https://indonesiana.tempo.co/read/107680/2017/02/03/ajat.jurnalis/manuver-sby-malah-jadi-senjata-makan-tuan

UMAT 03 FEBRUARI 2017 20:45 WIB 

Manuver SBY Malah Jadi Senjata Makan Tuan


Menyimak berita tentang Presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, belakangan 
ini, bahkan jauh hari setelah lengser keprabon, seringkali menimbulkan 
tandatanya besar dalam benak. Betapa tidak, sikap dan pernyataannya begitu 
kental dengan kontroversi.

Seperti yang terjadi sekarang ini. Berawal di pengadilan, dalam persidangan 
kasus penistaan agama dengan terdakwa Ahok. Saat itu, tim pengacara Ahok 
mengaku memiliki bukti soal komunikasi antara SBY dan Ketua Umum MUI, Ma’ruf 
Amin yang dihadirkan sebagai saksi.

"Apakah pada hari Kamis, sebelum bertemu paslon (pasangan calon) nomor satu 
pada hari Jumat, ada telepon dari Pak SBY pukul 10.16 WIB yang menyatakan, 
pertama, mohon diatur pertemuan dengan Agus dan Sylvi bisa diterima di kantor 
PBNU. Kedua, minta segera dikeluarkan fatwa tentang penistaan agama?" tanya 
Humprey Djemat, salah satu pengacara Ahok kepada Ma’ruf Amin.

Sontak SBY pun bereaksi. Pernyataan tim pengacara Ahok tersebut menimbulkan 
dugaan adanya penyadapan percakapan antara SBY dengan Ma’ruf Amin. Ia meminta 
aparat penegak hukum dan Presiden Jokowi bersikap dengan masalah itu. 
Bagaimanapun, cetusnya, tindakan penyadapan tanpa adanya izin pengadilan 
sebagai tindakan ilegal dan kejahatan serius.

Menilik reaksi SBY, publik melihatnya seperti seorang kakek yang kebakaran 
jenggot saja tampaknya. Presiden keenam itu sama sekali tidak tabayyun, atawa 
mengklarifikasinya kepada pihak yang mulai melemparkan permasalahannya, yaitu 
Ahok dan tim pengacaranya. SBY malah langsung bicara di depan publik. Berseru 
kepada Polri, Kejaksaan, dan Presiden supaya segera mengambil tindakan.

Bahkan jauh berbeda dengan reaksinya tempo hari saat beredar isu penyadapan 
yang dilakukan pihak intelejen Australia.

Bagaimanapun sikap SBY yang seperti itu, selain justru menimbulkan kegaduhan, 
publik pun menilai kalau Ketua Umum Partai Demokrat ini seolah-olah sedang 
menelanjangi dirinya sendiri lagi. Watak dan karakter seorang SBY yang 
sesungguhnya itu semakin tampak jelas, ya seperti begitulah.

Begitulah  memang sikap SBY dalam menyikapi sesuatu permasalahan. Tidak saja 
masalah yang menyangkut pribadinya, melainkan juga jika berpendapat terhadap 
persoalan yang timbul di negeri ini secara umum. Kalau tidak merasa prihatin 
dan sedang teraniaya, maka kadangkala diapun bersikap menggurui, seolah 
menunjukkan dirinya sebagai salah seorang Presiden yang bisa terpilih dalam dua 
periode.

Sehingga sudah tak aneh lagi dengan celetukan orang yang mengatakan SBY tampak 
begitu sensitif, dan galau, bak seorang wanita yang akan memasuki masa 
menopause saja layaknya.  Tidak menutup kemungkinan bagi orang yang memiliki 
perasaan mudah jatuh kasihan, tanpa reserve lagi akan mudah pula untuk 
bersimpati melihatnya.

Apabila kita membuka kembali catatan lama, bagaimana SBY mampu merebut dukungan 
suara terbanyak di Pilpres 2004 lalu, salah satu faktor yang menguntungkannya 
adalah karena banyak rakyat yang merasa simpati terhadapnya. Kita ingat, ketika 
itu SBY menjadi media darling, dan dianggap sebagai sosok yang teraniaya karena 
perlakuan Megawati. Sebagai Presiden yang sedang berkuasa, sementara SBY 
sendiri sebagai punggawa dalam kabinet yang dipimpin putri Bung Karno itu, SBY 
dianggap sebagai anak buah yang tidak setia, bahkan menusuk dari belakang, 
karena ketahuan akan ikut bertarung dalam Pilpres 2004, sekaligus akan jadi 
pesaingnya. Maka Megawati pun dengan kekuasaannya, seakan mempersempit ruang 
gerak SBY. Dan karena itu pula Megawati dianggap publik sedang membuat SBY 
teraniaya.

Sebagaimana watak bangsa Indonesia pada umumnya, mudah bersimpati terhadap hal 
yang berbau ketidakadilan, mudah jatuh kasihan terhadap korban 
kesewenang-wenangan, maka dalam kasus yang terjadi pada SBY saat itu pun 
berlaku juga. Megawati dikalahkan, dan SBY mendapat suara terbanyak di antara 
para kontestan Pilpres 2004.

Sehingga saat ini pun publik banyak menarik kesimpulan, sikap SBY yang seperti 
sedang galau gundah-gulana, karena prihatin dengan fitnah yang menimpa dirinya, 
termasuk dengan perasaan ada pihak yang telah menerobos ruang privasinya, 
dengan menyadap telponnya, adalah salah satu trik Presiden keenam ini yang 
sedang mencoba untuk menarik simpati khalayak. Atawa paling tidak, mungkin juga 
sedang melakukan uji kasus, apakah masih seperti 2004 dan 2009  -  masih banyak 
rakyat yang bersimpati pada dirinya.

Entahlah. Masalah itu pun perlu dikaji ulang kembali. Atawa paling tidak ada 
survey yang obyektif untuk mengetahuinya secara gamblang dan jelas.

Akan tetapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apa pula motivasi  SBY 
bersikap demikian. Bukankah suatu hal yang mustahil kalau dirinya hendak ikut 
bertarung kembali di Pilpres 2019, sebagai calon Presiden, karena peraturan 
perundang-undangan terkait hal itu sudah jelas tidak memperbolehkannya. Kecuali 
mungkin saja kalau duduk sebagai calon wakil Presiden misalnya (apa mau mantan 
Presiden jadi calon wakil Presiden?), atawa mengusung sanak keluarga, istri 
atau anaknya, itu lain pula persoalannya.

Jika dugaan itu benar adanya, maka tak salah lagi seorang SBY itu termasuk 
orang yang haus kekuasaan. Seperti bunyi pepatah lama, semakin banyak meminum 
air laut, maka kian haus jadinya seakan berlaku pada sosok yang satu ini. 
Sebagaimana analisa banyak orang, bahkan dengan diusungnya AHY sebagai cagub 
dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 ini, semata-mata hanyalah sebagai batu loncatan 
untuk digadang-gadang dalam pertarungan Pilpres 2019 mendatang.

Hanya saja dengan cara melempar isu hoax, penistaan, juga penyadapan yang 
populer sekarang ini, publik bukannya merasa simpati seperti dahulu lagi. 
Justru sebaliknya, publik malah mencemooh, mentertawakannya. Tak sedikit pula 
yang mem-bully-nya. Malahan tak berlebihan jika ada orang yang menganggapnya 
sedang terkena fobia. Ada juga orang yang mengira SBY terkena post-power 
syndrome, atawa yang lebih lugas lagi mengatakan memang dia itu orangnya lebay.

Bagaimanapun  situasi dan kondisi saat ini, jauh berbeda dengan 2004 lalu 
memang. Mata publik bisa jadi sudah mampu membedakan antara kebenaran sejati 
dengan kepalsuan yang dibalut kebenaran. Sehingga mereka tak gampang untuk 
dibohongi lagi. Salah satu faktanya, perolehan suara partai besutannya, partai 
Demokrat, pada Pemilu 2014 lalu tidak signifikan lagi, alias tergilas oleh 
partai pendatang baru. ***

Kirim email ke