-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2142-aplaus-untuk-hukuman-maksimal-koruptor




Kamis 15 Oktober 2020, 05:00 WIB 

Aplaus untuk Hukuman Maksimal Koruptor 

Administrator | Editorial 

  INDONESIA sejatinya punya reputasi tak bagus soal pemberian hukuman bagi 
pelaku korupsi alias koruptor. Pengadilan di Indonesia ‘terlalu baik hati’ 
menghukum pelaku kejahatan luar biasa ini. Kebaikan itulah yang barangkali 
menjadi musabab mengapa seperti sama sekali tidak ada efek jera yang membuat 
orang mesti berpikir dua kali untuk menilap uang negara. Kebaikan yang tidak 
baik itu ibarat pupuk yang membuat korupsi tumbuh subur di negeri ini. 
Indonesia Corruption Watch (ICW) baru-baru ini merilis catatan buruk terkait 
hukuman bagi koruptor itu. Menurut penelitian mereka, ratarata vonis yang 
diberikan kepada para koruptor hanya tiga tahun. Data tersebut diperoleh selama 
kurun waktu Januari-Juni 2020 atawa semester I-2020. Bandingkan dengan total 
kerugian negara akibat kasus korupsi dalam kurun waktu yang sama yang mencapai 
Rp39 triliun. Bagai langit dan bumi. Menjadi amat wajar ketika pada Senin 
(12/10) lalu majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN 
Jakarta Pusat me nebar vonis penjara seumur hidup kepada empat terdakwa kasus 
korupsi PT Asuransi Jiwasraya, publik bersorak. Tim jaksa dan majelis hakim 
diapresiasi. Mereka dianggap mampu melepaskan diri dari ‘kutukan’ tuntutan dan 
vonis ringan yang selama ini kerap membelenggu. Bara perang melawan korupsi 
yang sebelumnya mulai kehabisan harapan, seperti menemukan momentum untuk 
kembali menyala. Penuntutan dan vonis hukuman maksimal diharapkan dapat menjadi 
‘kebiasaan’ baru dalam laku kejaksaan dan pengadilan saat menghadapi kasus 
korupsi. Ini utamanya untuk kasus-kasus rasywah dengan nilai dan menimbulkan 
kerugian yang besar bagi negara. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) pun 
sebetulnya sudah mengatur soal itu. Dalam Perma disebutkan koruptor yang 
korupsi Rp100 miliar atau lebih, dihukum maksimal penjara seumur hidup atau 
penjara 16 hingga 20 tahun. Artinya, ketika peraturan sudah tersedia, momentum 
pun sudah ada, semestinya tidak ada alasan lagi bagi pengadilan memberikan 
hukuman ringan bagi para terdakwa kasus korupsi di kemudian hari. Pesan ini pun 
selayaknya berlaku bagi pengadilan- pengadilan tingkat lanjutan di atas 
pengadilan negeri. Kita tahu, putusan majelis hakim di pengadilan tingkat 
pertama belumlah inkrah ketika si terdakwa mengajukan banding hingga kasasi. 
Publik ingin majelis hakim di tingkat mana pun punya kesamaan perspektif 
tentang penjeraan, atau dalam bahasa vulgarnya mungkin mereka perlu memiliki 
tingkat kesadisan yang sama dalam menghukum koruptor. Bukan cerita bohong bila 
selama ini, bahkan akhir-akhir ini beberapa kali terjadi, ada istilah diskon 
hukuman di pengadilan tingkat lanjutan. Alih-alih memperkuat vonis hukuman bagi 
koruptor di tingkat pertama dan tingkat banding, Majelis Hakim MA di level 
kasasi justru me ringankan vonis hukuman dan bahkan memvonis bebas koruptor 
yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Di awal mereka jera, di 
ujung mereka juara. Ini seharusnya mengingatkan kita semua bahwa upaya 
pemberantasan korupsi mesti dilakukan serius, bukan cuma pura-pura serius. 
Korupsi tak bakal mati jika kita hanya terusmenerus menarasikan bahwa korupsi 
ialah kejahatan luar biasa, tetapi senyatanya ditangani dengan cara biasa-biasa 
saja. Vonis untuk empat terdakwa kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya harus 
dijadikan preseden sekaligus spirit seluruh penegak hukum di negeri ini. 
Sejatinya efek jera hanya bisa dicapai jika koruptor dituntut dan divonis 
hukuman maksimal tanpa perlu lagi diskon, korting hukuman, atau sejenisnya.  

Sumber: 
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2142-aplaus-untuk-hukuman-maksimal-koruptor





Kirim email ke