https://kolom.tempo.co/read/1266439/masa-depan-suram-demokrasi-kita


*Masa Depan Suram Demokrasi Kita*

Oleh :
*Umbu TW Pariangu*

Kamis, 31 Oktober 2019 07:30 WIB



<https://statik.tempo.co/data/2019/10/23/id_883033/883033_720.jpg>*Presiden
Joko Widodo menyerahkan petikan keputusan kepada calon Menteri Pertahanan
Prabowo Subianto (kiri) dalam rangkaian pelantikan jajaran menteri Kabinet
Indonesia Maju di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu 23 Oktober 2019. ANTARA
FOTO/Puspa Perwitasari*


*Umbu TW Pariangu*
*Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang*

Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, mantan rival Joko Widodo dalam
pemilihan presiden 2019, akhirnya terpilih menjadi Menteri Pertahanan pada
Kabinet Indonesia Maju. Harapan agar Gerindra berumur panjang sebagai
"partai oposan" dalam konstelasi politik nasional pun kandas. Gerindra akan
berkoalisi dengan lima partai lain dalam gerbong pemerintah untuk
mengafirmasi seluruh agenda dan program kerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf
Amin selama lima tahun ke depan. Ini bisa menjadi suplemen dalam proses
rekonsiliasi politik. Namun, di sisi lain, ia bisa menjadi "duri dalam
daging" demokrasi kita.

Scott Mainwaring (1993) mengingatkan bahwa hanya negara yang menganut
sistem dwipartai yang mampu mengawinkan presidensialisme dengan demokrasi.
Hal tersebut dia nyatakan setelah mengobservasi 31 negara, yang terbukti
mampu mempertahankan demokrasinya pada 1967-1982 dengan memberlakukan
sistem dua partai.

Mainwaring mau mengatakan bahwa presidensialisme dengan sistem multipartai
tampaknya kurang bisa mengakomodasi determinasi kekuasaan eksekutif. Dalam
kondisi tertentu, hak prerogatif presiden ternyata bisa "digembosi"
superioritas fraksi di parlemen yang bisa sesekali menarik diri dari
dukungan politiknya terhadap presiden. Ini bisa dilihat pada era
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang seakan-akan "tidak
berdaya" menghadapi sikap Partai Keadilan Sosial yang di satu kaki bersama
pemerintah, tapi di sisi lain berlagak oposan dalam menyikapi kebijakan SBY..


Kasus itu semakin memperoleh kaca pembesar kekhawatiran kita manakala
posisi strategis di Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan
Rakyat sudah dikuasai oleh partai pendukung pemerintah. Kini hanya tersisa
PKS sebagai oposisi. Memang masih ada Partai Amanat Nasional dan Demokrat
yang juga tidak menyertakan kadernya di kabinet. Namun kedua partai ini
tidak secara tegas menyatakan posisinya, selain mengatakan mereka akan
menjadi "mitra kritis" pemerintah.

Memang, rekonsiliasi politik pasca-pemilihan presiden dibutuhkan untuk
meredam ekses rivalitas politik. Selain itu, infiltrasi gangguan terhadap
eksekusi program-program pemerintah bisa dieliminasi, sehingga sasaran
kebijakan presiden bisa tercapai dengan baik. Namun yang dikhawatirkan
ketika bangunan politik dan kebijakan kita menutup ruang kontrol atau
kritik, semangat menjaga dan melindungi kekuasaan dan pemerintahan dari
kooptasi kekuasaan yang cenderung korup akan tereduksi. Dengan kata lain,
akan terjadi kelangkaan checks and balances dalam konstelasi politik.

Sejatinya hal tersebut secara implisit sudah diingatkan oleh Acemoglu dan
Robinson dalam The Narrow Corridor: States, Societies, and the Fate of
Liberty (2019). Intinya, suatu pemerintahan yang demokratis dan kuat hanya
bisa dibangun dalam suatu ekuilibrium peran konstruktif serta konsolidatif
antara negara dan masyarakat. Negara harus bisa memainkan rasionalitasnya
sebagai instrumen (demokrasi) yang inklusif, menjadi ruang yang terbuka
bagi segala macam kekuatan oponen agar terjadi kolaborasi yang sehat dalam
mengelola kekuasaan. Pada saat yang sama, masyarakat juga harus tumbuh
dalam kultur kedewasaan, membangun sikap kritis sebagai tanggung jawab
moral kontinumnya dalam memberikan masukan sekaligus kontrol terhadap
jalannya pemerintahan.

Jika salah satunya lemah, entah negara dengan semua aktor politiknya atau
masyarakat (sipil), akan muncul paradoks kekuasaan yang ada kemungkinan
besar akan memagut efektivitas jalannya mesin demokrasi itu sendiri. Pada
konteks inilah kita seakan-akan skeptis bagaimana pembangunan demokrasi ke
depan dikelola dengan mengartifisialkan dukungan dan stabilitas politik
semaksimal mungkin, persis di tengah "nihilnya" kekuatan watch dog
kekuasaan.

Fenomena gerakan ekstra parlementer-yang sebagian menjurus anarkistis-dalam
menyikapi pengesahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa
waktu lalu sudah memperlihatkan dengan jelas betapa "laparnya" masyarakat,
termasuk mahasiswa, terhadap kehadiran ruang-ruang deliberasi yang
diharapkan bisa memfasilitasi semua keresahan dan protes sosial. Terlebih
ketika kekuasaan tengah diapit oleh pengaruh dan lobi-lobi oligark yang
berkepentingan untuk memobilisasi tekanan kepentingannya terhadap kerja
pemerintah.

Dalam tekanan seperti itu, sulit untuk optimistis terhadap kerja pemerintah
dalam memenangkan kehendak dan kepentingan rakyat. Yang ada mungkin
sebaliknya, semacam tribalisasi suara rakyat untuk melegitimasi
keputusan-keputusan politik yang bias kepentingan karena suara kritis
rakyat tidak lagi memperoleh tempat memadai. Tidak ada yang menjamin
"kohabitasi politik" di gerbong kekuasaan selama lima tahun ke depan akan
luput dari "duri dalam daging". Apalagi dengan cacat bawaan sikap elite
politik yang cenderung suka bersembunyi dalam selimut pragmatismenya:
sekadar meraih kue kekuasaan.

Jangan sampai skeptisisme Gaetano Mosca (1858-1941) benar bahwa demokrasi
dalam makna yang substantif kerap kali hanya halusinasi karena pergantian
pemerintah sekadar pergantian elite yang satu setelah mengalahkan elite
yang lain. Artinya, tidak ada warisan nilai ideologis yang dihasilkan dari
suatu proses demokrasi selain pertukaran atau tawar-menawar kekuasaan.

Kirim email ke