Mengukur Kerentanan Sektor Rumah Tangga

| 
| 
|  | 
Mengukur Kerentanan Sektor Rumah Tangga | Investor Daily

Dari serangkaian bukti empiris, kerentanan sektor rumah tangga ditentukan oleh 
seberapa besar beban utangnya (fi...
 |

 |

 |




Oleh Ardhienus | Selasa, 13 Maret 2018 | 10:11



Ardhienus, Bekerja di DSSK, Bank Indonesia. 


Dalam konteks stabilitas sistem keuangan (financial stability), memahami 
kerentanan sektor rumah tangga terhadap shocks amat penting. Ada beberapa 
alasannya. Pertama, sektor rumah tangga (households) yang merupakan salah satu 
elemen sistem

keuangan memiliki keterkaitan yang erat (interconnectedness) dengan elemen 
sistem keuangan lainnya, yakni institusi keuangan dan korporasi.

 

Oleh karena keterkaitan itulah, maka kerentanan (vulnerabilities) pada sektor 
rumah tangga dapat mengancam kestabilan sistem keuangan (Ampudia et al., 2016).

 

Kedua, ada tendensi utang sektor rumah tangga meningkat. Padahal berbagai studi 
empiris menunjukkan bahwa krisis keuangan dapat dipicu dari tingginya utang 
sektor rumah tangga tersebut. Misalnya, krisis Asia di tahun 1997-1998 
didahului oleh peningkatan utang sektor rumah tangga secara signifikan seperti 
yang terjadi pada negara Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia (Buyukkarabacak 
dan Valev, 2010).

 

Begitu juga dengan krisis subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat 
tahun 2008. Krisis ini sejatinya dipicu oleh kegagalan sektor rumah tangga 
dalam membayar utang KPR (mortgage) ketika suku bunga naik.

 

Tendensi yang sama juga terjadi di Indonesia. Sebagai gambaran saja bahwa pada 
tahun 2004 rasio utang sektor rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) 
domestik masih sangat rendah, bahkan belum sampai 5%. Namun pada triwulan 
III-2017, rasio utang terhadap PDB telah meningkat menjadi 17,07%.

 

Selain itu, porsi kredit sektor rumah tangga terhadap total kredit juga 
meningkat. Fenomena ini juga dialami oleh banyak negara, baik negara maju 
maupun berkembang. Hanya saja, pada Negara maju, utang sektor rumah tangga 
mendominasi kredit perbankan. Sebaliknya, pada negara berkembang masih 
terbilang relatif rendah.

 

Untuk perbankan Indonesia sendiri, kredit kepada sektor rumah tangga baru 
mencapai 23,05% dari total kredit per Desember 2017, sedikit meningkat 
dibandingkan Desember 2016 yang mencapai 22,21%.

 

Ketiga, dalam perspektif yang lebih luas, konsumsi sektor rumah tangga ternyata 
berperan besar dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi domestik (PDB). 
Berdasarkan data PDB Triwulan IV-2017, kontribusi konsumsi sektor rumah tangga 
dalam perhitungan PDB masih dominan, yaitu 56,13% terhadap PDB. Kontribusi 
tersebut menurun dari Triwulan IV-2016 (56,56%). Penurunan ini sebagai imbas 
dari konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh sebesar 4,97% (yoy) atau menurun 
dibanding Triwulan IV-2016 (4,99%).

 

Ukuran Kerentanan

Dari serangkaian bukti empiris, kerentanan sektor rumah tangga ditentukan oleh 
seberapa besar beban utangnya (financial leverage). Makin besar utangnya, 
berarti sektor rumah tangga makin rentan terhadap shock, khususnya jenis shocks 
yang berupa suku bunga. Studi Mian dan Sufi (2009), dan Andersen et al. (2016) 
meneguhkan hal ini.

 

Mereka menyimpulkan bahwa utang sektor rumah tangga yang tinggi merupakan 
pemicu atau faktor utama dalam menjelaskan krisis keuangan global 2008/2009. 
Bahkan studi Buyukkarabacak dan Valev (2010) secara spesifik membuktikan bahwa 
pertumbuhan kredit sector rumah tangga dapat digunakan sebagai indikator 
penting dalam memprediksi krisis perbankan ketimbang kredit korporasi.

 

Oleh karena itu, untuk mengukur kerentanan sektor rumah tangga, selain 
menggunakan rasio utang sektor rumah tangga terhadap PDB, juga digunakan 
beberapa indicator lainnya yang umum digunakan. Pertama, debt to income ratio 
(DTI). Rasio ini dihitung dari jumlah total utang yang dimiliki dibagi dengan 
pendapatan. Rasio ini berguna untuk mengukur kemampuan debitur dalam membayar 
seluruh utangnya.

 

Semakin besar rasio, maka semakin besar pula porsi pendapatan debitur untuk 
melunasi seluruh utangnya (makin rentan).

 

Kedua, debt to service ratio (DSR), yakni jumlah angsuran pokok dan bunga 
dibagi dengan total pendapatan. Indikator ini digunakan untuk mengukur seberapa 
besar kemampuan debitur dalam memenuhi kewajiban angsurannya. Semakin besar 
rasio DSR, maka semakin besar pula kerentanannya. Artinya makin besar beban 
kewajiban angsuran yang harus ditanggungnya. Begitu juga sebaliknya.

 

Ketiga, financial margin, yakni pendapatan dikurangi biaya hidup (living cost) 
dan angsuran utang. Bila menghasilkan angka negatif, maka sektor rumah tangga 
tersebut dikategorikan dalam kondisi rentan. Rasio ini memiliki korelasi yang 
positif dengan tingkat kegagalan dalam melunasi kewajibannya (Vatne, 2006). 
Untuk itu, indikator financial margin dapat digunakan sebagai indikator deteksi 
dini (early warning indicators) untuk kredit bermasalah.

 

Untuk menguatkan analisis kerentanan sektor rumah tangga, selain menggunakan 
data-data tersebut di atas, kita juga dapat menggunakan hasil survei konsumen 
yang dilakukan Bank Indonesia (BI) secara rutin setiap bulannya. Survei ini 
bertujuan untuk mengetahui keyakinan konsumen mengenai kondisi ekonomi saat ini 
dan ekspektasi terhadap kondisi perekonomian pada enam bulan mendatang. Salah 
satu bahasan yang disajikan dalam survey tersebut mengenai kondisi keuangan 
konsumen yang mencakup perkembangan rasio DSR, perkiraan jumlah cicilan utang 
dan konsumsi.

 

Lalu bagaimana dengan perkembangan kondisi utang sektor rumah tangga di 
perbankan domestik. Mari kita lihat data dari Statistik Sistem Keuangan 
Indonesia (SSKI) yang dikeluarkan BI. Berdasarkan SSKI tersebut, kredit sektor 
rumah tangga pada perbankan domestik posisi Desember 2017 telah mencapai Rp 
1..102,09 triliun, meningkat 12,42% (yoy) ketimbang Desember 2016 yang tumbuh 
sebesar 6,99% (yoy) atau menjadi Rp 980,34 triliun.

 

Pertumbuhan kredit tersebut terbilang masih relatif rendah meskipun sudah lewat 
dari satu digit dan melampaui pertumbuhan kredit agregat sebesar 8,35% (yoy). 
Sementara itu, kredit KPR yang cukup besar di kredit sektor rumah tangga tumbuh 
sedikit lebih rendah yaitu sebesar 10,53% (yoy). Sebagai catatan saja bahwa 
kredit KPR pernah tumbuh tinggi mencapai 43,91% (yoy) pada Juli 2012.

 

Seiring dengan adanya kerentanan pada sektor rumah tangga tersebut di atas dan 
dampaknya terhadap krisis keuangan, maka untuk mencegah dan memitigasi risiko 
yang timbul dari pertumbuhan utang sektor rumah tangga yang berlebihan, umumnya 
Bank Sentral menggunakan kebijakan makroprudensial melalui beragam instrumennya.

 

Misalnya, rasio DTI dan Loan to Value (LTV). Kebijakan ini bersifat targeted 
yaitu hanya menyasar pada sektor tertentu saja. Dalam hal ini sektor konsumsi.

 

Bank Indonesia sendiri menggunakan instrumen makroprudensial, khususnya yang 
terkait dengan kredit yakni LTV. Pada periode ekonomi yang ekspansi (boom), 
instrument ini diaplikasikan untuk menahan kuatnya permintaan domestic akan 
rumah yang didorong oleh ekspektasi harga rumah yang akan terus meningkat dan 
perilaku spekulasi di kalangan masyarakat. Namun saat ini, rasio LTV telah 
dilonggarkan BI sebanyak 2 kali yaitu pada Juni 2015 dan Agustus 2016 seiring 
dengan masih melemahnya pertumbuhan kredit KPR dan agregat.

 

Harapannya tentu agar ekonomi dapat bergerak, mengingat kredit KPR memiliki 
multiplier effect pada banyak industry lainnya seperti semen, keramik, besi, 
baja dan sebagainya.

 

Ardhienus, Bekerja di DSSK, Bank Indonesia.

Tulisan merupakan pendapat pribadi

Kirim email ke