-- j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1938-jakarta-ramah-banjir Jakarta Ramah Banjir Penulis: Media Indonesia Pada: Selasa 25 Februari 2020, 05:05 WIB Editorial MI PEMASALAHAN banjir di Ibu Kota sudah menyentuh kedaruratan. Sebagian warga Ibu Kota kini mengalami banjir yang bukan lagi lima tahun sekali atau setahun sekali. Belum juga bulan kedua berakhir, sejak awal tahun ini beberapa wilayah di DKI Jakarta diterpa banjir hingga tujuh kali. Setiap hujan deras mengguyur semalaman sudah hampir dipastikan bakal ada wilayah yang kebanjiran. Saking seringnya, barangkali warga sudah terbiasa untuk terjaga sepanjang durasi hujan. Dengan begitu, mereka sudah tidak kaget lagi saat air tiba-tiba masuk ke rumah hingga setinggi tempat tidur. Tidak kaget lagi bukan berarti tidak terganggu. Banjir membuat aktivitas sehari-hari warga terhambat, aset terendam air, dan timbul kesibukan ekstra untuk bersih-bersih rumah setelah air surut. Kekerapan banjir merupakan salah satu indikasi Pemprov DKI Jakarta lebih banyak bersikap reaktif ketimbang preventif. Langkah-langkah yang diambil hanya untuk mengatasi dampak banjir. Alih-alih menuntaskan persoalan agar banjir tidak menerpa kembali, Pemprov DKI hanya mengadakan toa untuk meneriakkan peringatan bagi warga bahwa banjir akan datang. Menyalahkan kondisi di hulu juga menjadi lagu usang. Terbukti, hanya oleh hujan lokal, banjir lagi-lagi bertandang ke wilayah Ibu Kota. Sungguh malas mencari akar masalah di kandang sendiri. Coba tengok underpass Kemayoran. Sejak banjir besar awal tahun, setidaknya sudah empat kali terowongan itu tergenang banjir. Ketinggian air kurang lebih sama hingga tidak bisa dilewati kendaraan. Artinya, sama sekali tidak ada yang dilakukan untuk mencegah air kembali menggenangi. Kalaupun ada, terulangnya banjir dalam jangka waktu yang begitu dekat memperlihatkan ketidakbecusan mendiagnosis penyebab banjir. Bila diagnosis salah, obatnya pasti keliru. Dari sisi teknis, setidaknya ada dua penyebab utama banjir. Pertama, daya tampung sungai yang sangat kurang. Kedua, sistem drainase yang buruk. Keduanya merupakan akar permasalahan banjir di Ibu Kota. Peningkatan kapasitas dengan cara melebarkan sungai saja tidak cukup. Perawatan, antara lain dengan pengerukan secara berkala tiap minggu, harus terus-menerus dilakukan. Alangkah baiknya bila peningkatan kapasitas sungai juga dibarengi dengan menambah waduk-waduk dalam kota. Tentu saja, waduk-waduk itu juga tidak boleh luput dari perawatan berkala. Demikian pula sistem drainase. Pembersihan jangan sampai berhenti atau berjeda hingga hitungan minggu. Bila menyempit, harus dinormalkan. Jika drainase terlalu sempit dan dangkal, mesti dilebarkan dan diperdalam. Bahkan, sudah banyak ahli yang menyarankan gorong-gorong yang mendukung sistem drainase DKI Jakarta diganti dengan gorong-gorong raksasa. Dengan banyaknya pekerjaan untuk menuntaskan persoalan banjir, tentu tidak ada alasan anggaran pengendalian banjir yang hanya Rp2,5 triliun tahun ini tidak terserap habis. Sungguh aneh bila sampai serapan rendah padahal persoalan masih menghadang. Lebih aneh lagi jika ketidakmampuan menggunakan anggaran secara efektif itu menjadi alasan untuk memotong anggaran yang begitu krusial. Tidak mengherankan jika banjir semakin kerap datang. Pemprov DKI Jakarta sangat menggebu merevitalisasi trotoar untuk menjadikan Ibu Kota ramah pejalan kaki. Walaupun masih lemah dalam menegakkan aturan di trotoar, semangat mengutamakan pejalan kaki itu patut diapresiasi. Namun, jangan harap acungan jempol untuk wujud Jakarta yang ramah banjir. Gila apa?!