KRISIS PERSEPSI DALAM MEMAHAMI PANCASILA TELAH BERGESER 

MENJADI KRISIS EMOSIONEL YANG MENDALAM.

 

Untuk membahas masalah ini baiklah akan saya mulai dari  cuplikan sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan, yang telah membuat konsep-konsep baru dalam
fisika yang telah menimbulkan perubahan mendalam terhadap pandangan dunia
manusia, yaitu dari pandangan dunia mekanistik yang berasal dari
Rene´decartes dan Newton, yang disebut Pardigma lama (Pola pikir Mekanisme
Cartesian) menjadi suatu pola pikir yang bepandangan holistik,dan ekologis,
yang disebut Paradigma baru.

 

Nampaknya pandangan holistik dan ekologis  tersebut tidak mudah untuk
diterinma para fisikawan pada permulaan abad ke 20. Dalam konteks ini
nampaknya para ilmuwan penyelidik dunia atomik dan subatomik telah membawa
mereka bersentuhan dengan realitas yang asing dan tidak disangka-sangka.
Dalam upaya mereka memahami realitas baru ini, para ilmuwan dengan susah
payah menyadari bahwa bahwa konsep-konsep, bahasa, dan seluruh cara berpikir
mereka tidak memadai lagi untuk melukiskan fenomema atomik. Masalah yang
mereka hadapi bukanlah hanya bersifat intelektual, tetapi berkembang menjadi
suatu krisis emosional yang mendalam,  yang dapat disebut sebagai krisis
eksistensial, yang membutuhkan waktu yang lama untuk mengatasi krisis ini,
namun akhirnya mereka dapat memahami wawasan yang mendalam mengenai mareti
dalam hubungannya dengan pikiran manusia.

 

Menurut pengamatan saya penomena krisis emosional yang mendalam,yang bisa
dipandang sebagai krisis eksistensial, ini nampaknya memantul ke Indonesia
di abad ke 21, ini tercermin dalam sikap DPR RI,yang tidak berhasil memahami
Pancasila dan hubungannya dengan pikiran manusia. Ini dibuktikan dengan
munculnya  Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP), dimana
konsep-konsep bahasa dan seluruh cara berpikir DPR RI secaera substansial
berakar pada cara berpikir Mekanisme Cartesian, jadi logis jika dipandang
tidak memadai untuk melukiskan hakekat Lima Sila dari Pancasila; karena RUU
HPI terkesan telah mereduksi nilai-nilai Pancasila;  Dalam konteks ini DPR
RI telah membuat suatu analisa tentang Pancasila dengan cara membedah lima
sila Pancasila menjadi 3 sila yang disebut Tri Sila, dan selanjutnya Trisila
ini, dibedah lagi menjadi Satu sila yang disebut Eka Sila, untuk memahami
hakekat Pancasila secara keseluruhan, lalu menyimpulkan bahwa hakekat
Pancasila adalah Gotong Royong.

 

Metode berpikir DPR RI ini nampaknya persis seperti metode berpikir
Decartes,pencipta cara berpikir Mekanisme Catesian, yang sudah kedaluwarso.
Dalam konteks ini, Decartes telah menciptakan metode berpikir analitis,
yaitu dengan memecah-mecah fenomena yang rumit kedalam
kepingan-kepingan,untuk mengerti perilaku keseluruhan dari sifat-sifat
bagian-bagiannya.  

Menurut pemahaman saya, ilmu pengetahuan sistemik memperlihatkan bahwa
sila-siala Pancasila tidak dapat dimengerti melalui analisis. Ini berarti
bahwa : Silat-sifat dari lima (5) Sila Pancasila itu bukanlah sifat-sifat
intrinsik (hakekat),melainkan dapat dimengerti hanya dalam konteks
keseluruah yang lebih besar. Jadi pola pikir DPR RI yang terkait dengan RUU
HIP, yang menyimpulakan bahwa Hakekat Pancasila adalah Gotong Rayong;
Samasekali tidak dapat dibenarkan!!!; Maka dari itu pemerintah Indonesia
harus METOLAK mentah-mentah tanpa komromi!!!

 

Dengan munculnya RUU HIP , maka terjadilah gejolak sosial-politik yang
menicu terjadinya krisis persepsi yang mendalam, dalam  memahami  Pancasila;
krisis ini muncul ketika  kubu DPR RI  mengeluarkan gagasan  Rancangan
Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP),yang tidak memadai, untuk
melukiskan  Pola Pancasila, yang didalamnya terlekat erat dengan adanya 5
Sila Pancasila, yaitu: Kesatuan dari sila-sila Pancasila, yang tersusun
secara sistemik  yaitu: 1.Ketuhanan yang Maha Esa, 2.Kemanusiaan yang adil
dan beradab, 3.Persatuan Indonesia-Nasionalisme, 4. Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawarataan/perwakilan” atau Demokrasi;
5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesi-

 

Menurut pengamatan saya Krisis Kesadaran dalam memahami Pancasila yang
terjadi dalam tubuh DPR RI, bukanlah krisis sosial politik, seperti yang di
gembar-gemborkan oleh para penentang RUU HIP,  yang mekait-kaitkan dengan
dugaan munculnya  Neo PKI, tapi ia adalah krisis Paradigma ilmu pengetahuan,
dalam menganalisa Pancasila, yang menggunakan pola pikir Mekanisme
Cartesian, seperti yang sudah disinggung diatas. Krisis semacan ini di
Indonesia juga pernah terjadi dalam kasus Bank Century, yang sebenarnya
bukan merupakan Bank yang sistemik, tetapi di dianalis sebagai Bank yang
sistemik, oleh karena itu harus di Bailout (dana talangan). Ternyata
keputusan itu salah, kareana Bank Century ini hanya salah satu bagian dari
Bank-Bank yang ada di Indonesia yang berdiri sendiri-sebdiri. Artinya jika
Bank Century runtuh, ia tidak akan berdampak sistemik, terhadap bank-bank
yang linnya, tapi hanya berdampak pada pelangan-pelanggan Bank centiury.
Kesalahan dalam analisa yang mengatakan Bank Century adalah bank yang
sistemik berdampak terjadinya kerugian besar bagi pemeritah Indonesia. Yang
sampai saat ini kasusnya tidak terselesaikan secara tuntas.

 

Bisa dipercaya bahwa krisis kesaradan yang mendalam dalam konteks  RUU HIP
ini akan bergeser menjdai krisis Persepsi selektif, yang diaplikasikan pada
kecenderungan persepsi manusia yang  dipengaruhi oleh
keinginan-keinginan,kebutuhan-kebutuhan,sikap-sikap,dan faktor-faktor
psikologi lainnya.  Yang akan bedampak buruk bagi persatuan bangsa dan
keutuhan NKRI,jika pemrintah Indonesia tidak dapat menemukan solusi yang
bijak dalam menanganinya.

 

Kesimpulan  akhir. 

 

Ada bebera solusi untuk  masalah yang berkaitan dengan RUU HIP dizaman
digital yang sekarang kita alami ini. Namun solusi itu menghendaki adanya
suatu perubahan radikal dalam persepsi, pemikaniran, dan nilai-nilai kita.
Sebenarnya kita sekarang ini kita berda pada suatu perubahan fundamental
pandangan dunia dalam ilmu masyarakat, yaitu perubahan Pardigma yang yang
sama radikalnya dengan Revolusi Copernikan,yaitu suatu revolusi yang dapat
dibandingkan dengan perubahan revolusioner yang diadakan Copernicus dalam
bidang astronomi. Namun kekijakan ini belum berkembang pada sebagian besar
pemimpin politik kita.

 

Oleh karena itu bangsa Indonesia membutuhkan waktu yang lama untuk mengatasi
kritis ini; untuk maksud tersebut bangsa Indonesia harus dapat menemukan
seorang pemimpin yang yang Visioner,Karismatik dan Revolusioner, Yaitu :
Seorang pemimpin yang visioner, yaitu seorang pemimpin yang energi batinnya
(egonya) sudah bisa menyatu dengan pandangan umum yaitu energi ilmu
pengetahuan, sehingga terbentuklah suatu kesadaran System (baca:kesadaran
holistik);  Sehingga ucapan, tindakan, dan kebijakan-kebijakannya bukan
diatur dari luar atau yang didasarkan pada kepentingan jaringan oligarki
kekuasaan. Seperti yang kita saksikan sekarang ini. Mungkin dalam hal ini
diperlukan campurtangan para tokoh-tokoh Intelektual,untuk menjelaskan
tenang makna dari Paradigma Ilmu Pengetahuan, khususnya dalam konteks ini
adalah Paradigma Holistik, Ekologis dan kaitannya dengan pemikiran Sistim.
Sebagai akhir kata, menurut pendapat saya Bangsa Indonesia sekarang ini
harus bisa mnjalankan Reformasi sosial yang fundamental, atau mendasar,yang
menurut istilahnya Bung Karno disebut Retooling alat-alat lama yang perlu
diganti sama sekali dengan yang baru; dibidang legislatif, eksekutif dan
Judikatif. Khususnya dibidang  Politik,; Ekonomi; Sosial; Mental dan
Kebudayaan dll. Pandangan ini saya kemukakan karena Indonesia saat ini
terkasan berada dalam jebakan skandal besar dalam menjalankan pemilihan
Presiden 2019.

 

Roeslan

 

 

 

Kirim email ke