-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1743-partisipasi-basa-basi



Kamis 06 Februari 2020, 05:10 WIB

Partisipasi Basa-basi

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group | podium
 
Partisipasi Basa-basi

MI/Ebet
Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group

BENARKAH partisipasi publik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan 
sekadar basa-basi? Partisipasi publik yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 12 
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan hanya pemanis teks, 
praktiknya jauh panggang dari api pada penyusunan omnibus law.

Komnas HAM menilai penyusunan omnibus law tidak akuntabel dan partisipatif. 
Ombudman RI pada Desember 2019 mengirimkan surat kepada Menko Perekonomian 
untuk minta dipaparkan RUU omnibus law demi memberikan masukan. Namun, 
balasannya ialah ditolak karena draf belum disetujui presiden.

Omnibus law pertama kali diperkenalkan Joko Widodo saat dilantik menjadi 
presiden pada 20 Oktober 2019. Saat itu ia mengajak DPR untuk menerbitkan dua 
undang-undang besar. Pertama, UU cipta lapangan kerja. Kedua, UU pemberdayaan 
UMKM. Jokowi menyebut dua UU ini sebagai omnibus law.

Ada 79 undang-undang dan 1.244 pasal telah direvisi terkait UU omnibus law 
cipta lapangan kerja yang telah diselesaikan pemerintah hingga rapat terbatas 
pada 15 Januari.

Sejauh ini pemerintah tidak menyebutkan perincian 79 undang-undang yang 
direvisi itu. Padahal, perintah Presiden sangat tegas, tiap-tiap kementerian 
melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar pada saat pembahasan ini 
masyarakat mengetahui tujuan omnibus law cipta lapangan kerja.

Perintah Presiden itu tidak dijalankan sehingga tak sejalan dengan salah satu 
asas pembentukan undang-undang yang baik, yakni keterbukaan (Pasal 5 huruf g UU 
12/2011).

"Yang dimaksud dengan 'asas keterbukaan' adalah bahwa dalam pembentukan 
peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, 
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. 
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang 
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan 
perundang-undangan," demikian bunyi penjelasan Pasal 5 huruf g itu.

Partisipasi masyarakat diatur dalam Bab XI dalam UU 12/2011. Pasal 96 
menyebutkan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis 
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Masukan secara lisan dan/atau tertulis itu dapat dilakukan melalui rapat dengar 
pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, 
dan/atau diskusi.

Masyarakat yang dimaksud undang-undang ini, menurut Pasal 96 ayat (3), ialah 
orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas 
substansi rancangan peraturan perundang-undangan. Dalam penjelasan ayat (3) itu 
disebutkan bahwa termasuk kelompok orang antara lain kelompok/organisasi 
masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat.

Karena itulah, Pasal 96 ayat (4) memerintahkan setiap rancangan peraturan 
perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Dapat 
diakses agar memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan 
dan/atau tertulis.

Partisipasi masyarakat diatur lebih lanjut dalam Pasal 188 Peraturan Presiden 
Nomor 87 Tahun 2014. Disebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan 
secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. 
Pertisipasi itu dalam rangka melaksanakan konsultasi publik.

Undang-Undang 12/2011 maupun Peraturan Presiden 87/2014 boleh-boleh saja 
mengatur soal pertisipasi publik dalam pembentukan peraturan 
perundang-undangan. Akan tetapi, aturan itu miskin dalam pelaksanaan terkait 
omnibus law.

Teks mengenai partisipasi masyarakat memang tampak indah sebagai jargon karena 
tidak diatur konsekuensi hukum yang mengikat DPR ataupun pemerintah dalam hal 
partisipasi masyarakat.

Disebut jargon jika mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 
27/PUU-VII/2009 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang 
Mahkamah Agung. MK mengakui adanya cacat prosedural, antara lain terkait 
prinsip keterbukaan. Akan tetapi, MK tidak serta-merta membatalkan 
undang-undang tersebut. Menurut MK, meskipun terdapat cacat prosedural dalam 
pembentukan UU 3/2009, secara materiel undang-undang tersebut tidak menimbulkan 
persoalan hukum.

Meski demikian, keterlibatan masyarakat dalam pembentukan undang-undang 
mestinya mutlak dalam negara demokrasi sebab demokrasi dan partisipasi publik 
itu ibarat dua sisi sekeping mata uang yang satu sama lain tidak dapat 
dipisahkan.

Dalam konteks demokrasi itulah, tegas dikatakan bahwa adanya partisipasi 
masyarakat dalam pembentukan omnibus law justru menggenapkan, tiadanya malah 
mengganjilkan, jangan-jangan ada penyelundupan kepentingan.

 

 

 

Kirim email ke