Devide et Impera :  Islam vs Nasionalis BK, Kepentingan Siapa?
Oleh: erros djarot

Mengkritisi Rencana Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) setajam 
apa pun, pada hakekatnya tidak ada masalah. Menjadi masalah ketika polemik 
seputar RUU HIP dijadikan sebagai pintu masuk untuk menggelar gerakan politik, 
oleh kelompok politik  tertentu, untuk kepentingan politik tertentu pula.
Sebagai langkah awal,  desain politik lebelisasi PDIP sebagai tempat 
pengembangan faham komunisme, digulirkan. Disusul dengan tuntutan bahwa PDIP 
layak  dibubarkan karena dicitrakan sebagai partai yang berpotensi menghidupkan 
kembali faham komunisme.PDIP adalah ‘PKI gaya baru’ pun disebar menjadi isu 
premier gerakan politik mereka. 
Secara kebetulan, saya ikut mempersiapkan  AD/ART saat PDI menjelma menjadi 
PDIP. Juga saat merumuskan garis-garis besar haluan perjuangan PDIP sebagai 
kendaraan politik perjuangan rakyat (wong cilik). Atas lebelisasi PDIP pro 
komunisme dan bahkan neo PKI, membuat saya geleng-geleng kepala dan bertanya; 
di mana Komunisme-nya? Maka jelas, upaya memainkan politik devide et impera 
dengan tujuan memecah belah rakyat ini, mengharap tergiringnya massa rakyat ke 
arena konflik horisontal yang sangat berbahaya.
Padahal kisruh RUU HIP ini bisa jadi timbulnya, hanya karena adanya kesoktahuan 
beberapa individu fungsionaris partai yang merasa ahli Pancasila, tapi  
melakukan blunder saat merumuskan pemahamannya terhadap Pancasila ke dalam 
bentuk Rencana Undang-Undang HIP. Tidak ada kaitannya dengan upaya menghidupkan 
kembali PKI, mensekulerkan negara Indonesia, dan apalagi mengganti Pancasila 
dengan Ekasila, dsb. 
Di sisi lain, bila ada oknum yang terindikasi atau diduga keras  berafiliasi 
dengan faham terlarang; dan individu tersebut terlibat dalam proses penyusunan 
RUU HIP yang menghebohkan, silahkan persoalkan individu dimaksud.. Jangan kalau 
ada tikus di lumbung, untuk menangkap sang tikus lumbungnya yang dibakar! Kita 
semua tentunya tau bahwa PDIP sebagai partai, bukan dimiliki oleh oknum dan 
orang perorang, tapi jutaan massa rakyat. 
Dan sepengetahuan saya, mereka hampir semuanya anti komunisme 100%! Secara 
institusi PDIP yang saya fahami dan saya kenal adalah kumpulan kaum nasionalis 
Bung Karno yang anti Komunisme! Jadi, siapa pun yang berkepentingan 
meng-komuniskan PDIP, perlu dicurigai sebagai agen dari kekuatan luar yang 
sengaja menebar politik devide et impera. Tujuannya ya melemahkan kekuatan 
rakyat bangsa Indonesia. Agar Indonesia dapat mereka kuasai. Bisa jadi bukan 
oleh mereka yang sekarang ribut, tapi  oleh fihak ketiga yang justru tak muncul 
di lapangan konflik.
Untuk memprovokasi lebih jauh lagi, pembakaran bendera PDIP yang disandingkan 
dengan bendera PKI, dilakukan secara demonstratif. Ketersediaan bendera Palu 
Arit PKI yang masih tampak baru, fresh from the Oven, membuat saya tersenyum. 
Setiap akal waras pun akan menyimpulkan pasti lah ada fihak yang sengaja 
mempersiapkan dan merancang terjadinya peristiwa ini.
Ketika beberapa kawan bertanya kepada saya; siapa sebenarnya yang bermain api 
di belakang peristiwa ini? Spontan saya jawab..,,wah maaf, itu domain Badan 
Intelejen Negara (BIN) dan Kepolisian RI untuk menjawabnya..’’ Karena apa yang 
terlihat secara kasat mata oleh mata publik, biasanya hanyalah bayangan atau 
shadow puppet dari sang dalang yang sesungguhnya memainkan semua ini. 
Saya jadi teringat kembali suasana saat prakondisi terjadinya G30S PKI. Saat 
itu kelompok kiri (PKI) dan konco-konconya  tampil bringas, ganas, dan 
menakutkan. Pada akhirnya mereka tergiring dan terpancing melakukan gerakan 
politik ‘kudeta’. Maka terciptalah sejarah G30S PKI. Mereka pun terjebak dan 
terperangkap. Tentara dibantu rakyat pun, menumpas golongan kiri (PKI) sampai 
ke akar-akarnya. Selanjutnya, dengan sigap dan penuh kesiapan, tentara 
menguasai seluruh linie yang ada dalam bangunan politik di negeri ini. 
Berlanjut hingga tiga dekade lebih berkuasa
Ketika pemerintah Amerika membuka kotak pandora yang berisi dokumen sejarah 
G30S PKI, karena sudah melewati batas waktu kerahasiaan, terkuaklah dokumen 
bagaimana CIA mengambil peran sangat aktif (dalang) dalam upaya penumbangan 
Bung Karno dari kekuasaannya. Sementara Suharto oleh banyak pengamat 
ditempatkan hanya sebagai pelaksana proyek politik Amerika dalam konteks perang 
dingin saat itu (kepentingan  geopolitik). 
Hembusan Poros Jakarta-Peking pun ampuh meluluh lantakan kekuasaan Bung Karno 
dan barisan pendukungnya yang dilebelisasi sebagai barisan pro komunis. 
Kekuatan rakyat dipecah belah. Selanjutnya Amerika pun menjadi perancang 
tunggal bagaimana Indonesia seharusnya berdiri sebagai sebuah negara yang siap 
menjadi kompradornya kaum kapitalis. Kekayaan negara dan kekayaan yang 
terpendam dalam perut bumi di seluruh Nusantara, di bawah kontrol mereka 
sepenuhnya. Sebagian besar menjadi ‘bancakan’ kroni penguasa Orba dan para 
cukong yang sekarang dikenal dengan istilah konglomerat.
Dengan munculnya demo mirip-mirip desain masa lalu, saya jadi miris bila 
ternyata akan melahirkan pengulangan sejarah yang sangat buruk. Hanya bedanya 
dulu ekstrim kiri yang dihabisi, kali ini ekstrim kanan yang dijadikan alat 
untuk masuk dalam wilayah ‘jebakan Batman’. Walau tanda-tanda ke arah sana 
masih jauh dan samar, trauma masa lalu menggeret saya ke ruang imajinasi di 
mana gambaran kekalahan rakyat untuk ke sekian kalinya bakal terjadi.
Belajar dari sejarah, komponen masyarakat yang bisa dinyatakan sebagai 
bonggolnya kekuatan massa rakyat Indonesia adalah ketika massa kaum Banteng 
(Marhaen) Nasionalis, kaum Nahdliyin, dan massa rakyat pengikut Muhammadiyah, 
bersatu dan bergandeng tangan erat saling bahu membahu sebagai satu kesatuan 
rakyat. Ketika dua kekuatan Nasionalis-Islam ini dihancurkan, hancur pula lah 
kekuatan rakyat Indonesia. Itu lah (politik devide et impera) yang digunakan 
kaum penjajah yang jeli, termasuk apa yang dilakukan semasa pra dan saat 
terjadinya G30S PKI.   Oleh karenanya, ketika saya mendampingi Mbak Mega, 
sebagai the leader of opositition terhadap rezim Orde Baru, beliau dan sejumlah 
sesepuh menugasi saya untuk merajut dan membangun  barisan perlawanan. 
Menjalankan tugas ini,  sejarah kekuatan rakyat di masa pra hingga pasca 
Kemerdekaan berikut saat terjadinya peristiwa G30S PKI, saya jadikan referensi 
dasar dalam menyusun strategi perlawanan. 
Maka muncul kesimpulan bahwa PDIP tidak bisa memenangkan apa-apa bila hanya 
berjalan sendiri.  Saya tawarkan agar kita (PDIP) merapat dan merangkul Gus Dur 
sebagai pemimpin barisan rakyat Nahdliyin. Maka pertemuan pertama antara mbak 
Mega dan Gus Dur pun terjadi untuk pertama kali di rumah mertua, Ilen 
Surianegara, Di Jl. Teuku Umar no.6. Terjadinya pertemuan ini atas bantuan 
Syaifulah Yusuf, keponakan Gus Dur.
Dalam perjalanannya terbangun kebutuhan agar PDIP membangun sinergi dengan 
pemimpin Muhammadiyah yang saat itu melembaga dalam diri mas Amin Rais. 
Pertemuan pun terjadi di rumahku Jl, Deplu Raya no.9. Bintaro. Saat itu mas 
Amin didampingi mas Abdilah Toha dan mas Mudrik, tokoh PPP Solo. Berlanjut 
dengan lahirnya gerakan Mega Bintang. Dengan pertemuan ini, maka gerakan 
perlawanan semakin terasa greget dan gigitannya terasakan secara lebih meluas.
Dengan bergabungnya tiga pilar kekuatan massa rakyat Indonesia ini, maka 
perlawanan terhadap rezim Orde Baru mulai mendapatkan bentuk dan kekuatan 
sejatinya rakyat Indonesia. Dan sejak itu lah, gempuran terhadap bangunan rezim 
Orde Baru datang dari berbagai penjuru. Karena massa rakyat dari golongan 
minoritas pun bergabung dalam satu kekuatan massa rakyat anti Orde Baru. 
Alhasil, Orde Baru pun melemah dan krisis ekonomi 98 mengantar kejatuhan rezim 
Orde Baru.
Namun sayangnya, ketika rezim Orde Baru berhasil ditumbangkan, ketiga pilar 
kekuatan rakyat; massa Marhaen-Nahdliyin-Muhammadiyah, kembali terpecah menjadi 
tiga bagian yang berjalan sendiri-sendiri. Terjadinya terlalu cepat dan saat 
itu kita belum sempat membangun konsolidasi kekuatan nasional pasca Orde Baru. 
Kekompakan dan kobaran semangat kebersamaan pun perlahan lenyap tersapu 
gelombang ego sektoral dan nafsu kekuasaan yang menggiurkan tapi sekaligus 
menjadi ‘jebakan Batman’ yang memilukan dan menyakitkan. Sebagai akibat, 
kekalahan substansial sangat dirasakan oleh massa rakyat di tiga kelompok ini 
hingga sekarang.
Memaknai gencarnya manuver politik devide et impera belakangan ini, pertanyaan 
saya sangat sederhana; kapan kita akan bangkit dalam kesadaran untuk memilih 
jalan yang benar-benar dapat membawa bangsa ini hadir sebagai bangsa pemenang 
yang sejati dan sesungguhnya? Bukan sebuah kemenangan yang berada di garis maya 
, padahal realitanya tetap berada dalam kekalahan nyata di wilayah substansial 
kehidupan sebuah bangsa dan negara! Seperti yang kita alami selama ini, sejak 
rezim Orde Baru berkuasa hingga sekarang.
Kemenangan yang diimpikan itu baru akan kita alami dan rasakan ketika terjadi 
kebangkitan kesadaran untuk mengenali betul; siapa musuh dan siapa kawan 
sesungguhnya, secara substansial. Sehingga tidak mudah diadu domba! Massa di 
bawah panji dan bendera Islam (Nahdliyin-Muhammadiyah) dan massa Nasionalis BK, 
jangan pernah lagi diperhadapkan! Tiga bersatu, rakyat pasti menang.. Dan 
politik devide et impera pun, akan mati kehilangan ruang hidupnya!

Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone

Kirim email ke