https://www.jawapos.com/nasional/29/08/2019/menyusuri-calon-ibu-kota-baru-di-penajam-paser-utara-kaltim-1/



*Menyusuri Calon Ibu Kota Baru di Penajam Paser Utara, Kaltim (1)*

*Mulai Muncul Penjual Tanah Kavling*

NASIONAL <https://www.jawapos.com/nasional/>

29 Agustus 2019, 15:29:04 WIB



*JawaPos.com* – Presiden Jokowi telah memutuskan lokasi ibu kota baru.
Yakni, sebagian Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kartanegara.
Wartawan Jawa Pos *Bayu Putra* bersama *Kaltim Post* menelusuri daerah yang
masuk Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) itu. Berikut laporannya.

Mentari baru kembali ke peraduan ketika saya dan tim *Kaltim Post* tiba di
wilayah Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara
(PPU), Rabu (28/8).

Cahaya di rumah-rumah warga baru saja dinyalakan. Tak sampai 10 menit,
semua cahaya mendadak padam. Suasana gelap gulita. Ribuan bintang di langit
tak mampu menerangi. Terang hanya muncul dari lampu kendaraan yang sesekali
lewat menyilaukan mata.

Hampir sejam kami terkungkung dalam gelap sebelum akhirnya listrik menyala
lagi. “Di Sepaku sudah tidak lagi byar-pet. Kalaupun mati, hanya beberapa
menit,” klaim Camat Sepaku Risman Abdul enam jam sebelumnya, saat kami
temui di kantornya.

Kecamatan Sepaku adalah salah satu wilayah di Kabupaten PPU yang akan
menjadi tempat berdirinya ibu kota negara (IKN) baru. Selain Sepaku,
wilayah lainnya adalah Kecamatan Samboja di Kabupaten Kutai Kartanegara
(Kukar). Dua kecamatan itulah yang paling merepresentasikan keputusan
Presiden Joko Widodo tentang lokasi IKN.

GERBANG CALON IBU KOTA NEGARA: Simpang tiga Km 38 Jalan Soekarno-Hatta
dengan Jalan Negara (Jalan Sepaku-Samboja/ke arah tower) di Kecamatan
Samboja, Kabupaten Kutai Kartanagera. Jalan Negara merupakan satu-satunya
akses darat terdekat untuk mencapai Kecamatan Sepaku yang menjadi calon
lokasi ibu kota negara. Dari kota Balikpapan perlu waktu empat puluh lima
menit untuk mencapai simpang tersebut. (THOMAS PRIYANDOKO/ KALTIM POST)

Berangkat dari Gedung Biru *Kaltim Post* pukul 09.00 Wita, kami menempuh
jarak sekitar 70 km selama kurang lebih tiga jam. Termasuk mampir sarapan
di warung soto Lamongan yang sedap di jalur Balikpapan-Samarinda.

Di Kilometer 38, kami berbelok ke kiri. Selesai sudah episode jalan mulus
ala arteri utama. Kami dihadapkan pada kondisi jalan yang tidak menentu.
Beberapa puluh meter jalannya beraspal mulus. Lalu, berganti jalan aspal
yang rusak berat sepanjang puluhan meter. Begitu terus berganti-ganti.
Termasuk jalur yang baru saja dicor separo jalan. Ada pula jalanan cor yang
sudah mulus sepanjang beberapa km, berselang-seling dengan jalan yang rusak
berat.

Tidak lama setelah berbelok di Km 38, kami sempat dikejutkan oleh seekor
bekantan yang muncul tiba-tiba di tepi jalan. Namun, dia segera kembali
masuk hutan sebelum kami sempat mengambil gambar. Beberapa puluh meter
berikutnya, beberapa kera juga bermunculan di tepi jalan. Begitu tahu mobil
kami berhenti, mereka mendekat. Tampak bahwa kera-kera tersebut sudah
terbiasa berinteraksi dengan manusia.

Tulisan ini saya buat dalam kondisi terguncang-guncang di mobil dalam
perjalanan kembali ke Balikpapan. Wahyu Rizki, desainer perwajahan
halaman *Kaltim
Post* yang membawa kami, memang lihai menyetir. Kelihaiannya itu
benar-benar diuji dengan kondisi jalan yang tak menentu. Apalagi di waktu
malam dan tanpa pe­nerangan jalan sama sekali. Di sekeliling kami hanya ada
rumah penduduk yang tidak begitu banyak. Selebihnya hanya hutan atau
perkebunan kelapa sawit.

Selain kondisinya yang buruk, jalurnya naik turun dan berkelok. Khas
kawasan perbukitan. Sayang, medan berat itu saat ini adalah satu-satunya
jalur darat menuju IKN dari sisi PPU. Sesekali kami berpapasan dengan truk
molen pengangkut adonan semen yang hendak mengecor jalan. Bila berpapasan
di jalan cor yang baru terisi setengah, kami harus bergantian lewat.

Di luar itu semua, kontur geografis Kecamatan Sepaku memang elok. Meski di
beberapa titik ada bekas galian tambang atau penebangan hutan, saya tak
bisa untuk tidak nggumun alias kagum dengan panoramanya. Deretan lahan
sawit ditata apik di lahan-lahan transmigran maupun konsesi.

Gabungan antara Kecamatan Sepaku di PPU dan Samboja di Kukar lebih dari
cukup untuk menampung kebutuhan ibu kota baru. Sepaku memiliki luas 117.236
hektare dan Samboja 104.590 hektare. Untuk tahap awal, IKN hanya butuh
lahan 40 ribu hektare yang akan berkembang sampai 180 ribu hektare.

Hingga kemarin, Risman mengaku belum mendapat petunjuk atau informasi apa
pun dari pemda maupun pemerintah pusat soal lokasi. Khususnya koordinat
pasti lokasi ibu kota. Rencananya, akhir pekan ini dia dan camat Samboja
beserta seluruh kepala desa dan lurah akan dipanggil untuk mengikuti rakor
di Samarinda. Setelah itu, tim dari Badan Pertanahan Nasional Pusat dan
Provinsi Kaltim akan mengecek lokasinya.

Untuk saat ini, dia hanya bisa menebak-nebak lokasi utama yang dimaksud
Jokowi. “Saya memprediksi lokasinya di Kelurahan Semoi Dua,” jelasnya.
Kelurahan itu berbatasan langsung dengan Kukar. Desa tersebut memiliki luas
4.300 hektare.

Kecamatan Sepaku memiliki 2 SMA dan 3 SMK. Juga, memiliki 4 puskesmas induk
dan 1 puskesmas pembantu di setiap desa. Ada juga calon RS Pratama yang
saat ini belum beroperasi. Listrik mereka sudah terhubung dengan jaringan
dari Kalimantan Selatan (Kalsel). Problemnya hanya air. “Kalau kemarau
begini, warga mulai beli air,” tutur Risman.

Penduduk Kecamatan Sepaku berjumlah 36.311 jiwa yang tergabung dalam 11.300
KK. Sebagian besar di antara mereka merupakan para transmigran yang datang
dari Jawa secara bergelombang sejak 1975. Karena itu, tidak heran bila
komunikasi sehari-hari mereka juga menggunakan bahasa Jawa ngoko.

Saya sempat berbincang sejenak dengan pasangan transmigran generasi
pertama. Mursyidin, 86, dan Tuminem, 77, nama suami istri tersebut. “Kami
babat alas selama setahun. Pakai kapak, cangkul, dan arit,” terang
Mursyidin. “Setahun itu juga belum tuntas betul,” tambah Tuminem.

Bagaimana tidak. Saat itu setiap transmigran diberi hak milik atas tanah 2
hektare. Namun, tanahnya masih berupa hutan belantara. Berbagai pohon
tumbuh di kawasan tersebut, termasuk pohon ulin yang kayunya juga dikenal
dengan sebutan kayu besi karena saking kerasnya. Tidak mudah membabat alas
dengan peralatan seadanya kala itu.

Selama proses babat alas, mereka bergantung pada jatah hidup dari
pemerintah yang diberikan selama setahun. Selesai babat alas, pasangan asal
Pacitan, Jatim, itu mulai bercocok tanam. “*Nandur pantun, wong isone mung
pari* (menanam padi karena bisanya hanya padi, Red),” lanjut Mursyidin.
Selain padi, mereka menanam singkong. Sebagian dijual untuk membeli lauk.

Para transmigran juga menghadapi tantangan lain. Yakni, penyakit malaria.
Bersama 200 KK lainnya, mereka bergantian mengidap penyakit yang bisa
merenggut nyawa itu. “Yang kena bukan satu dua orang, tapi satu rumah kena
malaria semua,” kenang Mursyidin. Seiring waktu, fasilitas kesehatan
dibangun dan dengan cepat mendeteksi malaria. Tidak ada solusi atas wabah
malaria itu kecuali mengobati korban yang hidup dan memakamkan yang
meninggal.

Bertahun-tahun melawan malaria, kini Mursyidin dan para penduduk mengaku
sudah kebal. “Sekarang biasanya yang kena malaria itu pekerja pendatang
baru, mereka masuk hutan, lalu kena malaria,” tutur Muhammad Fathoni,
tetangga Mursyidin. Bahkan, sekadar memancing di empang pun bisa terjangkit
malaria.

Yang masih diwaspadai adalah penyakit kaki gajah. Gara-gara di salah satu
desa di wilayah Sepaku terjadi wabah filariasis lima tahun silam, warga
desa lainnya kena getahnya. Lima tahun belakangan, mereka diberi obat untuk
mencegah penyakit tersebut. Mereka diimbau mengonsumsinya agar tidak sampai
terjangkiti. Fathoni pun mengaku sudah bosan mengonsumsi obat itu. Beberapa
waktu belakangan dia tidak lagi mengonsumsinya.

Ketika saya mulai membicarakan ibu kota negara, raut wajah Mursyidin dan
Tuminem berubah. Mereka langsung semringah dan antusias. “Saya dikasih tahu
tetangga-tetangga. Juga nonton televisi waktu diumumkan presiden,” ucap
Tuminem. Mereka senang karena yakin akan ada dampak ekonomi bagi warga di
sekitar lokasi IKN.

Hanya, tidak bisa dimungkiri bahwa pembangunan IKN juga menimbulkan dampak
negatif. Saat berkeliling Kecamatan Sepaku, saya mendapati sebuah spanduk
berukuran 2 x 1 meter di tepi jalan di depan lahan sawit. Dibingkai dengan
kayu yang tampak masih baru dan ditancapkan ke tanah. Spanduk itu berisi
penawaran tanah kavling di tepi jalan negara, yang saat itu saya dan tim
Kaltim Post lalui. Munculnya permintaan tanah tersebut juga diakui Fathoni.

“Saya sudah ditelepon orang Jakarta, minta dicarikan tanah 3 hektare,”
tuturnya. Si penelepon hanya memintanya mencarikan tanah. Belum sampai
tahap negosiasi harga.

Risman juga tidak membantah hal itu. Yang bisa dia lakukan saat ini hanya
berupaya memagari. “Saya sudah minta lurah-lurah, kalau ada upaya-upaya
transaksi (tanah), jangan diadministrasikan,” ucapnya. Dia mengaku kerap
menyosialisasikan kepada masyarakat agar tidak melepas tanahnya dengan
alasan apa pun. Agar mereka tidak hanya menjadi penonton ketika ibu kota
baru nanti selesai dibangun.

Editor : Ilham Safutra

Reporter : */mia/c10/oni

Kirim email ke