09 March 2014 
 M.H. Lukman, Hikayat Seorang Anggota Dewan 
http://akubuku.blogspot.com/2014/03/mh-lukman-hikayat-seorang-anggota-dewan.html
 

 :: gus muh 

 
http://4.bp.blogspot.com/-eapuQcnkIaI/U0IDi8GxlQI/AAAAAAAAAho/cHqFe-oESRs/s1600/PB120090+-+Copy.jpg
Dengan anugerah berupa akal dan hati yang diberi Tuhan di bumi Indonesia, 
makilah orang-orang komunis sebagai dajjal di atas dajjal. Jangan sia-siakan 
umur dengan toleransi yang longgar agar paham orang-orang komunis yang tak 
bertuhan itu dapat hidup kembali di bumi Pancasila; walau mereka keluarga kiai 
haji dan menjalankan wiridan tiap hari. 

Tak cukup disembelih, bahkan ketika mati tanpa kubur dan jasad pun orang-orang 
komunis masih perlu dituntut pertanggungjawabannya. Tanggung jawab apa? Mungkin 
terbalik. Lebih tepatnya ucapan terima kasih yang berzirah tuntutan 
pertanggungjawaban karena telah menjadi tumbal untuk berdirinya sebuah orde 
yang dipanggul oleh serdadu-serdadu yang tak pernah memenangi perang.

Orang-orang komunis itu semacam domba kurban yang dikirimkan Tuhan dalam jumlah 
massal kepada Ibrahim untuk menggantikan batang leher Ismail. Dan tiap tahun, 
di sini, oleh pewaris kapak Ibrahim, domba-domba komunis itu dijadikan kurban 
dengan cara apa saja.

Tapi tahukah apa itu “moral komunis”? Salah satu “moral komunis” yang 
dijalankan sehari-sehari oleh yang berteguh dengannya adalah membela manusia 
dan menjaga keluarga dari nafsu bermewah-mewahan.



 
http://4.bp.blogspot.com/-FchE4a2ykXY/UxgQ_X3dHLI/AAAAAAAAAg0/IJKhx7Odb4M/s1600/MH+Lukman,+PKI+WEB.jpg
Soal “moral komunis” itu mari menyigi kehidupan Lukman. Mohammad Hatta Lukman 
nama lengkapnya. Sebelum Partai Komunis Indonesia masuk dalam 4 besar Pemilu 
yang diselenggarakan 29 September 1955, Lukman adalah tokoh PKI setelah Aidit, 
Alimin, Sudisman, dan Njoto. Tapi di antara empat nama itu, Lukman adalah 
pewaris utama “moral Digoel”. 

Lukman-lah satu-satunya dari anggota politbiro yang mendapatkan ajaran langsung 
dari Boven Digoel, sebuah “universitas” yang “menggembleng” moral komunis 
angkatan pertama di Hollandia untuk mau sujud pada kolonialisme atau memilih 
tetap tegak menantang dengan risiko di-“Tanah Tinggi”-kan. Di “Tanah Tinggi” 
Digoel, Lukman menghabiskan masa remajanya (sejak umur 9 tahun) bersama 
keluarga besarnya yang notabene “keluarga haji” dari Tegal.

Dari Digoel, selain mendapatkan nama “Mohammad Hatta”—karena kekaguman Kiai 
Moechlas, ayah Lukman, pada sosok hoofdredacteur “Perhimpoenan Indonesia” dan 
“Daulat Ra’jat” yang juga kena interniran—Lukman juga mendapatkan “moral 
komunis”. Bahwa, orang komunis setia melawan kekuatan apa pun yang menghisap 
manusia dan menjaga moral keluarganya untuk tak hidup bermewan-mewah. 

Dari Haji Moechlas yang masuk Digoel pada 1929, Lukman mendapat pandangan bahwa 
agama tak menghalangi seorang Muslim menjadi komunis karena agama tidak 
menghalangi seseorang berkomitmen dan telibat dalam perjuangan kaum miskin.

Menguji “Moral Komunis” Lukman

“Moral komunis” M.H. Lukman diuji saat ia menjadi anggota parlemen dengan 
jabatan tertinggi Wakil Ketua DPR Gotong Royong dan Menteri Negara (tanpa 
portofolio). Jabatan mentereng itu mestinya membuka lebar-lebar seluruh pintu 
kemewahan bagi Lukman beserta sanak-kadangnya yang sepanjang hidupnya didera 
derita di atas derita.

Tapi Lukman teguh menapaki “jalan sederhana”. Kesaksian Tatiana Lukman, putri 
sulung M.H. Lukman, di buku yang diterbitkan secara indie pada 2008, Panta 
Rhei: Tidak Ada Pengorbanan yang Sia-sia Air Sungai Digul Mengalir Terus!, 
menunjukkan bagaimana “moral komunis” itu dijalankan orang kedua di politbiro 
PKI dan sekaligus seorang anggota DPR dan Menteri Negara.

Sebagai orang kedua di PKI setelah Aidit, “pasrah” saja Lukman hidup 
bertumpukan seperti dendeng dijemur dalam satu rumah kontrakan dengan dua kamar 
tidur. Rumah di Gang Buntu, Pasar Genjing, Jakarta itu berlantai semen dan 
menimba air dari sumur. Jika hujan, jalanan becek dan jeblok. Lukman dan Siti 
Niswati serta lima orang anaknya tidur dalam satu kamar, sementara kamar 
lainnya untuk adik iparnya. Rumah itu menjadi-jadi sesaknya ketika “alumnus” 
Tanah Tinggi Digoel yang sekaligus ayahanda Lukman, Haji Moechlas, datang dari 
Tegal. Haji keras kepala ini tewas dibunuh gerombolan DI/TII di Tegal pada 6 
Januari 1960.

Saat Pemilu 1955 tiba, Lukman pindah kontrakan di Jl Percetakan Negara V. 
Lumayan, lantainya sudah berubin dan menggunakan air ledeng. Barulah saat 
mengontrak di Kepu Timur, Kemayoran, Lukman memiliki ruang kerja dan 
perpustakaan kecil, namun ketambahan anggota keluarga, yakni adik perempuan 
Lukman. Jadi, tetap saja sesak.

Celana si Anggota Dewan Dijual untuk Ayam

Sampai di sini, setelah sekian lama menjadi Wakil Ketua DPR dan menjadi Menteri 
Negara, peningkatan ekonomi keluarga Lukman berjalan “stagnan”. Sampai-sampai, 
Siti Niswati, istrinya, harus tiap hari belanja ke pasar. 

Lantaran dongkolnya, nyonya menteri dan dewan ini menantang Lukman: “Ayo, coba 
kauputar uang belanja supaya bisa cukup sebulan! Kepingin aku tahu! Dikiranya 
gampang apa? Biar aku yang pergi rapat ke DPR!”

Keluarga Lukman sarapan pagi dengan singkong dan ubi goreng. Jika dari pasar si 
nyonya menteri membawa kue lapis, masing-masing anak dijatah hanya dapat 
sepotong. Kadang Lukman tak kebagian jajanan pasar itu. Jika ada daging ayam di 
meja makan, maka dipastikan ada benda berharga dalam keluarga itu yang dijual 
diam-diam oleh Siti Niswati.

Tersebutlah, saat berangkat kerja, Lukman mencari-cari celana panjang 
drill-nya. “Di mana celana panjangku?” tanya Lukman kepada istrinya. “Celana 
panjang yang mana?” istrinya balik nanya. “Yang drill itu, yang biasa aku 
pakai,” jelas Lukman. “Oh, yang itu? Lha, beberapa hari yang lalu, ingat nggak 
kita makan apa?” sahut istrinya. “Kita makan apa ya … oh, iya, kalau tak salah, 
kita makan ayam. Tapi apa hubungannya dengan celana panjangku?” jawab Lukman 
keheranan. “Lha, itulah celananmu,” jawaban istrinya meluncur deras. “Tapi kan 
itu celana masih baik sekali,” Lukman protes. “Lha, kalau sudah jelek ya, nggak 
bisa ditukar dengan ayam, dong! Kau kok aneh!” sahut istrinya. Lukman hanya 
menghela napas dan mencari celananya yang lain dan berangkat.

Suatu hari bagian rumah tangga DPR memeriksa rumah anggota menteri. Termasuk 
rumah (kontrakan) Lukman yang keempat di Menteng. Setelah menyusuri seluruh 
ruangan, kesimpulan tim inspeksi: rumah itu sama sekali tak layak bagi seorang 
menteri negara. Istri Lukman menjawab tim inspeksi itu bahwa mereka sudah 
sangat terbiasa dengan kehidupan tanpa perabotan karena memang Lukman menolak 
masuknya barang-barang inventaris ke rumahnya.

Pada akhirnya Lukman menyerah lantaran rumahnya kedatangan banyak “tamu negara” 
seperti istri duta besar dan Perdana Menteri Soebandrio. Lukman mengizinkan 
negara memasukkan lemari es, televisi, telepon, satu stel cangkir dan piring 
porselen, satu set meja makan dan meja kaca untuk rias ke rumah kontrakannya 
itu. 

Tapi M.H. Lukman memberi “garis api” kepada anggota keluarganya: “Tidak satu 
pun dari barang-barang ini milik kita. Semua milik rakyat. Kita hanya dipinjami 
dan boleh memakainya. Kalau suatu hari harus pergi dari rumah ini, semua harus 
kita tinggalkan. Kita pergi dengan baju yang melekat di badan kita.”

Benar, keluarga Lukman bingung apa yang mesti diisi di lemari es selain air. 
Jika ada kue, itu jatah jikalau ada “tamu agung” bertandang. Makanya ketika 
Siti Niswati menjamu “tamu agung”, Tatiana dan keempat adiknya hanya mengintip 
penganan yang disajikan ibunya. Kue yang tak pernah mereka cicipi.

Sekali Makan di Restoran untuk Selamanya 

alam sejarah keluarga anggota dewan dan menteri ini, Tatiana merengek-rengek 
ingin makan di restoran sebagaimana teman-teman sebayanya dari “Keluarga 
Menteng”. Ini jawaban Lukman: “Oh, kalian mau makan di restoran? Yah boleh 
saja. Minta gih sama ibu, biar ibu bikinkan makanan, dan nanti kalian bawa ke 
restoran, kemudian kalian bawa ke restoran, kemudian kalian makan di situ.”

Lantaran lelah dan bosan mendengar rengekan anaknya yang kebelet makan di 
restoran, si Wakil Ketua DPR dan Menteri Negara ini luluh juga. Ia memberi uang 
untuk membeli 3 mangkok bakso di restoran yang terletak di jalan sabang. Kelima 
anak tokoh teras PKI mengelilingi 3 mangkok bakmi bakso dan dua mangkok kosong 
untuk membagi jatah supaya rata lima orang. 

Kelima anak itu lupa bahwa mereka hanya diberi Lukman uang untuk makan, dan 
bukan untuk minum. Saat adik Tatiana kepedasan, pemilik restoran bertanya, 
“Neng, adiknya kepedasan. Mau pesan teh es?” Tatiana menggeleng. Ia menyuruh 
adiknya cepat-cepat menghabiskan makan hingga sendok terakhir dan 
berlari-larian pulang ke rumah untuk minum.

Sepengakuan Tatiana, itulah pengalaman keluarga mereka makan di restoran dan 
tak pernah lagi melakukannya. Semuanya harus makan di rumah. Dan istri Lukman 
memasak untuk 16 mulut setiap hari dengan hanya panci yang cukup untuk memasak 
kebutuhan 3 mulut. Makanya, secara terang-terangan istri menteri ini memelihara 
ayam di pekarangan sebelah kiri rumah mereka dan menjual koran. Ternak ayam 
gagal lantaran terlalu rutin dipotong untuk memenuhi protein keluarga komunis 
ini.

Untuk soal mobil, Menteri M.H. Lukman diberi mobil dinas bernomor B44 dan 
berbendera merah putih dan seorang sopir. Suatu hari si sopir yang bernama Djen 
memanggil Tatiana untuk diajarkan menyetir. Maksud si sopir baik, jika 
sewaktu-waktu dia berhalangan, Tatiana bisa mengantar bapaknya untuk dinas. 

Tapi Lukman akhirnya tahu saat Tatiana diajak sopir mengurus rijbewijs. Lukman 
gusar sekali. “Memangnya kamu anak borjuis! Mobil itu bukan mobil kita, mobil 
rakyat!” bentak Lukman. Lukman ingin mengatakan anak seorang Menteri Komunis 
yang menyetir—apalagi dengan inventaris negara—memberi contoh yang tak baik 
pada Rakyat.

Satu-satunya cara Lukman mendekatkan diri kepada anak-anaknya bukan menghadiahi 
mereka barang-barang mewah, melainkan meluangkan waktunya yang sibuk mengurus 
partai, kerja dewan, dan urusan menteri. Caranya: mengajak kelima anaknya 
gantian main ping pong di hari minggu. Dilanjutkan dengan bermain kartu 
bersama-sama.

Dari cerita itu, tampaknya “moral komunis” yang dijalankan petinggi komunis di 
Indonesia ini berjalan cukup baik. Namun, moral seperti ini omong-kosong di 
hadapan manusia-manusia penggenggam bedil dan laskar pemegang kapak Ibrahim. 

Lukman membawa “moral komunis” yang dipegangnya secara teguh, baik sebagai 
anggota PKI, anggota DPR, dan menteri, ke dalam “jalan mati”. Selain Njoto, 
adalah M.H. Lukman dari kelima anggota politbiro yang tak pernah diketahui di 
mana dibunuh dan di mana jasadnya dicampakkan.

Sebut saja bahwa Mohammad Hatta (M.H.) Lukman telah “moksa”. Sementara anak 
sulungnya menjadi eksil sejak 1965 untuk selamanya. Tatiana gentayangan di 
negeri orang, dari Tiongkok hingga Kuba, sebelum menetap di Belanda. Panta Rhei 
yang ditulis Tatiana adalah buku indie yang berharga untuk menguak “moral 
komunis” yang dipraktikkan Lukman dengan konsekuen.



 

 

 

Kirim email ke