Apa Saja Tahap Radikalisasi Teroris?


| 
| 
| 
|  |  |

 |

 |
| 
|  | 
tirto-id

Jernih Mengalir Mencerahkan
 |

 |

 |




Massa gabungan Ormas Islam melakukan aksi solidaritas Lawan Terorisme di 
Lhokseumawe, Aceh, Selasa (15/5/2018). ANTARA FOTO/Rahmad
Oleh: M Faisal - 16 Mei 2018Dalam proses radikalisasi, para kelompok teroris 
kerap memberikan berbagai macam narasi tentang kenikmatan hidup di bawah 
naungan khilafah.tirto.id - Sulit dipercaya bahwa rentetan aksi bom bunuh diri 
di tiga gereja di Surabaya pada Minggu pagi (13/5/2018) dilakukan oleh pasangan 
suami-istri, Dita Oeprianto dan Puji Kuswati, beserta keempat anaknya. 
Alasannya sederhana: keluarga Dita disebut ramah kepada tetangga dan tidak 
tertutup dengan lingkungan sosial tempat tinggalnya.

Dita, contohnya, bekerja sebagai wiraswasta dengan menjual produk herbal minyak 
kemiri. Dalam menjalankan usahanya itu, ia dibantu istrinya—yang pernah bekerja 
sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta di Surabaya. Keluarga mereka 
tinggal di komplek Wisma Indah, Kelurahan Wonorejo, Surabaya, perumahan yang 
jauh dari kesan kumuh dan padat.

Jika waktu liburan tiba, mereka biasa pelesir ke beberapa tempat, salah satunya 
di Kabupaten Banyuwangi: mulai dari Pantai Grajakan, Pantai Muncah, hingga 
Pulau Merah. Di rumah, pasangan suami-istri ini menyediakan internet dan 
komputer untuk anak-anaknya yang hobi bermain gim.

Baca juga:   
   - Keluarga Bom Bunuh Diri: Hobi Wisata, Posting Senjata, dan Panahan
   - Keluarga Dita Oepriarto, Potret Bomber Surabaya di Mata Tetangga

Pendek kata, pengeboman yang dilakukan keluarga besar Dita mematahkan asumsi 
umum yang selama ini berkembang bahwa terorisme kerap disebabkan oleh faktor 
kemiskinan dan kurangnya pendidikan.

Berdasarkan keterangan polisi, Dita Oeprianto adalah pemimpin Jamaah Ansharut 
Daulah (JAD) wilayah Surabaya. Sejak November 2017, polisi menetapkan JAD 
sebagai kelompok teroris karena menjadi pendukung utama Negara Islam Irak dan 
Suriah (ISIS) di Indonesia.

Peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Fakultas Psikologi 
Universitas Indonesia, Solahudin, mengatakan proses radikalisasi agama 
berlangsung sangat cepat tanpa pandang status pendidikan, sosial bahkan ekonomi 
seseorang.

Dalam proses radikalisasi, para kelompok teroris kerap menjual berbagai macam 
narasi tentang kenikmatan hidup di bawah naungan khilafah dan penerapan syariat 
Islam, serta memposisikan negara-negara Barat sebagai musuh yang membuat umat 
Muslim tak dapat menjalankan kewajibannya dengan tenang. Tak ketinggalan, 
Solahudin mengatakan, mereka juga selalu menegaskan tentang nubuat akhir zaman 
di mana Suriah disebut-sebuh sebagai tempat paling diberkati.


Berubahnya Teror dan Konteks Radikalisasi

Sejarah mencatat, terdapat perubahan konteks dan definisi tentang terorisme.. 
Dulu, teror lekat dengan keberadaan kelompok anarkis seperti yang terjadi pada 
era 1900an ketika mereka membunuh Presiden AS William McKinley. Theodore 
Roosevelt, yang menggantikan McKinley, lantas menyerukan aksi sapu bersih 
terhadap para anarkis di AS.

Namun, sekarang, narasinya berubah. Teroris tak lagi identik dengan kelompok 
anarkis, melainkan dengan kelompok agama—dalam hal ini Islam.

Di era modern sendiri, menurut hasil penelitian David C. Rappoport yang 
termaktub lewat "Four Waves of Teror," (PDF, 2002) gelombang aksi terorisme 
muncul dalam empat babak. Kelompok teroris gelombang pertama, lahir pada kurun 
waktu 1880-1920an yang bertujuan memenangkan reformasi politik sipil ancaman 
rezim otokratik. Contohnya dapat dilihat pada aksi pembunuhan terhadap Tsar 
Rusia Alexander II. Metode bom bunuh diri telah digunakan pada periode ini.

Baca juga:   
   - Empat Generasi dalam Sejarah Terorisme
   - Hak Korban Terorisme yang Terabaikan

Terorisme gelombang kedua muncul dalam rentang waktu 1920 sampai 1960an. Pada 
periode ini, kelompok-kelompok yang berusaha memperjuangkan kedaulatan 
nasional, seperti Irish Republican Army (IRA) di Irlandia, dan Front Liberation 
Nationale (FLN) di Aljazair, muncul ke permukaan. Rappoport menjelaskan, masa 
gelombang kedua berlangsung hampir 40 tahun dan surut ketika imperium kolonial 
bubar.

Gelombang ketiga terorisme mekar pada 1970an. Pelopornya adalah kelompok yang 
berideologi kiri revolusioner, seperti Brigade Merah Italia (Red Brigades) dan 
Japanese Red Army. Mereka menganggap dirinya sebagai pembela kepentingan negara 
Dunia Ketiga melawan kekuatan kapitalisme global.

Lalu, gelombang terakhir diramaikan oleh kelompok-kelompok teroris yang 
digerakkan ideologi revolusioner serta dorongan religius. Misalnya, Al-Qaeda. 
Karakteristik terpenting dari kelompok gelombang ini adalah mereka tidak ragu 
mengorbankan warga sipil. Karakteristik lainnya yaitu ada usaha dari mereka 
untuk membentuk jaringan terorisme global yang terorganisir.

Rappoport menerangkan, kelompok gelombang terakhir berbeda dengan tiga generasi 
sebelumnya yang cenderung membutuhkan dukungan masyarakat luas sebelum 
meluncurkan aksi terornya. Tiga generasi kelompok sebelumnya pun juga begitu 
hati-hati dalam melakukan teror. Mereka berupaya agar tak jatuh korban dari 
kalangan sipil.

Dari sini lantas muncul pertanyaan. Bagaimana proses radikalisasi kelompok 
teroris ini berlangsung? 

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu apa 
definisi radikalisasi. Anne Aly dan Jason-Leigh Striegher dalam “Examining the 
Role of Religion in Radicalization to Violent Islamist Extremism” (2012) yang 
diterbitkan Studies in Conflict & Terrorism menyebut radikalisasi merupakan 
proses di mana individu “diperkenalkan pada pandangan dunia tertentu yang 
dianggap radikal atau ekstrem.” Definisi lain mengatakan bahwa radikalisasi 
punya kecenderungan untuk mendukung atau menggunakan kekerasan sebagai jalan 
yang diperbolehkan guna mencapai tujuan yang dimaksud.

Dalam “Radicalization in the West: The Homegrown Threat Prepared” (PDF) yang 
disusun oleh Mitchell D. Silber dan Arvin Bhatt, proses radikalisasi dibagi 
menjadi empat tahap. Hasil tersebut mereka simpulkan setelah mengamati 
serangkaian kasus teror di Madrid (2004), London (2005), Australia (2005), dan 
Toronto (2006).

Baca juga:   
   - Bom Surabaya: Potret Perubahan Aksi Teror oleh Keluarga
   - RUU Terorisme Mirip ISA Singapura dan Malaysia

Empat tahapan itu antara lain fase pra-radikalisasi, identifikasi diri, 
indoktrinasi, dan jihadisasi. Pra-radikalisasi adalah periode awal proses 
radikalisasi yang menggambarkan kondisi individu terkait sebelum jadi teroris 
garis keras. Lalu, identifikasi diri kerap diartikan sebagai fase ketika 
individu mulai terpapar paham ideologi radikal yang membuat mereka menafsirkan 
kembali arti agama dan kehidupan.

Setelah proses identifikasi diri selesai, individu akan masuk ke tahap 
indoktrinasi. Proses ini merupakan momentum saat yang bersangkutan mulai 
meyakini bahwa tindakan jihad dibenarkan untuk mewujudkan tujuan yang dibawa 
kelompok tersebut. Dan terakhir ialah fase jihadisasi atau tahapan di mana 
individu sudah masuk ke eksekusi teror. Identitas mereka juga beralih rupa jadi 
“pejuang suci agama.”

Aly dan Striegher, masih dalam “Examining the Role of Religion in 
Radicalization to Violent Islamist Extremism,” menyatakan ada dua faktor yang 
menunjang proses radikalisasi. Pertama, faktor luar atau sekuler yang meliputi 
konteks politik, ekonomi, dan sosial. Kedua, faktor agama yang didasarkan pada 
interpretasi teks Islam, keyakinan untuk berjuang untuk agama, serta anggapan 
bahwa jihad dengan kekerasan adalah kewajiban setiap Muslim.

Tapi, menurut Aly, penyertaan narasi agama sebagai pendukung radikalisasi 
merupakan sesuatu “yang dibesar-besarkan.” Aly menegaskan, sejauh ini, tak ada 
bukti empiris yang menyatakan bahwa agama—tak hanya Islam—adalah penyebab utama 
munculnya terorisme-ekstremisme yang menonjolkan kekerasan. Agama hanya 
berfungsi menjadi perantara yang menebalkan mentalitas “kita lawan mereka” dan 
pembenaran untuk tindak kekerasan terhadap pihak yang dianggap “musuh.”

Yang perlu diperhatikan lagi, perkara radikalisasi makin mendapatkan tempat 
dengan keberadaan media sosial. Dengan adanya media sosial macam Facebook, 
Twitter, YouTube, dan lainnya, proses radikalisasi yang dilakukan kelompok 
teroris-ekstremis menjadi lebih efektif serta mampu menjangkau orang banyak di 
seluruh belahan dunia.

Frederic Lemieux dalam “How Radicalization and Who Is at Risk” yang 
dipublikasikan The Conversation berpendapat ISIS berupaya menumbuhkan jumlah 
pendukungnya dengan menggunakan propaganda media sosial. Mereka memanfaatkan 
YouTube untuk ajang promosi ideologi serta alat penyebar nilai-nilai 
radikalisasi.

Brookings Institute dalam laporannya berjudul “The ISIS Twitter Census” (PDF) 
bahkan menyebut ISIS menggunakan metrik media sosial (Twitter) untuk memetakan 
persebaran geografis para pendukungnya. Tak hanya itu saja, mereka juga juga 
menganalisa pola tweeting, rasio pengikut, dan jumlah akun yang diikuti dari 
masing-masing individu yang menjadi target perekrutan. Lewat taktik dan 
perhitungan semacam ini, ISIS lantas merumuskan strategi untuk menjaring 
anggota baru.




Ditangkis dengan Deradikalisasi

Anne Aly dalam tulisannya yang dimuat di The Guardian menyebutkan dua langkah 
yang bisa diambil untuk meredam radikalisasi. Pertama, memahami alasan maupun 
latar belakang mengapa individu bersangkutan terpapar gagasan 
radikalisme-terorisme. Kedua, melakukan intervensi baik secara persuasif maupun 
hukum.

Di Indonesia sendiri, langkah penanggulangan radikalisasi sebetulnya sudah 
ditempuh oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Menurut Direktur 
Jenderal Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, program yang diambil seperti 
pembinaan terhadap narapidana terorisme melalui assesment atau penilaian.

Selain assesment, Irfan mengatakan, langkah-langkah deradikalisasi dari BNPT 
sudah diupayakan semaksimal mungkin. Setiap narapidana terorisme diidentifikasi 
dan direhabilitasi. Tidak sedikit juga dari mereka yang dibantu untuk berbisnis 
agar bisa kembali ke masyarakat.

Nasir Abbas, mantan narapidana terorisme dari kelompok Jamaah Islamiyah, 
mengatakan kepada Tirto bahwa upaya BNPT cukup membantu karena aparat mencoba 
melakukan pendekatan pribadi dalam melakukan deradikalisasi. Ia menyebutkan 
langkah-langkah yang dilakukan aparat untuk membebaskannya dari doktrin 
ekstremisme. Salah satunya dengan mengajak berbincang tentang ideologi dan 
menghadirkan anggota keluarga untuk memulihkan kondisinya selama 11 bulan 
ditahan.

Baca juga:   
   - Cerita Mantan Teroris: Deradikalisasi Berjalan, Meski Belum Efektif
   - Napi Teroris Mako Brimob Rusuh, Program Deradikalisasi pun Dikritik

Tak hanya menghadirkan keluarga, Nasir yang kini menjadi konsultan senior di 
Division for Applied Science Psychology Research (DASPR) Daya Makara 
Universitas Indonesia ini mengaku pemerintah memberikan bantuan keuangan untuk 
sekolah. Ia pun menyebut salah satu poin penting dalam proses deradikalisasi 
terletak pada pemahaman petugas lapas yang baik. Nasir merasa, program 
deradikalisasi baru bisa efektif apabila petugas lapas mempunyai kemampuan 
untuk membujuk napi secara personal.

Meski begitu, tak semua penanganan yang dilakukan pemerintah melalui BNPT 
dirasa berjalan efektif. Faisal Margie, periset senior dari DASPR Daya Makara 
Universitas Indonesia, mengatakan langkah deradikalisasi berupa pembauran 
antara tahanan dan narapidana terorisme malah menjadi perdebatan karena 
dianggap bakal memperkuat radikalisasi.

“Ada yang menyebutkan bahwa lebih baik disatukan agar potensi penyebaran 
ideologi menjadi minimum, sedangkan lainnya berpendapat bahwa lebih optimal 
jika dipencar agar tidak membentuk kelompok,” ujarnya.

Menurut Faisal, deradikalisasi sebenarnya bisa dilakukan di mana pun dengan 
jumlah peserta acak, asalkan ada penilaian (assessment) yang tepat. Penilaian 
ini harus bisa memisahkan narapidana teroris yang cenderung benar-benar radikal 
dan yang fanatik semata.

Menangkal radikalisasi pada hakikatnya perlu upaya yang berkesinambungan dan 
tak hanya mengandalkan satu pihak saja—pemerintah, misalnya. Harus ada 
sinkronisasi dan koordinasi antarinstansi terkait agar upaya ini terus 
berjalan. Jika tidak, alih-alih efektif, proses radikalisasi justru makin 
beringas.
Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan menarik lainnya M Faisal
(tirto.id - Hukum) 


Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf





Kirim email ke