Perubahan Kekuatan Global: Is The American Century Over?
Secara umum American Century adalah sebuah terminologi yang sering digunakan 
untuk menggambarkan kedigdayaan Amerika Serikat dengan segala keunggulan 
sumberdaya yang dimilikinya. Istilah American Century juga dimaknai sebagai era 
dimulainya hegemony Amerika Serikat. Namun, istilah tersebut masih absurd, 
kabur dan belum definitif. Setidaknya terdapat beberapa pertanyaan yang harus 
dijawab. Diantaranya, bagaimana dan kapan American Century itu dimulai?, 
Variable apa saja yang digunakan sebagai indikator untuk menandai era American 
Century?. Selama pertanyaan ini belum terjawab dengan jelas, maka sulit bagi 
kita untuk menjawab pertanyaan utama “is the American Century over?”.
Joseph Nye menawarkan tiga indikator untuk kategori hegemonic power: Economic 
power, Military power dan Soft power. 
Kebangkitan ekonomi AS pertama kali lahir di akhir abad-19, ketika AS menjadi 
negara industri terbesar melampaui Inggris dan negara-negara industri eropa 
lainnya. Pada awal abad-20, Amerika Serikat telah menyumbang hampir seperempat 
dari ekonomi dunia dan kemajuan ekonomi AS terus berlanjut hingga Perang Dunia 
Kedua. Dan periode setelah perang, Amerika Serikat telah menyumbang setengah 
dari ekonomi dunia. Tidak heran jika banyak menyebut abad-20 adalah era Pax 
Americana. Seperti Pax Britannica di abad-19 dan Pax Romana di Abad-15.
Walaupun AS telah menjadi negara dengan kekuatan Ekonomi terbesar sejak akhir 
abad-19, tetap saja AS belum menjadi pemain utama dalam percaturan politik 
global.  Sampai akhirnya, presiden Theodore Roosevelt dan Woodrow Wilson 
melakukan investasi besar-besaran untuk memperkuat kekuatan militer AS. Di era 
presiden Roosevelt, dibuat “The Great White Fleet” sebagai salah satu kapal 
perang terbesar di masanya. Kapal perang itu semuanya dicat putih dengan 
membawa American Flag, sebelum melaksanakan ekspedisi keliling dunia selama 2 
tahun (1907-1909). Dalam diplomasi maritim tujuan ekspedisi ini juga disebut 
sebagai diplomasi “show the flag”, Roosevelt ingin menunjukan kepada dunia 
tentang kekuatan militer AS di sektor maritim.
Selanjutnya, Amerika Serikat dianggap sebagai single hegemonic actor, persis 
setelah runtuhnya tembok Berlin dan Uni Soviet (1991). sejak itu, Sistem 
Internasional mulai bergeser ke arah unipolar, tidak ada lagi negara yang mampu 
memberikan perimbangan kekuatan (balance of power) terhadap AS seperti yang 
dilakukan Soviet di era perang dingin. Fukuyama menyebutnya sebagai periode 
akhir sejarah (the end of the history) dengan kemenangan bagi ideologi 
Liberalisme. Bahkan Huntinton menulis tentang pergeseran karakteristik konflik 
dimasa akan datang melalui tesis “the clash of civilization”. Tesis ini 
diangkat sebagai proyeksi perubahan bentuk perang konvensional ke bentuk perang 
baru (new wars) setelah runtuhnya Uni soviet.
Sejak Perang dunia kedua berakhir, Amerika Serikat terus memperluas ekspansi 
dan pengaruhnya baik secara politik maupun ekonomi. Tahun 1947 Amerika Serikat 
mengeluarkan kebijakan baru yang dikenal sebagai “containment policy”. Turunan 
dari kebijakan itu melahirkan Truman Doctrine dan Marshall Plan. Seperangkat 
kebijakan ini merupakan strategi AS untuk menangkal perluasan pengaruh 
Komunisme Soviet di Benua Biru. AS memberikan bantuan dana segar kepada 
negara-negara eropa barat, untuk melakukan economy recovery pasca perang. 
Termasuk bantuan untuk Turki dan Yunani, yang pada saat itu sedang menghadapi 
pergolakan internal akibat munculnya kelompok komunis secara masif.
Periode 1960-an Amerika Serikat mulai memperkuat cengkraman pengaruhnya di 
negara-negara berkembang seperti, Amerika Latin, Asia dan Afrika. Melalui 
proyek globalisasi ekonomi ala Neolib yang dijalankan dengan baik oleh IMF dan 
World Bank (Bretton Woods System). Proyek besar ini cukup berhasil menjebak 
banyak negara berkembang kedalam kubangan utang yang membuat mata rantai 
ketergantungan kepada AS seolah tak berujung. Struktur ekonomi global membentuk 
pola hirarkis dan AS berada pada puncak hirarki mengendalikan negara-negara di 
bawahnya. Dalam segitiga Liberalisme, Immanuel Kant menyebutnya sebagai 
Economic Interdependence.
(Banyak presiden negara-negara berkembang khususnya di Amerika Latin yang 
digulingkan bahkan dibunuh hanya karena menolak proyek globalisasi ekonomi ini. 
Kondisi itu masih berlangsung hingga saat ini. Lihat bagaimana di Bolivia, Evo 
Morales dilengserkan. Di Venezuela mulai dari era Hugo Chavez sampai Nicolas 
Maduro, AS terus melakukan intervensi secara ilegal untuk menggulingkan 
pemerintahan sah disana)
Distribution of Power: Transition and Diffusion
Konfigurasi politik global abad-21 sangat berbeda dan jauh lebih kompleks. 
Sistem internasional telah bergeser ke arah multipolar. Tidak ada lagi “single 
hegemonic actor”. Polarisasai kekuasaan tidak lagi membentuk pola yang 
hirarkis, melainkan tersebar secara divergen dan membentuk keseimbangan baru 
(balance of power). Lahirnya negara-negara emerging power di Asia menjadi 
proses awal transisi kekuasaan dari Barat ke Timur. Lihat saja bagaimana China 
menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia dan banyak lembaga ekonomi dunia 
memprediksi bahwa China akan menjadi Top Global Economy di tahun 2030. Ini 
menandakan Power Transition itu tengah berlangsung saat ini. Itulah mengapa AS 
tidak membiarkan China melaju begitu saja tanpa hambatan dan gangguan, akhirnya 
kedua negara terlibat dalam Trade War. 
Disisi lain, perubahan konfigurasi kekuatan global juga disebabkan oleh power 
diffusion, yang ditandai dengan munculnya aktor-aktor non-state seperti MNC, 
NGO, IGO dan Terrorism Organization. Tidak bisa dipungkiri, aktor non-state 
memiliki peran dan andil yang sangat besar di abad-21, khsusunya dalam 
membentuk konfigurasi politik global. Lihat bagaimana perusahaan-perusahaan 
multi-nasional semakin digdaya dihadapan negara. Atau lihat juga bagaimana 
kelompok terorisme menjadi kekuatan proxy yang kuat untuk merongrong sebuah 
negara berdaulat, seperti yang terjadi di Timur tengah. 
China vs. AS
Saya terlanjur percaya bahwa setiap kawasan memiliki karakter konflik yang 
berbeda-beda. Konflik di kawasan Asia-Pasifik atau lebih khusus Konflik Laut 
China Selatan adalah konflik Ekonomi, dan sisanya adalah inter-state dispute. 
Berbeda dengan konflik di kawasan MENA atau lebih khusus di Timur-tengah, 
konfliknya adalah konflik politik. Sehingga, pendekatan analisisnya juga harus 
berbeda.
Singkatnya, China dengan mega proyek OBOR atau Belt Road Initiative telah 
menunjukan keberhasilan China menguasai jalur perdagangan internasional. Dimana 
70% perdagangan internasional melewati LCS. Di masa pemerintahan Obama, digagas 
proyek tandingan dengan nama Trans-Pacific Partnership sebagai upaya AS untuk 
menekan laju perekonomian China. Tapi sepertinya China sudah maju terlalu jauh. 
Hanya perang besar yang bisa menghentikannya. Itu pilihan terburuk bagi AS.
Iran - Venezuela vs. AS
Pengaruh AS di kawasan Timur tengah terus melemah. Proyek timur tengah raya 
yang digagas oleh AS-Israel melalui serangkaian konspirasi jahat, terus 
mengalami kebuntuan dan kegagalan akibat perlawanan sengit dari seluruh 
kelompok muqawamah di kawasan. Berbagai skenario dan skema busuk Arab Spring, 
terhenti dan gagal di Suriah, Iraq dan Yaman. Proyek The Greater Israel masih 
menjadi tumpukan kertas dalam dokumen Yinon Plan. Dan kini kelompok muqawamah 
tengah berjuang untuk mengusir pasukan AS, keluar dari Iraq dan seluruh kawasan 
Timur-tengah. jika itu berhasil, maka AS telah kalah di kawasan dan kehancuran 
Israel sudah di depan mata. Semua itu tidak terlepas dari peran Iran yang sejak 
awal komitmen dan konsisten berada digaris perlawanan menentang arogansi dan 
kezaliman poros setan AS-Israel di kawasan. Jelas Iran adalah ancaman besar 
bagi dominasi Israel-AS di kawasan untuk saat ini dan di masa akan datang. 
Ditambah lagi, gelora perlawanan negara-negara yang menolak tunduk pada 
arogansi AS akan terus berkobar dan akan membentuk poros perlawanan secara 
global, seperti yang sedang terlihat saat ini, poros Iran-Venezuela. Jika garis 
porosnya ditarik lebih luas maka akan terlihat poros yg lebih besar, di 
dalamnya ada China dan Rusia.  Keberhasilan kapal tanker Iran memasuki perairan 
Venezuela hanyalah salah satu kemenagan kecil dan taktis. Kemenangan Besar 
hanya bisa diraih dalam Perang Besar (menantikan laga pamungkas akhir zaman)
Mitos Amerika Sebagai Negara Hegemonik
Henry Kissinger pernah mengatakan “no truly global world order has ever 
existed”.
Tidak ada satupun negara yang benar-benar pantas disebut sebagai global 
hegemonic, selama negara negara besar seperti China, Rusia, India, Indonesia, 
Iran, Brazil belum “ditaklukan”. 
Oleh karena itu, Joseph Nye menyebut kekuatan hegemoni Amerika lebih pantas 
disebut sebagai “Half-Hegemony”. Bukan Global Hegemonic.
Finally, AS sebagai kekuatan hegemonik global hanyalah sebuah mitos, yang di 
dalamnya lebih banyak mengandung cerita fiksi daripada fakta. Cerita tentang 
kekuatan Militer AS yang kuat dan canggih, hanya ditemukan dalam film-film 
Hollywood. Bukan dalam dunia nyata. 
Amerika Serikat akan seperti Dinosaurus yang terlanjur punah sebelum berhasil 
menguasai dunia.

Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone

Kirim email ke