Kudeta dengan Hoaks
Penulis: Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi, Mantan Aster Kasad
PESAN Bung Karno pada HUT kemerdekaan ke-21 RI pada 17 Agustus 1966 tentang 
jasmerah (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah) untuk masa kekinian perlu 
untuk disegarkan kembali dari ingatan publik, terlebih untuk elitenya.
Bagaimana tidak, kalau realitasnya dalam berdemokrasi sebagian elite negeri ini 
menempatkan pemilu seperti perang, seolah-olah sah menggunakan segala cara demi 
tercapainya tujuan.
Layaknya kaum anarki, di antara mereka tak terkecuali yang berlatar belakang 
mantan elite TNI/Polri tidak peduli akibat yang bisa ditimbulkannya. Padahal, 
mereka tahu persis bahwa bila cara yang ditempuhnya ‘kebablasan’, risikonya 
bisa berakibat fatal bagi kemanusiaan dan bahkan eksistensi bangsa dan negara.
Demokrasi bukan anarki
Sejarah mencatat bahwa dalam kaitan bernegara di masa lalu, berulang kali 
sesama anak bangsa kita saling membunuh. Sudah barang tentu, dibarengi jatuhnya 
korban dengan jumlah yang tidak kecil. Belum lagi dampak ikutan berupa 
kehidupan sosial yang memprihatinkan yang diderita puluhan juta keturunan para 
korban.
Pengalaman tersebut semestinya dijadikan pelajaran berharga bagi kita semua 
agar ke depan tidak terulang kembali. Apalagi, kalau kita mau menggali apa 
sebenarnya yang diperebutkan para pendahulu kita yang membuat mereka saling 
membunuh. Bukankah bangsa ini telah menjadi korban dari perebutan pengaruh 
kepentingan pihak-pihak tertentu. Termasuk yang diatasnamakan persaingan 
ideologi yang tergelar saat itu.
Bukankah semestinya elite negeri ini berkomitmen kuat untuk bersama-sama 
membangun demokrasi melanjutkan hasil reformasi. Karena, hanya dengan demokrasi 
kita dapat menihilkan atau setidaknya meminimalkan penistaan dan atau 
penzaliman kemanusiaan oleh sesama anak bangsa.
Maka dari itu, tidak sepatutnya dalam rangka pemilu bangsa ini menggunakan 
cara-cara propaganda, agitasi, dan mobilisasi massa dengan isu yang bisa 
merusak sendi-sendi kebinekaan, di samping penyebaran berita bohong, ujaran 
kebencian, dan juga fitnah. Karena bukan demokrasi, kalau tidak didasarkan pada 
hukum dan fatsun politik yang berlaku.
Untuk kepentingan Pemilu 2019, DPR RI yang anggotanya juga mewakili partai 
masing-masing bersama pemerintah telah menerbitkan UU No 7/2017 tentang Pemilu. 
DPR RI pulalah yang memilih komisioner KPU. Sementara itu, aturan main yang 
sifatnya teknis yang dibuat KPU juga telah terkonfirmasi DPR dan pemerintah 
selaku lembaga pembentuk UU.
Adapun pelaksanaan pencoblosan, TPS digelar sesuai wilayah RT/RW dan 
kepanitiaan di masing-masing TPS juga diawaki penduduk setempat. Di tiap TPS, 
tiap-tiap peserta pemilu juga menempatkan saksi yang ikut menandatangani 
dokumen C1 tentang rekap penghitungan suara di TPS.
Begitu pula untuk penghitung perolehan suara di tingkat nasional oleh KPU, 
diatur secara berjenjang dengan pleno di tiap-tiap jenjang. Bahkan, dengan 
durasi 35 hari juga atas kesepakatan para pembentuk UU, sedangkan dukungan IT 
yang digunakan juga digelar secara terbuka untuk umum sehingga publik bisa 
mengakses langsung untuk mengonfirmasi validitas perolehan suara di TPS 
Begitu pula untuk penghitung perolehan suara di tingkat nasional oleh KPU, 
diatur secara berjenjang dengan pleno di tiap-tiap jenjang. Bahkan, dengan 
durasi 35 hari juga atas kesepakatan para pembentuk UU, sedangkan dukungan IT 
yang digunakan juga digelar secara terbuka untuk umum sehingga publik bisa 
mengakses langsung untuk mengonfirmasi validitas perolehan suara di TPS dan 
dibarengi dengan hak untuk klaim perubahan data.
Memang mustahil KPU dapat memberi jaminan bahwa seluruh petugasnya dari pusat 
sampai dengan TPS untuk tidak melakukan kecurangan.
Namun, bila ternyata terjadi kecurangan, dipastikan sebagai kasus. Karena 
dengan pengorganisasian dan mekanisme kerja KPU sebagaimana dijelaskan di atas, 
KPU tidak mungkin bisa melakukan kecurangan secara TSM (terstruktur, sistemis, 
dan masif) sebagaimana yang dituduhkan sejumlah pihak belakangan ini.
Persoalan yang mendasar karena tuduhan KPU curang tidak dibarengi bukti 
pendukung yang valid. Begitu pula dalam hal penghitungan perolehan suara 
internal yang mereka lakukan juga tanpa pernah membuka hasil penghitungan untuk 
umum. Lantas, bagaimana mungkin rakyat dengan akal sehat serta nuraninya bisa 
percaya atas kebenaran tuduhan dan hasil penghitungan perolehan suara yang 
mereka umumkan.
Di balik rencana kudeta hoaks
Kondisi aneh yang berkembang pada Pemilu 2019, yaitu terjadinya sinergi antara 
sejumlah tokoh yang beda aliran, paham, ideologi dan bahkan habitat mereka 
bertentangan satu dengan lainnya dalam satu wadah perjuangan.
Dalam praktiknya di wadah perjuangan tersebut, sejumlah mantan elite TNI/Polri 
yang notabene sebagai benteng Pancasila bisa bersatu padu bahu-membahu dengan 
mereka yang sedang berjuang justru hendak mengganti dasar negara Pancasila. 
Kondisi tersebut dapat dipastikan bahwa persekutuan mereka terjadi karena 
adanya kesamaan karakter dan kepentingan, ibarat ‘tumbu ketemu tutup’.     
Karenanya, dapat dipahami kalau jauh sebelum tahapan pemilu dimulai, isu PKI 
dan pemutarbalikkan fakta keberhasilan pemerintah, ujaran kebencian, dan 
apalagi sekadar hoaks ‘disemprotkan’ kepada publik. Kemudian disusul dengan isu 
tenaga kerja asing dan penguasaan ekonomi nasional kita oleh asing dan aseng, 
serta banyak lagi cemoohan dan penilaian ‘miring’ terhadap buruknya kehidupan 
sosial lainnya.  
Kiranya sangat tepat istilah yang digunakan capres 02 untuk menggambar realitas 
yang ada bahwa Ibu Pertiwi tengah ‘diperkosa’. Namun, yang bersangkutan dan 
timsesnya lupa bahwa rakyat kita cerdas. Mereka tahu persis siapa pelaku dan 
kapan pemerkosaan tersebut terjadi, serta siapa sesungguhnya rezim yang 
menyelamatkan dan kemudian menterapinya.
Persoalan menjadi sangat memprihatinkan, ketika capres 02 dalam hitungan waktu 
hanya beberapa jam setelah pencoblosan usai, kemudian mendeklarasikan 
kemenangan yang disertai sujud syukur segala. Pascasujud syukur yang ketiga, 
sejumlah tokoh pendukungnya ramai-ramai mengajak rakyat melakukan people power 
dengan alasan kecurangan pemilu. Belakangan, tepatnya pada 1 Mei 2019 sejumlah 
ulama melakukan Ijtima-III yang isinya, antara lain tentang kecurangan TSM 
dalam pemilu dan meminta Bawaslu mendiskualifikasi paslon 01.
Beranjak dari pendekatan ilmu politik, rangkaian penyikapan hasil penghitungan 
hasil suara pemilu itu di atas bisa jadi sebagai prolog dari rencana kudeta 
dengan hoaks yang puncaknya menunggu terjadinya kerusuhan sosial atau kondisi 
chaos yang tengah dipersiapkan.      
Sementara itu, ditilik dari tokoh yang tampil dipermukaan, dipastikan mereka 
hanyalah ‘wayang’ yang sedang dimainkan sang dalang yang merangkap operator. 
Maka dari itu, pertanyaan yang harus dijawab kita bersama ialah ‘siapa pemangku 
hajat yang berkepentingan menanggap wayang’. Sebetulnya, untuk mengetahui siapa 
penanggap wayang yang sesungguhnya, bukanlah pekerjaan yang sulit-sulit amat.
Mereka ialah pihak-pihak bermasalah yang selama memperkosa Ibu Pertiwi sehingga 
takut terhadap bayang-bayang dirinya sendiri. Bagi mereka, kemenangan paslon 01 
ialah saat datangnya sakratulmaut. Sebagian dari mereka begitu serius karena 
mengira bahwa untuk lepas dari ‘kematian’ hanya ada satu cara, yaitu ketika 
Pemilu 2019 gagal, sehingga muncul kesempatan untuk menampilkan tokoh dari 
lingkungan mereka sendiri sebagai penyelamat keadaan layaknya seorang pahlawan. 
Target minimal yang mereka kerjakan tak lebih hanya untuk membuat posisi tawar 
dengan harapan Pak Jokowi mau bagi-bagi kekuasaan dalam pemerintahan mendatang.
Di sisi lain, untuk membatalkan rencana digelarnya pertunjukan wayang, 
sesungguhnya juga pekerjaan yang sangat mudah karena jejak kejahatan yang 
mereka buat sudah lama diketahui publik. Untuk melumpuhkan penjahat, seorang 
polisi tidak perlu menembak kepala penjahat, tapi cukup dengan menembak kaki 
bagian bawah, seperti jari kelingking sekalipun.
Sementara itu, pemantik yang bisa menyulut terjadinya kerusuhan sosial atau 
kondisi chaos dalam waktu dekat ialah bentrokan antarmassa pendukung paslon 
pada saat pengumuman perolehan suara oleh KPU pada 22 Mei 2019.
Untuk itu, seruan pengerahan massa pendukung dari salah satu paslon tidak perlu 
diimbangi pendukung paslon lainnya. Sing waras ngalah, begitu pesan leluhur 
kita dari Jawa.

Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone

Kirim email ke