Merobek Kafan Patung Tuban 
https://geotimes.co.id/kolom/sosial/merobek-kafan-patung-tuban/ 
 by Aan Anshori https://geotimes.co.id/author/aan-anshori/ Sunday, 20 August 
2017, 10:44
 

 
 Agustus tahun ini barangkali menjadi bulan paling kelabu bagi umat Khonghucu 
Indonesia. Simbol agama mereka, Patung Kuan Sing Tee Koen, tengah dirundung 
percobaan penutupan paksa oleh sejumlah ormas Islam, hingga membuat Pemerintah 
Kabupaten Tuban memutuskan untuk menutupinya dengan kain kafan putih.
 Dalam tradisi Islam-Sunni, putih adalah simbol kesucian sekaligus 
penyerahdirian (surender). Seperti halnya mayat, apa pun yang dikafani dianggap 
tidak lagi berkutik. Seluruh kendali telah bergeser ke kelompok mayoritas. 
Dalam konteks Tuban, patung tersebut telah dianggap seperti mayat. It is over, 
it’s dead. Nasibnya akan ditentukan oleh pertarungan politik dari Jakarta 
hingga Tuban.
 Polemik pendirian Patung Kwang Seng Tee Koen layak dicermati. Hal ini bukan 
semata-mata terkait problem perizinan, namun lebih dari itu ada intensi kuat 
penggiringan masalah ini ke isu SARA, dalam hal ini kebencian terhadap etnis 
dan keagamaan tertentu.
 Intensi ini terang benderang terlihat dari desakan 30 elemen yang menamakan 
diri Forum Ormas LSM Jawa Timur saat bertemu DPRD Provinsi (7/8). Sehari 
setelah itu, mereka kembali mengultimatum agar patung ini dirobohkan. Jika ini 
terjadi, maka patung Tuban akan menjadi korban ke-10 aksi kebencian terhadap 
patung dalam 10 tahun terakhir ini. Patung-patung tersebut dirobohkan atas nama 
kebencian terhadap berhala dan tuduhan pornografi. Bagaimana menjelaskan 
fenomena ini?
 Inferioritas-Kolonial Sangat mungkin tidak banyak yang sadar bahwa kebangkitan 
formalisme politik Islam sebagaimana terjadi di Indonesia sekarang kerap 
dibarengi oleh munculnya perasaan inferior terintimidasi oleh simbol-simbol 
agama lain. Perasaan ini selanjutnya menggumpal dan mendorong terjadinya 
destruksi atas nama kemurnian agama.  
https://geotimes.co.id/fokus/kekerasan-atas-nama-tuhan/
 Agama baru kerap mengunggulkan dirinya sendiri seraya meninjui agama lama, 
termasuk menstigma simbol-simbolnya. Merujuk Rictor Norton (2000), Yahudi dan 
Kekristenan awal membusungkan dadanya di hadapan bangsa Asyiria dan Babilonia 
dengan cara merepresi praktik ritual homoerotisme yang dianggap menentang hukum 
alam.
 Dalam konteks patung dan simbol keagamaan, sejarah Protestan pernah berlumuran 
darah karena terjangkiti penyakit ikonoklasme, sejenis doktrin atau praktik 
kebencian terhadap kepercayaan religius tertentu.
 Kala itu Protestan mengkritik keras Katolik yang memang dikenal lebih artistik 
dengan berbagai simbol ilahiah. Oleh Protestan, kekayaan ini dibabat habis. 
Protestan merasa perlu menampilkan mazhab Kristen baru yang harus berbeda–yakni 
kekristenan yang lebih terang benderang tanpa simbol (Davis 1973). Mungkin itu 
sebabnya gereja Protestan terlihat pucat, kering, dan miskin sentuhan 
estetika-ilahiah. Sangat berbeda dengan Katolik.
 Baca Juga :   Mudik: Solipsisme dan Rezeki Kaum Pinggiran 
https://geotimes.co.id/kolom/mudik-solipsisme-dan-rejeki-kaum-pinggiran/
 Ikonoklasi Islam Yang perlu dicatat, jauh sebelum ikonoklasi menjangkiti 
Protestan, sejarah Islam juga dirundung hal sama; dipenuhi sikap permusuhan 
terhadap patung dan simbol milik agama lain, terutama kelompok politeis, Yahudi 
dan Kristen.
 Tentu ada banyak bukti Nabi dan para penerusnya bersikap toleran atas simbol 
agama lain. Namun, jika mau jujur, bercak ikonoklasi Islam tidaklah bisa 
dihapus dari lini masa yang bahkan telah menjadi sistem kepercayaan tersendiri 
karena kukuh disokong teks–baik al-Qur’an maupun al-Hadits.
 Dalam al-Qur’an, setidaknya terdapat 17 surat yang memuat puluhan kata 
idol(berhala) dalam konteks yang spesifik dan bernuansa antipati-konfrontatif 
terhadap sistem ketuhanan Islam. Dan, jika kita susuri, kata tersebut  muncul 
sebanyak 136 entri dalam tujuh kitab hadits kanonik Sunni — Sahih al-Bukhari, 
Sahih al-Muslim, Sunan an-Nasa’i, Sunan Abi Dawud, Jami` at-Tirmidhi, Sunan Ibn 
Majah, dan Muwatta Imam Malik. Sebagaimana di al-Qur’an, hampir semua entri 
tersebut menggambarkan kesamaan cara pandang.
 Barangkali epos krusial antipati terhadap patung terjadi saat penaklukan 
Makkah (fath al-Makkah). Sebagaimana diceritakan Abdullah ibn Umar yang direkam 
dalam Sahih Bukhari, setiba di kota kelahirannya–setelah mengkonsolidasi 
kekuatan di Madinah, rombongan Nabi menyapu bersih ratusan patung di sisi dalam 
dan luar Ka’bah. “The Prophet entered Mecca and (at that time) there were three 
hundred-and-sixty idols around the Ka`ba. He started stabbing the idols with a 
stick he had in his hand and reciting: “Truth (Islam) has come and Falsehood 
(disbelief) has vanished,”
 Beberapa bulan setelah itu, Januari 630 M, Nabi menyuruh Khalid bin Walid 
mengemban misi “suci” merebut Nakhla bersama 30-an pasukan. Di sana mereka juga 
menghancurkan patung perempuan al-Uzza sesembahan kaum Qurays (Mubarakpuri, 
2002).
 Basis tekstual ini selanjutnya menjadi kuncian-antipati untuk dioperasionalkan 
oleh khalifah penerus Nabi. Dalam dokumen yang dikenal dengan nama Pakta Umar 
(‘ahda al-Umar), sebagaimana terekam dalam Kitab al-Umm maupun TafsirIbn 
Kathir, Umar bin Khattab kabarnya berhasil melarang warga Kristen Damaskus 
(sekarang bernama Syiria) untuk membangun maupun merenovasi tempat ibadahnya. 
Simbol-simbol Kristen dilarang muncul di publik. Hubungan gereja dan rumah 
warga Kristen tidak boleh melebihi tingginya rumah orang Islam, apalagi masjid.
 Catatan pedih destruksi terhadap patung-patung Hindu ketika Islam berusaha 
mengokupasi India dapat ditemukan dalam dua karya Sita Ram Goel (1998), “Hindu 
Temples: What Happened To Them?”, atau catatan MT Titus (1930), “Indian Islam: 
A religious history of Islam in India“.
 Baca Juga :   Manuel Gituloh, Romansa, dan Rasisme [Analisis Studi 
Postkolonial] 
https://geotimes.co.id/kolom/sosial/manuel-gituloh-romansa-dan-rasisme-dari-analisis-studi-postkolonial/
 Menyerang Tubuh Sendiri Tidak hanya terhadap non-Muslim, amukan ikonoklasi 
Islam bahkan meranggas melukai bagian tubuh Islam sendiri. Awal tahun 1800-an, 
keluarga Saudi di bawah Abdul Aziz ibn Muhammad ibn Saud menaklukkan Karbala, 
dan selanjutnya Mekkah serta Madinah. “Modernisme” yang dibangun olehnya 
memakan korban berbagai situs bersejarah peninggalan Nabi dan keluarganya.
 Pembumihangusan tersebut berlangsung hingga tahun 1970-an. Kelompok 
Wahabi–sebutan bagi Dinasti Saud–kuatir akan terjadi pemberhalaan terhadap 
situs tersebut. “The motive behind the destruction is the Wahhabists’ fanatical 
fear that places of historical and religious interest could give rise to 
idolatry or polytheism, the worship of multiple and potentially equal gods,” 
kata Dr. Sami Angawi, pakar arsitektur kuno Islam sebagaimana dikutip portal 
berita Inggris, Independent (2005).
 Dalam konteks ikonoklasi awal abad ke-20, peran penting perlawanan Nahdlatul 
Ulama atas Wahabi sangat krusial untuk diingat. Melalui Komite Hijaz-nya, NU 
mendesak Pemerintah Arab Saudi menghentikan aksi pembongkaran makam Nabi karena 
dianggap tidak menghormati Nabi dan keluarganya.
 Kebencian yang Terawat Hingga sekarang, justifikasi teks antipatif terhadap 
patung atau simbol agama lain masih nyata adanya. Ibarat rudal berhulu ledak 
tinggi, teks-teks tersebut tidak pernah dilucuti (mansukh) alias masih 
berstatus aktif. “Siapa sih kamu? Kok, berani mengkritik Bukhari, Muslim atau 
Imam Syafii?” kata salah satu senior saya di pesantren.
 Jika patung Tuban adalah representasi dewa keadilan bagi umat Khonghucu, maka 
Imam Syafii bisa dianggap dewa hukum mayoritas Muslim Indonesia.
 Kuatnya kuncian patronase sikap terhadap teks, hingga saat ini menyebabkan 
tidak ada satu pun otoritas Islam Indonesia yang berani tegas dan terbuka 
melucuti  teks-teks antipati tersebut–atas nama menjaga kebhinekaan. Yang 
terjadi justru sebaliknya, teks-teks ini secara turun- temurun diajarkan di 
hampir seluruh kanal sistem pendidikan Islam–dari pesantren yang jumlahnya 
lebih dari 27 ribuan hingga puluhan ribu sekolah Islam formal.
 Hipotesis saya, situasi antipati teologis seperti ini yang mempengaruhi 
beberapa ormas Islam terlibat aktif menolak patung di Klenteng Tuban, di 
antaranya adalah Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (Kokam) dan 
PCNU Tuban. Melalui surat resmi yang ditandatangi lengkap jajaran syuriah dan 
tanfidziyyah, NU Tuban memutuskan patung tersebut perlu ditutup secara permanen.
 Baca Juga :   Ketika Main Pokemon Go "Menjadi Yahudi" 
https://geotimes.co.id/kolom/permainan-daring-dan-menjadi-yahudi/
 Sikap organisasi yang dikenal moderat ini tentu saja mengejutkan banyak 
kalangan, sekaligus bisa menjadi indikator sejauhmana sikap toleransi mulai 
terdegradasi.
 Islam Ramah Patung? Umat Islam perlu memahami bahwa ikonoklasi merupakan watak 
politik agama yang serakah, kolonialis dan arogan–sebagaimana yang 
didemonstrasikan ISIS. Jauh sebelum Islam hadir di Indonesia, telah ada Hindu, 
Buddha dan puluhan agama lokal. Mereka mempunyai sistem kepercayaan sendiri 
dengan menjadikan patung sebagai salah satu medium transendental. Penting 
diingat, Islam awal Indonesia dipercaya menyebar dengan cara damai, dan ini 
berarti terdapat prinsip menghormati kepercayaan yang lebih dulu ada.
 Saya haqqul yaqin patung Tuban tidak dibangun untuk memaksa Muslim berpindah 
ke Khonghucu, atau mengusir umat Islam keluar dari bumi Ronggolawe. Dengan 
demikian, tuntutan menutupnya bisa dikatakan tidak berlandaskan al-Qur’an 
sebagaimana diatur dalam al-Hajj 39-40.
 “39. Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya 
mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu,”
 “40. (yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang 
benar hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Seandainya Allah 
tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu 
telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang 
Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah 
pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, 
Mahaperkasa.”
 Dalam konteks keragaman Indonesia, saya meyakini cara paling mulia menegakkan 
martabat Islam adalah dengan tidak “mengkafani” patung atau simbol agama 
lain–dengan maksud agar simbol kita terlihat sendirian. Sebaliknya, yang kita 
butuhkan justru–mengutip sejarawan Amerika Serikat Howard Zinn–” to destroy the 
weapons of death that endanger us more that they protect us, also that waste 
our resources as well as the threats against our children and grandchildren.”
 Akhirnya, atas nama al-Qur’an dan keberadaban misi profetik Islam, kita wajib 
membuka kafan patung Tuban, dan kemudian menutupkannya pada syahwat kebencian 
kita atas kelompok minoritas.
 
 Selamat ulang tahun ke-72, Indonesia!
 

Kirim email ke