Apa Sebenarnya Masalah PKI?
/Seri pemikiran Francis Fukuyama #17/
R53<https://www.pinterpolitik.com/author/r53-203>-Wednesday, September
30, 2020 20:00
https://www.pinterpolitik.com/apa-sebenarnya-masalah-pki
Foto: BBC
/7 min read/
*Hari ini, 30 September, Indonesia memperingati pemberontakan
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dikenal dengan peristiwa
G30S/PKI. Namun, sampai saat ini persepsi publik masih terbelah
karena terdapat pihak yang menyebutk PKI adalah korban dari
upaya kudeta Soeharto. Lantas, mengapa perdebatan ini masih
berlanjut?*
------------------------------------------------------------------------
*PinterPolitik.com* <https://www.pinterpolitik.com/a>**
Setiap menjelang tanggal 30 September, isu kebangkitan Partai Komunis
Indonesia (PKI) selalu mengisi ruang-ruang diskursus publik, pun begitu
dengan tahun ini. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang
berisi tokoh-tokoh tenar seperti Refly Harun, Gatot Nurmantyo, Din
Syamsuddin, dan Said Didu bahkan turut menempatkan potensi kebangkitan
PKI dalam delapan poin tuntutannya.
Tanggal 30 September memang begitu bersejarah. Itulah hari di mana PKI
membunuh tujuh jenderal yang kini dikenal sebagai pahlawan revolusi.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (*TAP MPRS*
<https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt50768a41ad5ab/nprt/657/tap-mprs-no-xxv_mprs_1966-tahun-1966-pembubaran-partai-komunis-indonesia,-pernyataan-sebagai-organisasi-terlarang-diseluruh-wilayah-negara-republik-indonesia-bagi-partai-komunis-indonesia>)
Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis
Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah
Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan
Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunis/Marxisme-Leninisme – kemudian dirumuskan guna memberikan aturan
hukum tetap dan mengikat agar peristiwa serupa tidak terulang.
Kendati telah terdapat aturan hukum yang memberikan posisi tegas,
menariknya perdebatan tentang PKI masih terus hidup sampai saat ini,
bahkan menciptakan pembelahan opini. Di satu sisi, PKI jelas disebut
telah melakukan pemberontakan dan usaha kudeta. Namun, di sisi lain,
tidak sedikit yang menilai PKI hanyalah korban dari rencana kudeta yang
dilakukan oleh Soeharto.
Semalam, di acara Indonesia Lawyers Club (ILC), dipilih tajuk yang
sekiranya mengundang perdebatan, yakni “Ideologi PKI masih hidup?”.
Sebuah pernyataan penting dikemukakan oleh Wakil Ketua Umum Partai
Gerindra Bidang Luar Negeri, Fadli Zon dalam acara tersebut. Tegasnya,
persoalan PKI sebenarnya sudah*tidak memiliki*
<https://www.youtube.com/watch?v=PkFm2l8CJGw&ab_channel=IndonesiaLawyersClub>kontroversi
ataupun perdebatan karena fakta sejarah dan aturan hukum telah
menetapkan bahwa PKI beserta ideologinya adalah berbahaya dan dilarang.
Oleh karenanya, menjadi kurang relevan sekiranya untuk kembali
mengungkit perihal apakah PKI merupakan korban dari kudeta Soeharto,
apalagi menyebut ideologi PKI sebenarnya adalah Pancasila seperti yang
diungkapkan oleh Sukmawati Soekarnoputri.
Akan tetapi, dengan fakta masih terbelahnya opini tentang PKI di tengah
masyarakat, mengapa sederet fakta sejarah dan aturan hukum yang telah
ada tetap menyisakan perdebatan tersebut?
*Sentimen atas Rezim Soeharto?*
Dalam sebuah wawancara di *CNN*
<https://edition.cnn.com/videos/tv/2020/07/03/exp-gps-0705-fukuyama-on-the-kind-of-countries-that-managed-covid-19-best.cnn>, Francis
Fukuyama memberikan jawaban menarik perihal mengapa masyarakat mengikuti
arahan dari pemerintahnya. Menurut Fukuyama, letak jawabannya bukan pada
bentuk pemerintahan, yakni demokrasi atau otoriter, melainkan
pada sesuatu yang/intangible/(tak berwujud), yakni/trust/ atau
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya.
Berbeda dengan di Amerika Serikat (AS) yang memiliki sejarah panjang
kecurigaan terhadap pemerintahan, di negara-negara Asia, seperti
Tiongkok yang menganut Konfusius,/trust/masyarakat begitu tinggi
sehingga arahan dari pemerintah lebih mudah untuk didengar dan dijalankan.
Konteks tersebut juga disinggung oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf
Presiden (KSP), Donny Gahral Adian dalam acara ILC pada 5 Februari 2019
lalu. Menurut Donny, dengan fakta Indonesia telah mengalami rezim yang
begitu otoriter di bawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun, itu
membuat masyarakat *mengalami*
<https://www.youtube.com/watch?v=sUf6uVRue-Y> trauma politik dan surplus
kecurigaan terhadap kekuasaan.
Alina Tugend dalam*tulisannya*
<https://www.nytimes.com/2012/03/24/your-money/why-people-remember-negative-events-more-than-positive-ones.html>
/Praise Is Fleeting, but Brickbats We Recall/memberikan afirmasi atas
pernyataan Donny. Mengutip temuan Profesor Psikologi Sosial dari Florida
State University, Roy F. Baumeister, Tugend menyebutkan bahwa manusia
secara alamiah memang lebih mengingat kenangan buruk daripada kenangan baik.
Menurut Profesor Baumeister, hal tersebut merupakan bagian dari adaptasi
manusia dalam bertahan hidup karena mengingat pengalaman buruk dapat
memperbesar peluang manusia dalam menghindari bahaya.
Oleh karenanya, kenangan historis atas rezim otoriter tersebut yang
membuat masyarakat sampai saat ini begitu curiga terhadap kekuasaan,
apalagi yang berhubungan dengan rezim Soeharto. Konteks tersebut yang
tampaknya menjadi jawaban mengapa fakta sejarah pemberontakan ataupun
aturan hukum seperti yang ditegaskan Fadli Zon tidak menjadi variabel
yang mengakhiri perdebatan atas PKI.
Pasalnya, sampai saat ini tidak sedikit pihak yang menyebutkan bahwa PKI
hanyalah propaganda Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno.
Robert Cribb dalam*tulisannya*
<https://www.aspistrategist.org.au/indonesia-1965-the-attempted-coup-and-the-rise-of-suharto/>/Indonesia
1965: the Attempted Coup and the Rise of Suharto/, misalnya, memaparkan
berbagai kecurigaan, seperti mengapa Soeharto dapat bereaksi dengan
begitu cepat atas peristiwa 30 September?
Pun begitu dengan film G30S/PKI yang saat ini tengah menjadi topik
perdebatan panas karena disebut hanya sebagai propaganda rezim Orde Baru
untuk tetap memupuk kebencian terhadap PKI beserta ideologinya.
Namun, tentunya jawaban atas hal ini begitu sulit untuk dijustifikasi
karena ranahnya pada persoalan psikologis. Akan tetapi, jika benar
terdapat alasan psikologis di balik sikap skeptis atas pemberontakan
PKI, mungkinkah terdapat alasan psikologis juga di balik derasnya
kutukan terhadap PKI?
*Bukan Benturan**Ideologi?*
Fukuyama dalam bukunya/The End of History and the Last Man/(1992),
menyebutkan bahwa sejarah perkembangan ideologi-politik umat manusia
akan berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Dalam
tesisnya, Fukuyama melihat terdapat konsensus luar biasa berkenaan
dengan legitimasi demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan telah
muncul di seluruh dunia, setelah sistem ini mengalahkan
ideologi-ideologi pesaingnya, seperti monarki, fasisme, dan komunisme.
Kendati tesis tersebut banyak dikritik oleh berbagai pihak, khususnya
terkait adanya/trend/kemunduran sistem politik demokrasi sejak tahun
2000-an, dalam bukunya/Identity: The Demand for Dignity and the Politics
of Resentment/(2018), Fukuyama terlihat memberikan penegasan tesis.
Meskipun mengakui kemunduran/trend/demokrasi ataupun adanya pembusukan
lembaga-lembaga demokrasi dunia, dengan mengutip filsafat sejarah Georg
Wilhelm Friedrich Hegel, Fukuyama menegaskan bahwa di akhir sejarah,
liberalisme tetap akan menjadi pemenang atas perseteruan ideologi yang ada.
Menariknya, sejak awal/The End of History and the Last Man/diterbitkan,
Samuel Huntington dalam bukunya/The Clash of Civilization and the
Remaking of World Order/(1996) telah memberikan bantahan atas tesis
tersebut. Dengan tegas, Huntington menyebutkan bahwa di masa depan,
pertengkaran ideologi seperti yang dibayangkan Fukuyama akan digantikan
oleh pertengkaran peradaban.
Konflik abad ke-20 antara demokrasi liberal dengan Marxis-Leninisme,
misalnya, bahkan disebut Huntington hanyalah sebuah fenomena historis
yang bersifat sementara dan superfisial jika dibandingkan dengan
hubungan konfliktual antara Islam dengan Kristen yang telah berlangsung
selama berabad-abad.
Berikut adalah pembagian peradaban menurut Huntington: “Dunia” Barat,
Rusia dan negara-negara tetangga terdekatnya, Tiongkok di tengah
peradaban dunia, dan Islam yang tidak ingin lagi terikat peradaban
lainnya, khususnya dengan Barat.
Jika tesis Huntington benar adanya, yakni benturan yang ada tidak lagi
masalah ideologi, melainkan peradaban, maka judul acara ILC semalam,
“Ideologi PKI masih hidup?” tampaknya kurang begitu esensial.
Jika ditelisik secara saksama, adanya kutukan keras atas PKI, sebenarnya
adalah trauma yang memupuk di kalangan kelompok Islam karena PKI adalah
dalang dari pembantaian kiai dan santri di tahun 1948. Pun begitu dengan
PKI yang dinilai tidak mengakui agama dalam ideologinya. Merujuk pada
besarnya peran kelompok Islam dalam kemerdekaan ataupun cita-cita untuk
mendirikan negara berbasis Islam, tidak diakuinya agama jelas merupakan
suatu hal yang tidak dapat ditolerir.
Seperti yang disebutkan oleh Huntington, benturan antara negara-negara
Islam dengan Barat sebenarnya bukanlah perkara perang ideologi, seperti
menolak liberalisme, melainkan karena adanya kebangkitan kembali Islam
pada akhir abad ke-20 yang telah memberikan keyakinan-keyakinan baru di
kalangan umat Islam terhadap watak, nilai-nilai, dan keluruhan peradabannya.
Mengacu pada Huntington, persoalan PKI sebenarnya kurang tepat disebut
sebagai persoalan ideologi, karena masalah berakar dari resistensi
kelompok-kelompok Islam atas nilai-nilai yang diyakininya. Ini misalnya
terlihat dari kelompok Islam yang paling vokal dalam menyerukan gerakan
anti-PKI sampai saat ini.
Akan tetapi, di luar persoalan apakah masalah PKI adalah benturan
ideologi atau peradaban, masalah ini sepertinya akan terus diproduksi
setiap tahunnya karena pemerintah masih terlihat “lepas tangan” dalam
menjernihkan sejarah. Terlebih lagi, dalam beberapa tahun terakhir,
pemerintah terlihat memiliki jarak dengan kelompok-kelompok Islam
yang/notabene/merupakan pihak yang paling bersuara atas isu ini.
Kita nantikan saja bagaimana kelanjutan perdebatan atas isu ini. Menarik
untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)