Posisi Tawar Indonesia dalam EU-CEPA Dipertanyakan | | Posisi Tawar Indonesia dalam EU-CEPA Di... | |
"Perjanjian ini katanya ditandatangani pada 2018, tapi dalam proses perjanjiannya tidak ada filter yang mengetahui isinya apa. DPR sekalipun tidak tahu apa saja persetujuannya. Itu kenapa posisi tawar Indonesia dipertanyakan," (IGJ, 1/2/2017) - Jelang Perundingan Indonesia-EU CEPA Masyarakat SipilGugat UU Perjanjian Internasional Oleh Dedy Kusnaedi – Februari 18, 2018 17:30 Jakarta, Aktual.com-Jelangperundingan Indonesia-EU CEPA pada19-23 Februari 2018 yang digelar di Solo, TimAdvokasi Keadilan Ekonomi berencana mengajukan Judicial Review Undang-UndangNo.24/2000 tentang Perjanjian Internasional ke Mahkamah Konstitusi. Sementara pasal-pasal yang dinilaibertentangan dengan UUD 1945 adalah Pasal 2, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11Undang-Undang a quo. Adapun uji materi Undang-Undang Perjanjian Internasionaloleh Tim Advokasi Keadilan Ekonomi telah didaftarkan di Mahkamah Konstitusipada Rabu, 14 Februari 2018. Menurut Henry Oliver David Sitorus,Koordinator Kuasa HukumTim Advokasi Keadilan Ekonomi jika ke empat pasal padaundang-undang a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi rakyat. Hal initentu saja berimbas pada hilang kontrol dan keterlibatan rakyat pada prosesperundingan perjanjian internasional. “Misalnya dalam pasal 2, frasa dapatberkonsultasi dengan DPR telah menghilangkan kedaulatan rakyat dalam proses pengikatanIndonesia ke dalam sebuah perjanjian internasional yang berdampak luas terhadapkehidupan rakyat karena frasa konsultasi tidak memiliki implikasi hukum dalampengambilan keputusan pembuatan kebijakan negara, sehingga pasal inibertentangan dengan Pasal 11 UUD 1945,” jelas Henry di Jakarta, Minggu (18/2). Disisi lain tambah Henry pembatasanterhadap kualifikasi perjanjian internasional yang ada di dalam Pasal 10 dan 11undang-undang a quo telah mengakibatkan sejumlah perjanjian internasional yangdiratifikasi telah luput dari kontrol rakyat, sehingga menghilangkan hak rakyatuntuk memberikan pertimbangan atas dapat atau tidaknya perjanjian internasionalitu disahkan, mengingat dampaknya yang luas terhadap kehidupan rakyat. Henry mencontohkan pada Pasal 11undang-undang a quo perjanjian di bidang ekonomi, perdagangan, penanaman modal,dan perjanjian pajak berganda hanya perlu disahkan melalui Keputusan Presiden. Hal tersebut kata dia, telahmenempatkan kekuasaan pemerintah sangat besar ketimbang DPR sebagairepresentasi kedaulatan rakyat. Sementinya presiden dalam membuat perjanjianinternasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupanrakyat harus melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terlebih dulu sepertidiatur pada Pasal 11 ayat (2) UUD 1945. Direktur Eksekutif Indonesia forGlobal Justice (IGJ), Rachmi Hertanti mengungkap alasan jika gugatan inidiajukan menjelang perundingan Indonesia-EU CEPA sebagai upaya untuk memberikanpesan kuat kepada Pemerintah Indonesia. Pihaknya ingin memberikan pesan kepadaPemerintah Indonesia jika Perundingan Perjanjian Perdagangan Bebas Indonesia-EUCEPA berpotensi melanggar Konstitusi. Bahwa gugatan Judicial Reviewterhadap UU Perjanjian Internasional ke Mahkamah Konstitusi ini kata Rachmi sebagaikelanjutan dari upaya Gugatan JR UU Ratifikasi ASEAN Charter yang sebelumnyapada 2012 pernah digugat , tetapi kalah. Sementara Rahmat Maulana Sidik,Department Advokasi IGJ, menjelaskan jika ada sejumlah perjanjian perdaganganbebas (FTA) yang disahkan tanpa melalui persetujuan DPR, padahal perjanjian FTAtersebut berdampak sangat luas pada kehidupan rakyat, dan bahkan mengharuskanadanya proses harmonisasi terhadap regulasi nasional. “Selama ini proses perundingan FTAselalu tertutup, tidak melibatkan publik, dan tidak transparan mengenai apa-apasaja yang dirundingkan. Ibaratnya beli kucing dalam karung. DPR selama inihanya disodorkan hasil dari proses perundingan dan tinggal memberikan stempelsaja. Tetapi tidak pernah terlibat dalam mengawasi serta mengkritisi isi teksperundingan selama berunding,” ujar dia Maulana pu mencontohkan beberapadampak dari Perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yakni masyarakat tidaktahu kapan disahkan tetapi aturannya langsung terasa dalam kehidupan sepertisoal makin derasnya produk impor masuk ke Indonesia, kolapsnya industri lokaldan pelaku usaha kecil akibat kalah bersaing, masuknya tenaga kerja asing, dansebagainya. (Dedy Kusnaedi)