Ironisnya, justru orang-orang "kiri" bahkan mantan kom buta matanya dan tak 
melihat hegemoni watak ORBA  yang merupakan hakiki dari pemerintahan yang 
sampai sekarang masih terus mengangkangi kekuasaan!!! Coba bayangkan, jaman 
ORBA  "beneran" , modal asing ada batasnya, tapi jaman Jokowi 100% bisa modal 
asing menguasai aset!!!  Masih kurang jelas rupanya bagi pendukung Jokowi, 
bahwa sepak terjang presiden  "sipil dan tak punya latar belakang militer dan 
kejahatan, justru  lebih kejam dalam menggusuri rumah penduduk, menghilangkan 
mata pencahariannya, merampas tanah untuk mega proyek infrastruktur, memberi 
wewenang kepada aparat militer dan polisi untuk mengawal kepentingan korporasi. 
Sungguh kasihan para penjilat penguasa ini!!! Eling, eling!!!

Hegemoni Watak OrBa di Era Reformasi
Nisaa Yura8 February 2019


Watak Orde Baru adalah contoh ideal hegemoni kebenaran yang masih langgeng 
hingga saat ini. Tatkala orang jahat disulap menjadi “baik”, dan orang jahat 
mendapatkan justifikasi atas kejahatannya.(Niko Attar)
Jakarta, 7 Februari 2019. Pembangunanisme, militerisme, pelemahan politik 
oposisi, pemberangusan kebebasan berserikat serta praktik KKN merupakan ciri 
utama Orde Baru. Sampai akhirnya lebih dari 20 tahun yang lalu, muncul 
reformasi sebagai bentuk perjuangan untuk menumbangkan rezim otoriter 
tersebut.. Memperbincangkan konteks Indonesia hari ini menjadi penting dan 
relevan menjelang Pemilihan Umum 2019, terutama dalam melihat apakah reformasi 
telah berhasil melepaskan bangsa ini dari belenggu Orde Baru, dengan mewujudkan 
esensi demokrasi yang sesungguhnya yaitu Hak Asasi Manusia, Keadilan, dan 
Kesejahteraan Rakyat.

Sebagai ruang refleksi, dialog bertajuk Membincangkan Indonesia: Membongkar 
Orde Baru, Melihat Amanat Reformasi yang diadakan di gedung YLBHI ini 
menghadirkan berbagai narasumber untuk merefleksikan sistem dan karakter Orde 
Baru sekaligus melihat tuntutan dan pranata reformasi dalam konteks situasi 
Indonesia hari ini.

Jurnalis senior Maria Hartiningsih menyatakan bahwa lepasnya belenggu kebebasan 
pers dan membaiknya indeks kebebasan pers pasca reformasi tidak lantas 
menghadirkan esensi kebebasan pers yang sesungguhnya. Hari ini kebebasan pers 
acap mendapatkan ancaman, tidak hanya dari negara tetapi juga dari 
kelompok-kelompok masyarakat yang kerap melakukan kekerasan.

Meski ada beberapa kemajuan, di antaranya UU Pers dan isu perempuan yang sudah 
semakin mainstream, namun pers sendiri terus menghadapi tantangan dalam 
menjalankan fungsinya di dalam demokrasi. ”Pers tidak lagi menjalankan 
fungsinya sebagai watchdog, tetapi bermain di dalam pusaran kekuasaan, ujarnya.

Lebih lanjut, Maria menyatakan bahwa Pemilihan Presiden hari ini berjalan 
secara tidak sehat, sehingga tidak memberikan sumbangan bagi pendidikan politik 
publik. Politik hari ini justru menyebabkan terjadinya pembelahan wartawan, 
aktivis, dan berbagai kelompok lainnya. Dalam konteks pers, media banyak 
didirikan oleh politisi atau pengusaha yang berafiliasi dengan partai politik, 
sehingga mengakibatkan media kehilangan kepercayaan masyarakat.

“Pada kondisi di mana kapitalisme, kekuasaan dan teknologi berkelindan, yang 
terpenting (adalah) dagangan terjual dan meraup keuntungan besar. Berita palsu 
yang mengandung hasutan, atau berita bohong yang kemudian disebarkan oleh 
orang-orang yang berada di ruang dan gaung yang sama kemudian menjadi komoditas 
politik untuk saling menjatuhkan,” papar Maria merefleksikan situasi media hari 
ini.

Dalam konteks gerakan buruh, Ilhamsyah dari Konfederasi Persatuan Buruh 
Indonesia menyatakan bahwa meskipun secara formal ada kebebasan bagi buruh 
untuk berserikat, namun dalam praktiknya, hak-hak ini masih sering 
dihalang-halangi pemenuhannya. “Union Busting masih menjadi pola untuk 
menghabisi serikat buruh,” ujarnya.

Ilhamsyah mengingatkan bahwa Orba tidak identik dengan aktor tapi dengan sistem 
yang dirancang sedemikian rupa. Orba mengeluarkan Tap MPR No. 25 Tahun 1966 dan 
UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagai landasan kekuasaan. 
Tak hanya itu, pilar Orde Baru turut diperkuat dengan dwi fungsi ABRI serta 5 
paket UU Politik – yaitu UU tentang Pemilu, UU tentang Ormas, UU tentang 
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, UU tentang Partai Politik, dan UU 
tentang Referendum. “Sistem Orde Baru telah mempersiapkan seluruh perangkat 
hukumnya, baik untuk melegitimasi kekuasaannya maupun untuk menggebuk,” pungkas 
Ilhamsyah.

Melihat situasi reformasi hari ini, Ilhamsyah berpendapat bahwa sistem yang 
menopang Orba masih kuat. TAP MPR dan penggunaan isu komunis tidak kunjung 
goyah. Buruh, aktivis, hinga rakyat yang digusur dan memperjuangkan hak mereka 
kerap dituduh sebagai komunis. Hal ini diperkuat dengan keberadaan UU Ormas, 
yang mengharuskan Pancasila sebagai satu-satunya asas Organisasi.

Ditilik dari sudut pandang militerisme, dominasi TNI dalam kehidupan sipil 
masih terus terjadi. Lembaga teritorial tetap utuh, bahkan hari ini ada 
permintaan agar perwira yang tidak punya pekerjaan untuk ditempatkan ke dalam 
lembaga pemerintahan yang ada. Sementara dalam konteks ekonomi dan investasi, 
cengkraman modal justru semakin kuat. Di akhir Orba, akses  investasi dibuka 
lebar-lebar, “Ketika Orba, ada batasan kepemilikan modal asing, sekarang 100% 
modal asing bisa menguasai asset,” ungkap Irwansyah. “Kenapa reformasi tidak 
bisa melahirkan pemerintahan yang betul-betul demokratis? Karena pemerintahan 
orba tidak memungkinkan lahirnya kekuatan oposisi.”

Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyatakan bahwa saat ini 
modalitas politik kita masih berangkat dari watak koruptif Orde Baru. Watak 
Orba adalah kekuasaan yang mengabdi pada modal. Watak tersebut terus 
mengkonsolidasikan kekuasaannya, di antaranya dengan membangun kelompok 
vigilante dan melalui laku korupsi. Pola-pola tersebut pun masih berlangsung 
sampai hari ini. “Kalau orde baru memiliki wajah kekuasaan politik yang 
tunggal, maka hal itu juga terjadi saat ini,” ujar Anam. “Siapa yang punya 
kuasa, punya modal, dialah yang bisa mendominasi ruang politik”.

Dari segi hukum, Orba ditopang oleh kuasa peradilan. “Tidak ada pengadilan yang 
independen,”tegas Anam. Masih menurut dia, dalam catatan Komnas HAM, hari ini 
tidak ada kasus pelanggaran HAM yang bisa diselesaikan karena kekuasaan tidak 
menginginkan kasus itu selesai dengan berbagai cara. Padahal menyelesaikan 
pelanggaran HAM sesungguhnya dapat merefleksikan tata kelola negara kita; 
apakah masih berwatak kekuasaan atau telah berkembang menjadi berwatak 
demokratis.

Watak kekuasan Orba juga hegemonik sebagai perumus kebenaran. Menurut Anam, 
watak seperti ini terus berjalan sampai sekarang, di mana orang yang punya 
kekuasaan bisa membangun kebenaran versinya. “Dalam rezim pembuat kebenaran 
yang merumuskan kebenarannya sendiri, orang yang jahat menjadi baik, atau orang 
yang jahat menjadi dibetulkan kejahatannya” ungkapnya.

Berbagai refleksi di atas menunjukkan bahwa watak kekerasan Orba masih mewujud 
jelas hingga pemerintahan hari ini. Baik UU Ormas, oligarki kekuasan, praktik 
perampasan lahan, pelanggaran HAM, maupun dominasi militer, mencerminkan bahwa 
negara masih saja dijalankan dengan gaya kekuasaan lama. Watak kekerasan itulah 
yang kemudian mengakibatkan demokrasi kehilangan esensi, di mana rakyat tidak 
lagi memiliki pilihan calon pemimpin yang benar-benar merepresentasikan 
kepentingan rakyat. Bahkan yang muncul adalah para pelanggar HAM; seorang calon 
yang memang pelanggar HAM, juga seseorang yang ditokohkan sebagai orang baik 
dengan menggunakan watak Orde Baru demi menciptakan versi kebenarannya sendiri.

Kirim email ke