Apa yang dipikirkan kalau bambu gila mengamuk mencari mangsa di depan mata? 
hehehehe

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/17/01/28/okhskr313-bercumbu-saat-datang-bulan-bolehkah


Sabtu , 28 January 2017, 20:38 WIB

Bercumbu Saat Datang Bulan, Bolehkah?
Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Haid yang dalam istilah populer disebut dengan 
datang bulan adalah kodrat setiap perempuan balig. Haid menjadi siklus bulanan 
yang memberikan perempuan bermacam konsekuensi. Salah satunya, berjima' atau 
berhubungan intim bagi mereka yang sudah memiliki suami. 

Keharamannya sudah dituliskan dalam Alquran. "Mereka bertanya kepadamu tentang 
haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu, hendaklah kamu 
menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, 
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka itu di tempat 
yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang 
tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS al-Baqarah:222).

Meski demikian, apakah tidak ada toleransi bagi para suami yang sedang 
berhasrat saat istrinya sedang menstruasi?

Dalam salah satu kajiannya, Ketua Umum Yayasan Ats Tsabat Jakarta Timur Ustaz 
Khalid Basalamah menjelaskan, sperma seperti api. Saat tidak ditumpahkan, akan 
timbul ke kemarahan. Karena itu, ujar Ustaz Khalid, masalah biologis bagi kaum 
lelaki tidak bisa ditunda. 

Karena itu, Rasulullah SAW pun mengajarkan kepada para istri untuk mendatangi 
suaminya saat diajak berhubungan intim. "Apabila seorang suami mengajak 
istrinya untuk berkumpul hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia 
berada di dapur." (HR. Tirmidzi).

Bagaimana jika istri dalam keadaan haid? 

Ustaz Khalid mengungkapkan, Islam ternyata memberi solusi agar suami bisa 
mencumbui istrinya kecuali di tempat keluarnya darah haid. Ini pun sesuai 
dengan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA. "Jika salah satu dari kami 
(isteri Nabi) ada yang haid, dan Rasulullah SAW ingin mencumbuinya, beliau 
menyuruh istrinya yang haid itu untuk memakai kain sarung, kemudian beliau 
mencumbuinya." (HR. Bukhari).

Dalam hadis lain yang diriwayatkan Anas RA, Rasulullah SAW sempat ditanya 
tentang hukum mencumbu perempuan haid. Ini dibandingkan orang Yahudi yang 
sampai-sampai tidak memberi makan kepada perempuan haid. ".. Rasulullah SAW 
bersabda, "Lakukan segala yang kau mau kecuali nikah (hubungan badan)." (HR 
Muslim).

Pengasuh konsultasi Annisa dari Rumah Fiqih Ustazah Aini Aryani menjelaskan, 
batasan mengenai larangan hubungan badan yang disepakati para ulama di atas 
adalah apabila terjadi jima' dalam arti yang sesungguhnya, yakni terjadinya 
dukhul atau penetrasi. Mereka juga membolehkan percumbuan yang dilakukan dengan 
istrinya di anggota tubuh selain yang ada di antara pusar dan lutut istri.

Ustazah Aini pun melanjutkan, empat imam mazhab pun memberi beragam pandangan 
saat percumbuan dilakukan di antara pusar dan lutut atau tidak terjadi jima. 
Madzhab Hanafi membolehkan seorang suami untuk mencumbui anggota tubuh istrinya 
yang ada di antara lutut dan pusarnya. Dengan syarat, percumbuan itu terjadi 
dengan adanya penghalang, seperti sarung, kain, atau sejenisnya. Namun, suami 
tidak boleh melihat bagian-bagian tersebut.

Suami boleh memegang bagian-bagian itu, dengan atau tanpa syahwat, selama 
bagian-bagian itu ditutupi dengan penghalang. Intinya tidak terjadi sentuhan 
kulit secara langsung dan tidak boleh melihat.

Sementara, Mazhab Maliki berbeda dengan mazhab Hanafi. Fuqaha' dalam mazhab 
Maliki mengatakan, seorang suami dilarang memegang dan mencumbui anggota tubuh 
istri yang ada di antara lutut dan pusarnya pada saat istrinya itu sedang 
mengalami haid, walaupun itu dibatasi dengan kain penghalang. Namun, mereka 
membolehkannya untuk melihat bagian-bagian tersebut walaupun dengan syahwat.

Madzhab ini berpendapat, suami hanya boleh melihat atau memandang bagian-bagian 
yang ada di antara pusar dan lutut istrinya itu, tanpa boleh mencumbuinya lebih 
jauh[3]. 

Madzhab Syafi'i berpendapat, suaminya boleh mencumbuinya itu di bagian mana 
saja yang diinginkan. Hanya, percumbuan itu harus dibatasi dengan kain 
penghalang, sehingga tidak ada sentuhan kulit secara langsung. Madzhab ini juga 
membolehkan suami untuk melihat dan memandang bagian-bagian itu, dengan atau 
tanpa syahwat.

Dalam madzhab syafi'i, seorang suami boleh mencumbui istrinya yang sedang haid 
di bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut dalam batasan: boleh 
melihatnya dan boleh mencumbu dengan adanya penghalang, sehingga tidak terjadi 
sentuhan kulit secara langsung.

Mazhab Hanbali agak berbeda dengan ketiga mazhab di atas. Mazhab Hanbali 
membolehkan suami mencumbui istrinya yang sedang haid di bagian mana pun yang 
ia inginkan. Syaratnya tidak sampai terjadi jima' yang sesungguhnya, yakni 
dukhul (penetrasi). Seorang suami boleh mencumbui istrinya di bagian-bagian 
yang ada di antara pusar dan lutut, kecuali organ intim, baik itu dengan 
melihat ataupun menyentuh, dengan atau tanpa penghalang.

Kirim email ke