Benturan Idealisme di Balik UU Ciptaker
R53<https://www.pinterpolitik.com/author/r53-203>-Tuesday, October 6,
2020 20:40
https://www.pinterpolitik.com/benturan-idealisme-di-balik-uu-ciptaker
/Foto: Daily News Indonesia/
/7 min read/
*Pengesahan RUU Ciptaker menjadi UU tengah menuai berbagai
kritik dan kutukan. Tegas, produk hukum ini disebut merugikan
pekerja dan buruh karena hanya menguntungkan pengusaha dan
investor. Lantas, mungkinkah terdapat benturan idealisme di
balik UU kontroversial ini?*
------------------------------------------------------------------------
*PinterPolitik.com <https://www.pinterpolitik.com/a>*
Dengan disahkannya Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU
Ciptaker) menjadi UU, dapat dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi)
telah meletakkan langkah besar dalam penerapan/Omnibus Law/atau UU Sapu
Jagat. Produk hukum ini sendiri pertama kali didengar publik saat*pidato
pelantikan
<https://tirto.id/isi-pidato-jokowi-saat-pelantikan-presiden-2019-2024-di-sidang-mpr-ej5U>*sang
presiden pada 20 Oktober 2019 lalu.
Merujuk pada pernyataannya pada 16 Mei 2019 ketika menegaskan dalam lima
tahun ke depan*tidak memiliki
<https://nasional.kompas.com/read/2019/06/17/05580761/jokowi-lima-tahun-ke-depan-saya-tidak-memiliki-beban-apa-apa>*beban
apa-apa, tampaknya itu menjadi jawaban mengapa Presiden Jokowi berani
mengambil keputusan-keputusan tidak populis yang memicu resistensi
publik. Tidak hanya soal UU Ciptaker yang saat ini tengah mendapat
hujanan kritik, pada September tahun lalu, gelombang besar demonstrasi
juga terjadi ketika menolak revisi UU KPK.
Merangkum narasi yang ada, penolakan keras terhadap UU Ciptaker
didasarkan pada ketimpangan keadilan karena hak buruh atau pekerja
disebut dikurangi bahkan ditiadakan. Mulai dari bertambahnya jam lembur,
pengurangan pesangon, masalah cuti dan hari libur, tidak ada upah
minimum, hingga pada klaim mudahnya perusahaan untuk memecat pekerja. Di
sisi lain, produk hukum ini disebut begitu menguntungkan pengusaha dan
investor karena mempermudah izin usaha dan mengurangi beban pengeluaran.
Jika kita melepaskan diri dari sentimen yang saat ini tengah berselimut
kalut, sepertinya kita dapat menemukan terdapat dua idealisme yang
tengah berbenturan di balik polemik UU Ciptaker. Lantas, idealisme
apakah yang dimaksud?
*/Naïve Idealism/vs/Mature Idealism/*
Tidak hanya dari kalangan buruh, mahasiswa dan kawula muda adalah
kelompok yang menolak keras produk hukum ini. Tegas mereka, ini adalah
perwujudan dari perhatian negara yang lebih condong terhadap kelompok
pemilik modal alias pengusaha. Lanjutnya, negara seharusnya mampu
menyejahterakan buruh yang/notabene/merupakan rakyat kecil dengan
melepaskan diri dari intervensi pengusaha.
Akan tetapi, tanpa bermaksud untuk mendiskreditkan, jangan sampai
suara-suara lantang tersebut terjebak dalam/naïve idealism/atau
idealisme naif. Ini adalah cara berpikir yang bercirikan solusi dan
keyakinan yang sangat optimis dan positif tetapi kurang realistis atau
kurang dipikirkan dengan matang. Jenis pemikiran seperti ini umumnya
terjadi di kalangan remaja. Mereka yang terjebak dalam idealisme ini
percaya bahwa sesuatu akan berjalan persis seperti yang dibayangkan
tanpa memikirkan secara utuh kalkulasi praktikalnya.
Dalam penjelasan yang lebih spesifik, idealisme ini juga rentan terjebak
dalam kesalahan bernalar yang disebut dengan/the impossibility of
perfection/atau kesempurnaan yang mustahil. Pada umumnya, kesalahan
bernalar ini terjadi di ranah etika karena adanya anggapan bahwa
kebahagiaan atau kebajikan yang sempurna dapat digapai.
Menurut Profesor Etika dari University of Miami, Michael Slote,
kebahagiaan dan kebajikan yang sempurna bagi manusia secara prinsipnya
tidak mungkin terjadi. Ini karena fenomena etika jauh lebih kompleks,
dan jauh lebih meningkatkan potensi konflik dan kegagalan nilai,
daripada yang dibayangkan selama ini.
Konteks yang disebutkan oleh Slote dapat kita pahami melalui masalah
“partikularitas tidak terbatas” dalam kepentingan sosial. Dalam realita
sosial, setiap individu ataupun kelompok masyarakat umumnya akan
mempromosikan nilai yang menurutnya benar, sehingga tidak jarang terjadi
tumpang tindih dan benturan nilai. Dengan kata lain, sampai saat ini
tidak ditemukan metode untuk melakukan distribusi keadilan yang merata
di tengah masyarakat.
Sama halnya dengan kasus penolakan terhadap UU Ciptaker, di sana terjadi
bayangan kesejahteraan yang ideal, namun minim dalam penjabaran
praktikal. Secara umum, mereka yang mengkritik ketimpangan distribusi
kesejahteraan di UU tersebut akan merujuk pada norma dan konsep ideal
seperti pasal 33 UUD 1954 ataupun sila kelima Pancasila.
Di sisi lain, mereka yang mendukung UU Ciptaker, besar kemungkinan
terjebak dalam/mature idealism/atau idealisme dewasa. Idealisme ini
telah memiliki penerimaan bahwa kejahatan dan delusi itu nyata adanya.
Oleh karenanya, ini membuat penganut idealisme ini cenderung realistis
karena telah mengetahui berbagai persoalan praktikal yang ada. Berbeda
dengan idealisme naif, idealisme dewasa tidak bersifat sentimental, yang
artinya lebih mengedepankan rasionalitas.
Akan tetapi, jenis ideologi ini nyatanya juga memiliki persoalan, yakni
kurang memberi porsi perhatian pada persoalan moralitas. Misalnya, demi
menuju tujuan X, mau tidak mau pengorbanan atas sesuatu memang harus
dilakukan. Dalam kasus UU Ciptaker, untuk mempermudah izin usaha,
persoalan lingkungan dinilai menjadi korban. Konteks tersebut juga yang
disorot oleh 35 investor yang menilai produk hukum tersebut
memiliki*dampak negatif
<https://www.reuters.com/article/us-indonesia-economy-law-investors/global-investors-raise-environmental-concerns-over-indonesia-jobs-bill-idINKBN26Q1GZ>*terhadap
lingkungan, HAM dan ketenagakerjaan.
Lantas, haruskah kedua idealisme ini dibiarkan berseteru alias dipilih
salah satu, atau terdapat jalan untuk mempertemukan keduanya?
*Apa Solusinya? *
Persoalan benturan antara nilai kesejahteraan dan kepentingan usaha
tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di berbagai negara.
Oleh karenanya, menjadi penting untuk membandingkan bagaimana negara
lain mencari solusi atas persoalan tersebut.
Rita Kwok Hoi Yee dalam*tulisannya
<https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1016/S1449-4035%2806%2970131-X?needAccess=true>*/Impact
of Reforms on the Labour System in China/menjelaskan bahwa reformasi
sistem tenaga kerja di Tiongkok telah menandai perubahan besar dari
sistem sosialis di masa lalu, seperti upah egaliter dan kesejahteraan
komprehensif menuju sistem yang lebih kapitalis.
Itu terjadi dengan mengubah berbagai sistem, seperti pekerja seumur
hidup digantikan oleh sistem tenaga kerja kontrak, upah ditentukan
dengan kinerja dan produktivitas, dan paket kesejahteraan dasar yang
komprehensif digantikan oleh sistem jaminan sosial. Perubahan sistem
tersebut kemudian mendorong pekerja memiliki rasa kompetisi yang tinggi
karena untuk memperoleh upah yang tinggi memerlukan etos kerja yang
tinggi pula.
Contoh yang lebih menarik dapat kita lihat dari/hartz reforms/di Jerman.
Lena Jacobi dan Jochen Kluve dalam*tulisannya
<http://ftp.iza.org/dp2100.pdf>*/Before and After the Hartz Reforms: The
Performance of Active Labour Market Policy in Germany/menjelaskan bahwa
sebelum terjadinya/hartz reforms/atau reformasi hartz, Jerman mengalami
masalah pengangguran yang tinggi karena tunjangan sosial yang diberikan
kepada pengangguran justru membuat mereka tidak mencari pekerjaan karena
memiliki pemasukan tetap.
Sebagai solusi, sistem pemberian tunjangan kemudian didesain ulang.
Misalnya, mereka yang pasif mencari pekerjaan akan menerima sanksi
berupaya pengurangan tunjangan. Alhasil, itu mendorong peningkatan rasa
kompetisi individu untuk mencari pekerjaan.
Melihat kasus yang terjadi di Tiongkok dan Jerman, dapat disimpulkan
bahwa peningkatan kompetesi individu yang tengah dilakukan. Kasus di
Tiongkok dan Jerman menunjukkan bahwa upah yang merata dan tetap tanpa
adanya kesesuaian dengan kinerja justru berkonsekuensi pada minimnya
kompetisi dan etos kerja. Akan tetapi, solusi ini tentunya memiliki efek
samping, misalnya terjadi kesenjangan pendapatan.
Dengan kata lain, alih-alih memilih salah-satu antara idealisme naif
atau idealisme dewasa, mencari titik temu antara keduanya seharusnya
yang dilakukan dalam UU Ciptaker. UU tersebut harus menciptakan sistem,
di mana pekerja dapat meningkatkan kesejahteraannya, namun tidak juga
mengorbankan atau mempersulit pelaku usaha.
Akan tetapi, berhubung produk hukum tersebut telah disahkan, masalah
utama yang harus diselesaikan saat ini adalah derasnya sentimen negatif
terhadap pemerintah. Jika dibiarkan, ini tentunya dapat berkonsekuensi
pada delegitimasi pemerintahan.
Di sini, sekiranya kita sepakat bahwa persoalan besar yang menimbulkan
kecurigaan terhadap UU Ciptaker karena proses pembuatannya yang tidak
mengedepankan transparansi. Sedari awal, berbagai draf RUU tidak benar
disebut beredar di tengah masyarakat. Misalnya, kritik keras terkait
penghapusan pesangon dan upah minimin, ataupun dapat dipecat kapan saja
disebut berakar dari draf yang tidak benar.
Akan tetapi, anehnya pemerintah, khususnya DPR tidak menjernihkan
persoalan tersebut dengan mengunggah atau menyebarkan draf yang
sebenarnya. Kemudian, pembahasan yang dilihat tergesa-gesa, tidak
mendengar aspirasi publik, dan seolah memanfaatkan situasi pandemi
Covid-19 juga menambah rasa curiga bahwa terdapat konspirasi di baliknya.
Sampai saat ini, memang belum terlihat adanya usaha DPR untuk
menjernihkan persoalan ini. Kita tentunya berharap pengesahan UU
tersebut jangan sampai menjadi preseden atas gejolak politik yang
nantinya dapat terjadi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
Walk Out, Langkah Brilian Demokrat?
J61<https://www.pinterpolitik.com/author/j61-188>-Tuesday, October 6,
2020 18:15
/Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) saat menghadiri Kongres V Partai
Demokrat di Jakarta pada Maret lalu. (Foto: Liputan6)/
/7 min read/
*Manuver/walk out/Partai Demokrat dalam rapat paripurna RUU
Cipta Kerja cukup diapresiasi sebagian kalangan karena dianggap
menjadi representasi kegusaran mereka ysng selama ini menolak
regulasi tersebut. Lantas, apakah manuver itu dapat diartikan
sebagai titik balik bagi keteguhan arah politik luhur Demokrat
ke depannya atau hanya upaya meraup citra belaka?*
------------------------------------------------------------------------
*PinterPolitik.com <https://www.pinterpolitik.com/>*
Senin kemarin merupakan kulminasi dari riuh rendah perjalanan Rancangan
Undang-Undang (RUU)/Omnibus Law/Cipta Kerja yang pada akhirnya disahkan
wakil rakyat.
Sejumlah peristiwa, baik dari dalam dan luar parlemen pun turut
mengiringi rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja. Mulai dari intrik
penghadangan massa buruh yang ingin menyampaikan aspirasi di Senayan,
hingga drama-drama politik selama berlangsungnya sidang, termasuk momen
mematikan mikrofon yang dilakukan oleh Ketua DPR Puan Maharani.
Satu drama lainnya yang cukup disoroti publik ialah aksi/walk out/atau
meninggalkan ruang rapat dari fraksi Partai Demokrat setelah menganggap
pandangannya terhadap RUU tak direspon dengan baik.
Sebelum Benny Harman dan kawan-kawan meninggalkan ruang sidang, Demokrat
menyatakan bahwasannya mereka tidak bertanggung jawab atas kesepakatan
pengesahan RUU tersebut.
Demokrat memang tak sendiri karena fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS)
juga mengambil sikap penolakan yang sama, namun gestur ekspresif yang
ditampilkan partai besutan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) itu tampaknya
mendapat reaksi positif dari publik.
Meski terdapat nada sumbang berupa tudingan pencitraan belaka, aksi/walk
out/Demokrat itu nyatanya tak sedikit mendapatkan*simpati
<https://twitter.com/search?q=demokrat&src=typed_query>*publik. Selain
tajuk #MosiTidakPercaya yang ditujukan pada DPR, di lini masa memang
jamak berseliweran apresiasi pada sikap tegas Partai Demokrat.
Meski secara substansial tak merubah esensi konkret dan filosofis dari
palu yang telah diketuk Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, partai bintang
mersi secara kasat mata dinilai menjadi partai politik (parpol)
satu-satunya yang dengan tegas mengekspresikan kegusaran khalayak selama
ini atas sejumlah kontrovesi dalam RUU Cipta Kerja.
Lantas, apakah makna sesungguhnya dari aksi/walk out/Partai Demokrat
tersebut?
*Miliki Sensitivitas Terbaik?*
Untuk dapat memahami sikap ekspresif berupa aksi/walk out/Partai
Demokrat kemarin secara komprehensif, sebuah*tulisan
<https://research.vu.nl/ws/files/2002963/170960.pdf;Choice>*dari Michael
Mcdonald, Ian Budge, Dan Paul Pennings yang berjudul/Choice Versus
Sensitivity: Party Reactions to Public Concerns/, tampaknya dapat
menjadi pintu masuk yang sesuai.
Sebagian besar pembahasan teori demokrasi sendiri berasumsi bahwa parpol
tak hanya harus menawarkan arah politik atau ideologi yang jelas kepada
para pemilih dan publik, tetapi juga wajib menunjukkan diri mereka
sensitif terhadap isu yang terkait erat dengan kepentingan masyarakat luas.
Namun realitanya, studi McDonald dan kawan-kawan di 16 negara demokrasi
mulai dari Italia, Irlandia, Jerman, Inggris, hingga Kanada, menunjukkan
bahwa sikap parpol yang ada ternyata lebih terkait erat dengan
kepentingan pragmatis partai, sehingga jamak tak mengutamakan
sensitivitas dan respon konstruktif atas kepentingan maupun tuntutan publik.
Realita politik itu pula yang tampaknya terjadi di Indonesia, khususnya
pada proses perjalanan RUU Cipta Kerja hingga disahkannya pada Senin
kemarin. Tujuh parpol yang bermufakat seolah tak memiliki sensitivitas
atau kepekaan atas bombardir kritik publik dan desakan penolakan
regulasi tersebut yang intensif dan cukup masif.
Kendati demikian, aksi/walk out/Partai Demokrat dinilai menjadi semacam
anomali dari postulat tersebut, sekaligus memberikan impresi sebuah
upaya pengembalian marwah ideal demokrasi beserta peran parpol di
dalamnya yang pada hakikatnya memang harus mengedepankan sensitivitas
terhadap suara publik.
Seperti yang jamak diketahui, RUU Cipta Kerja sepanjang perjalanannya
mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat yang sangat*luas
<https://www.suara.com/news/2020/09/22/151635/nu-sampai-muhammadiyah-tolak-omnibus-law-ruu-cipta-kerja-ini-alasannya?page=all>*,
mulai dari para buruh, pekerja, pakar hukum, aktivis, mahasiswa, hingga
dua organisasi islam terbesar yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Dan ekspresi/walk out/Partai Demokrat dalam rapat paripurna kemarin
dinilai menunjukkan sebuah sensitivitas dengan signifikansi yang tak
main-main atas konteks suara publik yang terwakilkan.
Oleh karenanya, menjadi lumrah ketika apresiasi dan simpati publik
bermunculan kepada Demokrat, seperti halnya yang dikemukakan oleh
peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius
Karus.
Karus*menyebut
<https://voi.id/en/berita/15791/walk-out-demokrat-strategi-dapatkan-simpati-publik-tapi-layak-diapresiasi>*bahwa
selain memang pantas diganjar apresiasi publik atas sikap politiknya,
Demokrat juga mampu memberikan contoh bagaimana menjadi oposisi yang
baik dan sikap semacam itulah yang seharusnya ditunjukkan sebagai
penyeimbang dalam fungsi/check and balance/.
Lalu, mengapa Partai Demokrat memilih menunjukkan sikap “mencolok”
berupa/walk out/tersebut pada momentum puncak pengesahan RUU “panas” itu?
*Gantikan Posisi Gerindra?*
Kendati menampilkan semacam sikap heroik atas aksi/walk out/-nya,
sebagai parpol, sikap politik Demokrat itu dinilai tak semata-mata
berlandaskan sensitivitas yang disebutkan oleh McDonald sebelumnya.
Presumsi tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan Kaare Strøm dan
Wolfgang Müller*dalam
<https://www.cambridge.org/core/books/policy-office-or-votes/4E6EBD04A1E3E470552AA62542365236>*/Policy,
Office, or Votes? How Political Parties in Western Europe Make Hard
Decisions/yang menjelaskan lebih lanjut bahwa apapun sikap yang
ditunjukkannya, parpol secara inheren memiliki visi meraup suara dan
dukungan publik yang bermuara pada tujuan final berupa perengkuhan
kekuasaan.
Pascal Gautier dan Raphaël Soubeyran*dalam
<https://ideas.repec.org/p/wpa/wuwppe/0510019.html>*/Political Cycles:
The Opposition Advantage/menjabarkan bagaimana pola interaksi dan
dinamika politik yang terjadi antara parpol yang sedang berkuasa dan
parpol oposisi dalam apa yang disebut sebagai sebuah siklus politik.
Ketika parpol petahana yang sedang berkuasa berusaha menepati janji
politiknya, pada saat yang sama acapkali tercipta ruang bagi parpol
oposisinya untuk menawarkan dan mengimplementasikan gagasan dan sikap
politik yang terlihat lebih memuaskan dan mewakili aspirasi publik.
Pada konteks memaknai aksi/walk out/Demokrat sebagai sebuah siklus
politik,*aksi
<https://www.viva.co.id/berita/politik/1228217-pdip-oposisi-dahulu-berkuasa-kemudian>*yang
serupa namun tak sama juga kerap dilakukan PDIP di parlemen ketika
partai mersi berkuasa di masa lalu.
Tak jarang pula tersaji drama seperti ketika/walk out/PDIP atas
ketidaksepahaman Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) Perubahan tahun 2012 silam diiringi isak*tangis
<https://nasional.tempo.co/read/393813/tangis-politikus-pdi-perjuangan-usai-walk-out/full&view=ok>*dari
sejumlah kader partai banteng.
Dan di dalam sebuah siklus dan ekosistem persaingan politik, Gautier dan
Soubeyran mengatakan bahwa keputusan maupun manuver yang dilakukan
parpol juga selalu berorientasi dan tidak terlepaskan dari kalkulasi
elektoral yang akan datang.
Pada konteks pihak oposisi, mereka dikatakan memiliki keunggulan dalam
memanfaatkan gagasan dan manuver yang lebih “*memuaskan
<https://ideas.repec.org/p/wpa/wuwppe/0510019.html>*” di mata publik,
tentunya bagi keuntungan citra positif, simpati, dan dukungan.
Oleh sebab itu, pada titik ini sikap/walk out/Partai Demokrat di Senayan
kemarin dinilai tak hanya merepresentasikan sensitivitas atas kegusaran
publik terhadap RUU Cipta Kerja belaka, melainkan juga sebagai upaya
konstruksi citra positif, simpati, dan dukungan dalam siklus politik dan
peran yang dijalani partai mersi di luar kekuasaan saat ini.
Hal ini senada dan melengkapi*pernyataan
<https://voi.id/en/berita/15791/walk-out-demokrat-strategi-dapatkan-simpati-publik-tapi-layak-diapresiasi>*Karus
sebelumnya bahwa aksi politis Partai Demokrat dapat dibaca sebagai
bagian dari strategi untuk mendapatkan simpati publik.
Selain itu, signifikansi isu RUU Cipta Kerja yang mendapatkan perhatian
masif, menjadikan narasi memperjuangkannya tampak begitu ideal dan
strategis bagi kalkulasi politik Demokrat untuk/membranding/ulang
partainya sejak awal di mata publik, tentu yang paling dekat dan relevan
ialah demi Pileg dan Pilpres 2024.
Hal ini dikarenakan, sejak merapatnya Gerindra ke gerbong pemerintah,
barisan oposisi praktis hanya diisi PKS yang dinilai sikap
penyeimbangnya acapkali dinilai hanya relevan bagi ceruk tertentu, yakni
kalangan religius Islam.
Di sini, Demokrat tampaknya berusaha mengisi kekosongan yang
ditinggalkan oleh Gerindra, di mana kini tampaknya memiliki ceruk
elektoral yang cukup besar di tengah koalisi pemerintah yang
kian*tergerus
<https://nasional.kompas.com/read/2020/06/09/07271391/survei-elektabilitas-pdi-perjuangan-terjun-bebas>*popularitasnya
akibat sejumlah kebijakan dan eksistensi regulasi yang dianggap
kontraproduktif bagi kepentingan publik.
Sekarang tinggal apakah Partai Demokrat memiliki konsepsi alternatif
konkret yang lebih baik dan dapat diartikulasikan secara konsisten.
Tidak hanya pada konteks RUU Cipta Kerja, namun juga pada isu-isu yang
berpihak pada kepentingan publik lainnya.
Lantas, mampukah Demokrat mempertahankan konsistensi untuk terus
berpihak pada kepentingan publik hingga kontestasi 2024? Menarik untuk
ditunggu kelanjutannya. (J61)