuma kalau ditanya, seandainya
suatu saat jadi lawyer atau hakim atau gimana, ya akan berbuat sebisanya
memperjuangkan hak yang harusnya sudah didapatkan dari dulu,” kata Edo.

Harapan dan doa Edo bagi GKI Yasmin masih sama. “Ya, cepat-cepat beres. Apa
yang diperjuangkan akan didapatkan gitu lho. Entah cepat atau lambat, harus
dan pasti,” katanya.

Belum ada kepastian kapan GKI Yasmin akan dibuka. Satu yang pasti, kasus
ini telah berdampak besar kepada anak-anak yang mengalaminya. (
*Voaindonesia.com*)

Kirim email ke