http://mediaindonesia.com/read/detail/175769-ketika-ekonomi-tersandera-politik
*Ketika Ekonomi Tersandera Politik*
Penulis: *Effnu Subiyanto Advisor Cikalafa-Umbrella, Direktur Koalisi
Rakyat Indonesia Reformis (Koridor), Wakil Ketua Bidang Strategis
Federasi Serikat Pekerja Sinergi (FSPS) BUMN* Pada: Kamis, 02 Agu 2018,
02:15 WIB Opini <http://mediaindonesia.com/opini>
<http://www.facebook.com/share.php?u=http://mediaindonesia.com/read/detail/175769-ketika-ekonomi-tersandera-politik>
<http://twitter.com/home/?status=Ketika%20Ekonomi%20Tersandera%20Politik%20http://mediaindonesia.com/read/detail/175769-ketika-ekonomi-tersandera-politik%20via%20@mediaindonesia>
Ketika Ekonomi Tersandera Politik
/thinkstock/
PROFILING politik nasional dan situasi global saat ini benar-benar tidak
menguntungkan Indonesia secara ekonomi. Di dalam negeri kontraksi
politik masih liar karena patron politik masih sandera-menyandera
mengenai koalisi dengan tujuan akhir kaveling posisi wakil presiden dan
turunannya. Sudah sangat dimafhumi bahwa sejumlah deal politik ialah
distribusi posisi dan kekuasaan, dari jabatan menteri sampai dengan
posisi ekonomi lainnya dari pusat sampai daerah.
Maju mundurnya situasi disebabkan kalkulasi politik yang masih bias.
Jadi, yang dilakukan ialah mengais sisa-sisa suara sekunder untuk saling
mengunci. Hanya dua poros yang jelas, yakni jalur PDIP sebagai penguasa
petahana, sementara jalur lainnya ialah partai penantang, Gerindra.
Ketidakpastian politik tergambar dari makin belum jelasnya hasil akhir
dari beberapa pertemuan politik. Ketua Umum Partai Demokrat Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) mengadakan silaturahim politik dengan Ketua Umum
Partai Gerindra Prabowo Subianto (24/7).
Sebelumnya ada pertemuan Presiden Jokowi dengan enam pemimpin parpol
besar (22/7), yaitu Megawati Soekarnoputri (PDIP), Airlangga Hartarto
(Golkar), Muhaimin Iskandar (PKB), Romahurmuziy (PPP), Surya Paloh
(NasDem), dan Oesman Sapta Odang (Hanura).
Kini kekuatan koalisi Gerindra setelah PD mengindikasikan merapat akan
menjadi 13% ditambah 7,1% ditambah 8,6% dan 10,9%. Total suara yang
diusung koalisi Prabowo ialah 39,6%. Sementara itu, koalisi PDIP percaya
diri dengan kekuatan 60,3%. Mereka terdiri atas PDIP (19,4%), Golkar
(16,2%), PKB (8,4%), PPP (7%), NasDem (6,4%) dan Hanura (2,9%).
Menentukan cawapres tetap menjadi kartu truf. Publik menunggu siapa
cawapres Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Posisi cawapres inilah yang
bisa menentukan sikap publik nnti.
*Efek global*
Secara global Indonesia dihantam tekanan berbagai macam isu. Pelemahan
rupiah berlanjut, perang dagang AS-Tiongkok, defisit transaksi berjalan
terus berlangsung, utang menumpuk, dan pelarian modal tak dapat dicegah.
Defisit neraca perdagangan Indonesia sampai semester I 2018 mencapai
US$1,028 miliar. Yang menyedihkan produk-produk pertanian yang
seharusnya menjadi unggulan Indonesia malah justru impor. Di sisi lain
politik meningkatkan pertahanan dan kebijakan infrastruktur menambah
buruk transaksi perdagangan luar negeri.
Pada periode empat bulan pertama tahun ini, ada 18 komoditas menyusun
91% total impor yang mencapai US$60,05 miliar. Produk agraria Indonesia,
yakni bahan pokok beras, ironisnya mencatatkan kenaikan impor tertinggi
19,340%, disusul kenaikan impor senjata 16,390%, kemudian peralatan PLTU
35 ribu Mw 5,670%. Semuanya dibandingkan dengan periode sama 2017.
Berdasarkan nilai impor pada periode tersebut, bahan baku penolong
menduduki peringkat pertama US$35,97 miliar. Berikutnya barang modal
karena berkaitan dengan politik infrastruktur US$9,81 miliar, barang
konsumsi US$5,21 miliar, bagian transmisi PLTU US$749 juta, dan gandum
US$585,7 juta.
Jika produk-produk pertanian dapat mandiri sehingga tidak ada impor dari
18 komoditas tersebut, di antaranya gandum, kedelai, beras, daging sapi
beku, bawang putih, pir, dan apel, penghematan devisa mencapai US$1,63
miliar. Artinya produk agraris Indonesia seharusnya mampu menjadi
penyelamat defisit neraca perdagangan.
*Fokus konsumsi*
Dalam menyikapi stagnasi ekonomi dan tekanan eksternal yang demikian
kuat, pemerintah sebaiknya tidak mengejar model politik mercusuar ke
luar negeri. Fokus dalam negeri seperti menaruh perhatian pada konsumsi
lebih strategis mengingat bahwa kemandirian konsumsi domestik pun masih
rapuh.
Kinerja pertumbuhan ekonomi kuartal I hanya mampu ditampilkan 5,06% dan
tampaknya tidak bergeser signifikan pada kuartal-kuartal selanjutnya.
Penguatan konsumsi domestik ialah perlindungan capaian pertumbuhan yang
sudah given. Risikonya jika ditinggalkan ialah lepas, sementara yang di
angan-angan tidak mampu diperoleh.
Simpan saja model stress test yang menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia
dapat tumbuh 7% asal nilai investasi tumbuh 10%, konsumsi 5%, kenaikan
ekspor 3%, dan pertumbuhan impor 2%. Persamaan kuantitatif itu kini
bukan lagi model dengan tingkat kepercayaan tinggi.
Realisasi pertumbuhan investasi pada kuartal I tahun ini menjadi Rp185,3
triliun sebetulnya sudah menyentuh 11,8%. Jika ditarik runtut waktu ke
belakang pun, itu menunjukkan tren investasi yang tinggi. Pada 2017
kenaikan investasi menyentuh 13,05%, kemudian 2016 (12,36%), 2015
(17,77%) dan 2014 (16,18%). Namun, terlihat bahwa daya dorong investasi
dengan pertumbuhan ekonomi tidak terlihat berkorelasi.
Perkembangan kenaikan konsumsi pun berada pada kisaran 5% enam tahun
terakhir. Pada 2012 (5,28%), 2013 (5,28%), 2014 (5,14%), 2015 (4,96%),
2016 (5,01%), dan tahun lalu sebesar 4,95%. Kinerja ekspor tahun lalu
jika dibandingkan dengan 2016 pun juga tumbuh 16,27% kendati impor juga
naik 15,68%.
Dapat disaksikan bahwa minimum persyaratan model pertumbuhan ekonomi
tersebut dipenuhi, tetapi mimpi mendapatkan pertumbuhan ekonomi 7% bisa
menjadi pepesan kosong. Perjalanan keoptimisan ekonomi Indonesia
tampaknya masih sangat berat. Barrier ekonomi Tiongkok dan proteksi
ekonomi Donald Trump tampaknya efektif menguasai ekonomi global. Fakta
itu tidak bisa dibantah kembali.
Jika melihat situasi ekonomi diam di tempat seperti ini, pemerintah
tampak sekali hanya berharap kepada ekonomi tradisional yang menumpukan
pada konsumsi rakyat. Appetite atau selera makan dari tingkat konsumsi
sembilan bahan pokok kelihatan menjadi tumpuan pergerakan (driver)
ekonomi yang suka atau tidak suka harus digunakan pemerintah.
Tidak terlalu memalukan mengandalkan ekonomi konsumsi rumah tangga (RT).
Penelitian Aslam (2017:221-234) di Sri Lanka, dan Karim dkk (2012:63-76)
di Malaysia, menunjukkan konsumsi RT sangat perlu sekali dikembangkan
kebijakannya agar menjadi penopang ekonomi sebuah negara.
Di Indonesia kontribusi konsumsi RT pun tidak bisa dibilang sederhana.
Akumulasi volume ekonominya apabila dikapitalisasi dapat memicu 56,5%
PDB. Pada struktur APBN setiap tahun, rata-rata porsi anggaran untuk
gaji aparatur sipil negara (ASN) tidak termasuk gaji anggota TNI/Polri
mencapai 24,71%. Berdasarkan Laporan BPK atas Laporan LKPP 2017, dari
total realisasi APBN audited Rp1.265,3 triliun, porsi belanja pegawai
dalam bentuk gaji, THR, tunjangan, insentif sebesar Rp312,7 triliun.
Artinya peran konsumsi RT cukup tinggi pada struktur penganggaran Indonesia.
Pada situasi kondisi perekonomian seperti saat ini, menjadi penting
pengendalian ketersediaan dan menjaga kestabilan harga-harga kebutuhan
pokok dengan lebih ketat. Memasang sosok Budi Waseso (Buwas) yang
dikenal tegas sebagai Direktur Utama Bulog seharusnya menjadi garansi
pengendalian bahan pangan utama.
Buwas akan dapat mengambil momentum mengesankan jika harga-harga dapat
diefisiensikan sehingga akan mendorong harga yang lebih murah. Akan
lebih baik jika Bulog pun enggan melakukan impor bahan pangan karena
sudah dipenuhi dari wilayah Indonesia, apa pun produk agraris yang
dibutuhkan.