Apa yang mau dioposisikan, jika  semua yang berkuasa adalah kaum
neo-Mojopahit, pancasilais dan NKRI harga mati?  Paling-paling mereka
saling  rebut rejeki bin berkat.



https://kolom.tempo.co/read/1262419/politik-tanpa-oposisi


*Politik tanpa Oposisi*

Selasa, 22 Oktober 2019 07:30 WIB

0 KOMENTAR
<https://kolom.tempo.co/read/1262419/politik-tanpa-oposisi/full&view=ok#comments>

000
<https://statik.tempo.co/data/2019/10/20/id_882279/882279_720.jpg>

*Prabowo Subianto bersama Sandiaga Uno melambaikan tangan saat menghadiri
upacara pelantikan Presiden dan Wakil presiden periode 2019-2024 Joko
Widodo dan Ma'ruf Amin di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan,
Jakarta, Ahad, 20 Oktober 2019. ANTARA*

PRABOWO Subianto seharusnya becermin dulu sebelum meminta publik mewaspadai
bahaya oligarki, setelah ia berkunjung ke kantor Partai Golkar pekan lalu.
Jika benar Partai Gerindra bergabung ke pemerintah Joko Widodo-lawan
Prabowo dalam pemilihan presiden lalu-justru dia dan elite partai yang kini
berada di tampuk kekuasaanlah yang harus kita cemaskan.

Dengan bergabungnya Gerindra, rezim Jokowi-Ma’ruf Amin akan memiliki
dukungan mayoritas luar biasa di parlemen. Praktis tinggal Partai Keadilan
Sejahtera yang berada di luar koalisi penguasa. Ini artinya, pertama
kalinya sejak Orde Baru berakhir, kita akan memiliki pemerintah dengan
kekuatan oposisi yang amat lemah.

Ini kecenderungan yang berbahaya. Tanpa oposisi, tidak ada mekanisme checks
and balances yang penting untuk memastikan kebijakan pemerintah dikontrol
dengan ketat. Partai pendukung koalisi pemerintah akan sulit bersikap
kritis.

Inilah yang dulu terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Dewan
Perwakilan Rakyat hanya berfungsi sebagai tukang stempel kebijakan
pemerintah. Fungsi-fungsi DPR, terutama fungsi pengawasan, sulit diharapkan
berjalan optimal. Suara Istana dan Senayan yang seragam akan menjadi akhir
dari demokrasi liberal di negeri ini.


Ironisnya, perkembangan mengkhawatirkan ini justru terjadi pada masa
kepemimpinan Joko Widodo, presiden pertama yang berasal dari rakyat
kebanyakan, di luar lingkaran elite yang selama ini mendominasi kursi-kursi
kekuasaan di Jakarta. Dia seperti anak kandung demokrasi yang durhaka
meninggalkan ibunya sendiri.

Presiden Jokowi keliru jika menilai konsolidasi partai-partai politik dalam
satu barisan pendukung pemerintah bakal memperkuat lima tahun kedua masa
pemerintahannya. Di atas kertas, itu bisa terjadi, tapi tengok saja periode
kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu, ia didukung enam
partai politik yang menguasai hampir 70 persen suara di Senayan. Sejak
tahun pertama, Yudhoyono sudah babak-belur dikeroyok soal penyelamatan Bank
Century.

Kekeliruan Yudhoyono sama dengan Jokowi. Ia memberikan konsesi politik amat
besar kepada partai pendukungnya dan mengakomodasi para politikus untuk
menjadi menteri di kabinetnya. Hasilnya bukan stabilitas politik, melainkan
kabinet yang lamban dan sulit dikendalikan. Para menteri dari partai
politik cenderung masih loyal kepada pemimpin partai masing-masing.

Karena itu, ketimbang membagikan jatah menteri ke partai, Jokowi lebih baik
mengisi kabinet dengan lebih banyak orang profesional-yang kompeten dan
berintegritas, tentu saja. Tak perlu susah payah merangkul banyak partai
yang bakal merepotkan dia sendiri.

Jokowi harus sadar bahwa demokrasi bukanlah semata-mata mekanisme untuk
mencapai konsensus politik. Demokrasi memerlukan
disensus-ketidaksepakatan-untuk memperbaiki diri terus-menerus. Dengan
demikian, keberadaan oposisi merupakan cara untuk merawat demokrasi itu
sendiri.

Kasak-kusuk sepekan terakhir tentang masuknya Partai Gerindra dan Partai
Demokrat ke koalisi pro-pemerintah pasti membuat banyak pendukung Jokowi
patah semangat. Dirangkulnya Prabowo ke dalam kabinet adalah sinyal negatif
buat rakyat yang dulu memilih Jokowi karena tak setuju dengan tawaran
gagasan Prabowo.

Terbentuknya pemerintahan tanpa oposisi juga menafikan seluruh perdebatan
janji-janji kampanye selama pemilihan presiden lalu. Dua kubu yang
sebelumnya menawarkan gagasan yang kerap bertolak belakang kini bekerja
bersama dalam satu barisan. Aspirasi politik jutaan pemilih seolah-olah
dibuang ke tong sampah.

Catatan:

Ini merupakan artikel majalah tempo edisi 21-27 Oktober 2019

Kirim email ke