-------- Forwarded Message --------
Subject: Ketika KPK di Bawah Kuasa Presiden
Date: Tue, 5 Nov 2019 11:34:38 +0800
From: ChanCT <sa...@netvigator.com>
To: GELORA_In <GELORA45@yahoogroups.com>
Ketika KPK di Bawah Kuasa Presiden
Oleh :
Idul Rishan
Selasa, 5 November 2019 08:00 WIB
Ketua KPK Agus Rahardjo, merilis sketsa terduga pelaku penyiraman air
keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan, di gedung KPK, Jakarta, 24
November 2017. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berharap Kepala
Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Idham Azis, bisa bertugas lebih baik
ketimbang dirinya. Dengan kepemimpinan Idham, Tito berharap polisi bisa
menuntaskan pengungkapan kasus penyerangan air keras terhadap penyidik
KPK, Novel Baswedan. TEMPO/Imam SukamtoKetua KPK Agus Rahardjo, merilis
sketsa terduga pelaku penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel
Baswedan, di gedung KPK, Jakarta, 24 November 2017. Menteri Dalam Negeri
Tito Karnavian berharap Kepala Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Idham
Azis, bisa bertugas lebih baik ketimbang dirinya. Dengan kepemimpinan
Idham, Tito berharap polisi bisa menuntaskan pengungkapan kasus
penyerangan air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. TEMPO/Imam
Sukamto
*Idul Rishan*
/Staf Pengajar Departemen Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia/
Jika mencermati Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru
(Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019), arah politik hukumnya jelas:
mengubah simpul kelembagaan KPK, dari lembaga independen menjadi lembaga
pemerintah. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara
dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana
pun. Tegasnya, pasal itulah "jantung" dari undang-undang tersebut.
Melalui ketentuan tersebut, KPK tak ubahnya sebagai mandataris presiden.
Konsekuensinya, KPK berwarna eksekutif. Manajemen kepegawaiannya pun
wajib bercorak eksekutif, dari status penyidik sampai promosi dan mutasi
yang tunduk pada regulasi aparat sipil negara.
Pasal 3 juga menginisiasi lahirnya pasal-pasal lain yang menyangkut
Dewan Pengawas. Perangkat ini mempunyai kewenangan yang superior, bahkan
dibekali kuasa pro justitia. Meskipun dalam pasal itu KPK diberi
"irah-irah" independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
kenyataannya sulit dibenarkan. Relasi kuasa yang bersifat vertikal
dengan presiden cenderung membuat KPK berayun menjadi "dependen".
Studi Oce Madril (2018) menunjukkan bahwa tak ada lembaga di bawah kuasa
presiden yang kinerja dan prestasinya baik dalam memberantas korupsi,
seperti Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara di bawah Sukarno dan
Operasi Tertib di bawah Soeharto.
Undang-Undang KPK baru menjadi simbol dekadensi dalam praktik demokrasi
di Indonesia. Betapa tidak, pembentukan KPK merupakan kritik atas
lemahnya independensi kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan
korupsi. Mengingat kepolisian dan kejaksaan secara hierarki berada di
bawah kuasa eksekutif, KPK hadir sebagai lembaga independen.
Susan Baer (1988) menulis bahwa kehadiran lembaga independen muncul
sebagai pemicu atas cara kerja lembaga konvensional yang dinilai tak
lagi efektif. Tesis Baer ini diperkuat oleh Ackerman (2000), yang
menyatakan lembaga independen merupakan gejala autokritik terhadap
pemisahan kekuasaan secara konvensional antara eksekutif, legislatif,
dan yudikatif.
Demikian halnya selepas transisi politik bergulir di Indonesia. Zainal
Mochtar (2016) mencatat ketidakpercayaan publik kepada lembaga negara
yang telah ada mendorong lahirnya lembaga independen untuk melaksanakan
tugas dan diidealkan memberikan kinerja baru yang lebih tepercaya.
Penempatan KPK di bawah kuasa presiden justru menjadi sangat
kontraproduktif terhadap respons percepatan kebutuhan demokrasi. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa korupsi di sektor eksekutif menjadi agenda
yang tak luput dari kinerja KPK selama ini. Suap di pelbagai sektor
kementerian hingga korupsi kepala daerah seolah-olah sebagai penanda
bahwa kekuasaan eksekutif menjadi anasir yang terus memberikan ancaman
dari perilaku elite politik. Bisa dibayangkan, sebagai institusi yang
berada di bawah kuasa presiden, KPK bisa terjebak dalam konflik kepentingan.
Dalam beberapa jajak pendapat media cetak dan elektronik, pembentuk
undang-undang mengklaim bahwa politik hukum Pasal 3 itu merupakan tindak
lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017. Sebenarnya
ada empat Putusan MK lain yang juga memberikan penafsiran atas kedudukan
dan independensi kelembagaan KPK, seperti putusan Nomor
012-016-019/PUU-IV/2006, Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, Nomor 5/PUU-IX/2011,
dan Nomor 49/PUU-XI/2013. Empat putusan itu berada pada satu napas yang
sama bahwa KPK merupakan lembaga independen dan mempunyai sifat penting
dalam struktur kekuasaan negara. Membaca kondisi demikian, lantas
putusan mana yang harus diikuti? Menurut saya, Putusan Nomor
36/PUU-XV/2017 tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan pembenaran
pembentukan Pasal 3.
ADVERTISEMENT
Ada dua alasannya. Pertama, perkara ini tidak menguji pasal-pasal dalam
Undang-Undang KPK terhadap Undang-Undang Dasar, melainkan menguji Pasal
79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ihwal pengajuan perkara ini
semata-semata untuk memperluas kewenangan DPR guna melaksanakan fungsi
pengawasan melalui hak angket, bukan dalam konteks perubahan format
kelembagaan KPK. Mengingat KPK melaksanakan fungsi-fungsi eksekutif, hak
angket dapat digulirkan sepanjang tidak mendistorsi fungsi penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan.
Kedua, dalam teori interpretasi konstitusi, David A. Strauss (2011)
mempopulerkan penafsiran "konstitusi yang hidup". Menurut dia, dalam
konteks penemuan hukum, majelis hakim dimungkinkan mengubah pendiriannya
atas putusan-putusan sebelumnya sepanjang menyebutkan alasan perubahan
dalam amar putusannya. Dalam Putusan No. 36/PUU-XV/2017, tak ada satu
alasan pun di dalam amar putusan yang menegaskan bahwa majelis hakim
mengubah pendiriannya atas empat putusan terdahulu. Dengan demikian,
Pasal 3 Undang-Undang KPK baru menjadi materi yang layak diujikan di MK.