Grebeg Sudiro - Meleburnya Budaya Tiongkok di Tanah Jawa, Solo yang Saling 
Bahu-membahu


| 
| 
| 
|  |  |

 |

 |
| 
|  | 
Grebeg Sudiro - Meleburnya Budaya Tiongkok di Tanah Jawa, Solo yang Sali...

Ada libur di minggu ini? Traveler bisa berkunjung ke Solo, Jawa Tengah untuk 
menyaksikkan Grebeg Sudiro. - Halam...
 |

 |

 |




Selasa, 6 Februari 2018 13:29

Tribunnews.comGrebeg Sudiro 



TRIBUNTRAVEL.COM - Ada libur di minggu ini?

Traveler bisa berkunjung ke Solo, Jawa Tengah untuk menyaksikkan Grebek Sudiro.

Di sana traveler bisa menyaksiakkan gunungan dari kue keranjang diarak 
sepanjang Jalan Sudiroprajan.
Tak hanya itum ada pula atraksi barongsai, reog ponorogo, kesenian Jawa lain, 
serta hiasan lampion yang gemerlap di sepanjang jalan.

Perayaan ini umumnya diselenggarakan tujuh hari sebelum Tahun Baru China.

Segala kemeriahan Grebeg Sudiro adalah lambang akulturasi tradisi Tionghoa dan 
Jawa, yang melebur dalam suasana hangat toleransi.

Namun Grebeg Sudiro bukan cuma lambang, ada fungsi lain dari perayaan lintas 
etnis ini. 

"Tampilan apik yang bertempat di komplek Pasar Gedhe itu juga merupakan 
jembatan sejarah mengulik riwayat orang-orang China di Solo sudah ada jauh 
sebelum Keraton Kasunanan berdiri walau jumlahnya belum banyak," kata Dosen 
Prodi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Heri 
Priyatmoko saat dihubungi KompasTravel, Senin (29/1/2018).

Heri menjelaskan jika komunitas Tionghoa di Solo hadir untuk berdagang.

Peradaban besar Bengawan Solo melibatkan jaringan anak sungai telah melahirkan 
ekosistem Pasar Gedhe yang mewadahi perdagangan lintas etnis.
Blusukan ke rumah kuno bekas juragan kulit di Kelurahan Sudiroprajan yang 
menjadi kantong warga keturunan Tionghoa di Kota Solo. Sejak dulu penduduk asli 
Jawa dan keturunan Tionghoa hidup berdampingan dan berasimilasi, antara lain 
melalui perkawinan.(KOMPAS/SRI REJEKI) 

Ini juga yang menjadi satu alasan mengapa ibu kota Keraton Mataram dari 
Kartasura dipindahkan ke Desa Sala ialah adanya keramaian aktivitas niaga yang 
tidak jauh dari lokasi ibu kota yang baru.

Pihak istana berharap dapat memungut pajak untuk biaya operasional kerajaan.. 
(Soedarmono 2004).

"Dunia industri di Solo pengujung abad ke 21 mulai berkembang sebagai imbas 
dari kebijakan masuknya modal asing dan modernisasi yang dilakukan pemerintah 
kolonial. Situasi ini mendorong pertumbuhan komunitas Tionghoa di Solo yang 
tergerak mengadu nasib dan bermukim di kota. Dalam perkembangannya, mereka 
bertempat tinggal di wilayah Kasunanan, yaitu Ketandan depan Pasar Gedhe, 
Balong, Mijen, Kepanjen, Samaan, Sudiroprajan, dan Limolasan," kata Heri.

Akan tetapi ada yang membedakan antara komunitas Tionghoa yang tinggal di 
Balong dan daerah lain. D

ekade pertama abad ke-20, komunitas Tionghoa yang tinggal di Balong merupakan 
golongan ekonomi menengah ke bawah.

Dijelaskan pada periode tersebut sebagian besar wilayah Balong masih berupa 
tanah lapang yang kumuh.

Di lapangan itu telah dihuni para buruh, baik Tionghoa maupun orang Jawa yang 
mendirikan rumah bilik.
Warga antusias menyaksikan arak-arakan peserta kirab dalam tradisi Grebeg 
Sudiro di Kota Solo, Jawa Tengah, Minggu (22/1/2017). Grebeg Sudiro, yang 
diselenggarakan mendekati perayaan Imlek, juga mewakili nilai toleransi dan 
akulturasi budaya masyarakat Solo.(KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA) 

Tanah lapang yang kumuh serta dipenuhi rumpun bambu berfungsi untuk tempat 
pembuangan tulang dari rumah jagal di Jagalan.

Di Balong diangkat seorang pemimpin dengan jabatan Kapiten China yang 
bertanggung jawab kepada raja maupun Belanda.

Heri menjelaskan dalam penelusuran ilmiah Riyadi (2011) daerah Balong semakin 
menonjolkan keunikan, lantaran di kawasan Pecinan orang Jawa diberikan izin 
leluasa di daerah tersebut.

Lantas terjadi interaksi harmonis berujung kawin campur.

Terciptalah akulturasi dari perkawinan campur tersebut.

Camilan dari bahan kacang dan gula jawa, ampyang menjadi lambang akulturasi 
yang banyak dikaitkan sebagai lambang masyarakat Balong.
Oleh-oleh dodol, jenang, onde-onde, enting-enting kacang, ampyang jahe, intip, 
belut goreng, keripik tempe sagu, keripik bayem, belut, gemplak, dodol, bakpia, 
dan aneka jajajan lain yang dijual di Pasar Klewer Sementara, Sabtu 
(23/7/2016). Wisatawan bisa menemukan aneka oleh-oleh jajanan di Blok D Pasar 
Klewer Sementara.(KOMPAS.COM/WAHYU ADITYO PRODJO) 
"Dari sekian pemukiman etnis Tionghoa di Solo, hanya komunitas Tionghoa Balong 
yang mampu berakulturasi dengan budaya Jawa sehingga komunitas ini ikut 
memperkaya komposisi komunitas masyarakat di Solo," kata Heri.
Beda dengan komunitas Tionghoa lainnya di Solo yang kental dengan nuansa 
bisnis, komunitas Tionghoa di Balong terkenal karena campuran budaya dengan 
pembauran yang baik.

Tahun 1998, Balong menjadi lokasi komunitas China yang luput dari aksi 
kekerasan pada Mei 1998.  

Stigma negatif kerusuhan rasial pada 1743, 1911, 1965, 1980, dan 1998 di Solo 
perlahan dikikis dengan jalur kultural.

Grebeg Sudiro menurut Heri adalah bukti tingginya kesadaran masyarakat Solo 
untuk bahu membahu, menghilangkan stigma negatif.

"Grebeg Sudiro bagaikan panggung untuk menguatkan ikatan persaudaraan 
masyarakat kota yang majemuk, strategi kebudayaan yang jitu. Barangkali perlu 
ditiru oleh kota-kota lain demi merayakan pembauran dan menguatkan tali 
hubungan lintas etnis yang harmonis," kata Heri.

Berita ini telah dimuat di Kompas.com dengan judul Grebeg Sudiro, Perpaduan 
Budaya Tionghoa-Jawa di Solo

Kirim email ke