KPK dan Anies.



Di China, pernah ada Kepala Daerah jatuh hanya karena ulah pemuda tamatan SMU 
yang bekerja sebagai pedagang kecil di distrik. Apa pasal? Pemuda itu menulis 
di blog bagaimana korupsi dana lingkungan hidup dilakukan secara sistematis 
oleh pejabat sehingga terjadi tanah longsor di desanya. Yang hebatnya pemuda 
itu, justru mendapatkan hak dan keadilannya karena dia dituduh menghina kepala 
daerah. Para nitizen meng copy tulisannya dan mem viralkan selama beberapa 
hari. Sehingga mengundang perhatian dari petinggi partai di tingkat Pusat. 
Pemuda itu bisa bebas dari tuntutan karena dia berani mempertanggung jawabkan 
data yang dia publis di media sosial. 




Mengapa pembelaan pemuda itu tidak terbantahkan? Itu semua berkat adanya 
E-Goverment yang dapat diakses oleh rakyat luas. Dengan database E-planning 
Pemda, dia dapat mengetahui apakah program kerja kepala daerah itu sudah sesuai 
dengan rencana pemerintah pusat. Kemudian , dari e-Budgeting dia bisa 
mengetahui sejauh mana penggunaan anggaran itu efektif. Berdasarkan 
e-procurement , dia bisa tahu siapa saja yang mendapatkan jatah proyek dan 
berapa nilainya dan pantaskah ?  Dari analisa menyeluruh , dia menyimpulkan 
bahwa kepala daerah membuat proyek tidak sesuai dengan rencana, dan penunjukan 
rekanan tidak tepat karena rekanan itu tidak qualified, juga harga kemahalan. 
Dampaknya kerusakan lingkungan dan bencana terjadi.




Tahun 2016, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo memuji 
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menerapkan 
mekanisme penganggaran melalui electronic budgeting (e-budgeting). Menurut 
Agus, cara tersebut dapat merangkul masyarakat untuk turut mengawasi kinerja 
pemerintah agar tak menjurus ke rasuah. Bahkan, KPK mengusulkan ebudgeting Ahok 
diterapkan di seluruh Indonesia, agar masyarakat secara partisipatif mengotrol 
dan melakukan koreksi. Kalau bisa bukan hanya anggaran tetapi perencanaan 
anggaran juga bisa diketahui publik sehingga hal pengawasan publik jadi terpadu.




Memang secara UU tidak ada keharusan anggaran itu terbuka secara publik. Namun 
tidak melarang masyarakat mendapatkan informasi itu. Dan ini di jamin oleh 
Undang-Undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik. 
Masalahnya tidak banyak masyarakat yang tahu akan hak nya itu. Tidak banyak 
dari mereka punya kemampuan mengakses data dan informasi seputar anggaran. 
Makanya bagi kepala daerah yang jujur, terbuka dan  sadar bahwa APBD itu adalah 
milik rakyat, dia akan berusaha memberikan informasi seluas luasnya kepada 
publik soal APBD ini. Mengapa? , agar rakyat membantunya mengawasi. Itulah yang 
dilakukan Ahok ketika jadi Gubernur.




Nah apa yang saya suka dari pemerintahan Jokowi adalah sifat keterbukaannya.. 
Itu bukan hanya saja sejak dia jadi walikota , gubernur tapi juga presiden. 
Saya suka cara kementrian keuangan yang memberikan informasi mengenai APBN 
dengan bahasa yang sederhana dan dilengkapi infographis yang mudah orang 
pahami.  Kalau ingin tahu lebih detail, kita bisa klik situs APBN sejak dari 
perencanaan sampai kepada penganggaran. Berkat keterbukaan informasi APBN itu 
saya tidak sulit melakukan kritik dan mudah pula meluruskan opini negatif dari 
para oposisi yang tidak didukung data valid.




Tapi keteladanan Jokowi mengelola Anggaran di Pusat tidak ditiru oleh semua 
kepala Daerah. Ini bisa dimaklumi sebagai dampak dari hak otonomi Daerah. Tapi 
anehnya KPK yang bertugas melakukan pencegahan korupsi, yang pernah memuji 
sistem ebudgeting Ahok, malah tidak bersuara ketika Anies tidak melakukan azas 
keterbukaan APBD. Di sini saya sadar bahwa OTT KPK hanyalah pencitraan politik. 
Mengapa? di depan mata mereka ada sistem  ebudgeting Ahok yang sudah baik dan 
dipuji sebagai cara efektif mencegah korupsi, eh malah dibiarkan diacak acak 
oleh Anies. KPK diam saja. Tapi bagi orang lain KPK itu bidadari cantik. 
Padahal bau ikan asin, sama dengan Anies.




Erizeli Jely Bandaro


Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone

Kirim email ke