https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9

* Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua *
20 Agustus 2019 Dibaca Normal 2 menit Ada bagian dalam diri saya yang tak
menghendaki tulisan ini dibuat. Saya khawatir apa yang akan saya beberkan
di sini betul-betul melukai orang Papua, sebagaimana saya merasa terluka
dulu. Saya yakin sebagian pokok yang akan saya katakan sudah dipahami betul
oleh orang Papua, seperti halnya yang saya ingat dari pengalaman tinggal di
sebuah kota yang dihuni orang-orang non-Papua. Orang-orang Papua selalu
dianggap "terbelakang" dan "pemabuk". Tak ada pembicaraan tentang
sebab-sebab yang membuat orang Papua putus asa. Tak ada pembicaraan soal
bagaimana negara ini—benda asing yang disodorkan secara paksa kepada kami
ini—hanya bisa berjaya melalui pemiskinan orang Papua, perampasan tanah,
penggusuran lapak mama-mama, serta gelombang pendatang yang kian besar.
Yang paling buruk dari itu semua: mereka habis-habisan melucuti kemanusiaan
orang Papua. Ada pandangan-pandangan tertentu terhadap orang Papua yang
sebetulnya enggan saya sebutkan. Pandangan-pandangan ini berfokus pada
"kekurangan" orang Papua: kurang tata krama, kurang pakaian, kurang
"cantik" atau "tampan", minim sinyal internet, kurang fasih berbahasa
Indonesia, hingga kurang "beradab". Keyakinan semacam itu sangat familiar.
Saking lazimnya dipelihara dan dipraktikkan pada zaman penjajahan Belanda.
Indonesia hari ini mengulanginya: Percaya bahwa Papua serba kekurangan.
Dari kepercayaan itu pula keberadaan Indonesia di Papua seolah bisa
dibenarkan. Itu sebabnya “tertinggal” jadi lema favorit. Karena berangkat
dari “ketertinggalan”, maka “pembangunan” adalah solusinya. Segala
pandangan miring terhadap orang Papua ini kita kenali sejak para ilmuwan
pasca-kolonial (khususnya Frantz Fanon) menamainya “tatapan kolonial”
(colonial gaze). Saya tidak dibesarkan bersama media sosial sehingga ada
masanya ketika saya tak memikirkan rasanya menjadi orang Papua di hadapan
orang lain, orang-orang di luar Sentani. “Tatapan kolonial” tak pernah saya
alami sebelum saya menginjakkan kaki di Jawa. Saya tak menyadari betapa
"terbelakangnya" kami orang Papua. Koteka seolah menjadi bukti sahih betapa
kami membutuhkan pakaian—atau lebih buruk lagi: kami harus diajarkan cara
berpakaian. Tinggal di luar Papua juga membuat saya berhadapan dengan
berbagai stereotip orang Papua. Hampir semuanya tak mengenakkan—dan bukan
barang baru. Saya sudah mendengar bermacam stereotip itu diungkapkan dengan
cara-cara lebih santun di Papua. Kami, misalnya, dianggap bodoh sampai
terbukti sebaliknya. Atau alkoholik atau tukang bikin onar hingga terbukti
sebaliknya. Selain itu ada kesadaran bahwa di luar Papua saya tak menjadi
diri sendiri; di luar Papua saya adalah representasi masyarakat Papua.
Entah bagaimana caranya seakan-akan saya bertanggungjawab atas perilaku
orang Papua lainnya. Orang merasa nyaman menyampaikan pendapat pribadi
tentang rupa-rupa masalah orang Papua. Saya sudah mendengar masalah-masalah
ini sebelumnya. Tapi, karena kali ini saya pendatang, mereka tak merasa
perlu bersopan santun ketika menunjuk satu per satu masalah itu. Anehnya,
sebagai orang campuran, saya punya kehidupan lebih baik dari mayoritas
orang Papua di Indonesia. Karena berkulit terang, yang saya dapati cuma
remah-remah persoalan yang biasa dihadapi orang Papua berkulit gelap. Saya
tak pernah dipanggil “monyet”. Kok bisa? Kulit saya lebih cerah. Sekumpulan
orang Papua berkulit terang seperti saya takkan dipandang sebagai ancaman.
Baca juga: Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua? Saat sedang
sendirian di Jakarta, misalnya, saya takkan dituduh "separatis pembuat
onar." Dalam tatapan kolonial, orang seperti saya mungkin diusung sebagai
"orang Papua yang pantas"; tak berkulit terlampau gelap (baca: tak
kelihatan Papuanya), tak berisik, tak tajam tutur katanya, atau tak terlalu
percaya diri. Berkat warna kulitlah saya terhindar dari hal-hal terburuk
yang disodorkan rasisme Indonesia (kasus akhir pekan lalu telah
membuktikannya). Saya kira orang dengan warna kulit seperti yang saya punya
ini tidak akan ditangani dengan kekerasan sebagaimana yang dialami orang
asli Papua. Tapi, warna kulit tak melindungi saya dari unsur-unsur rasisme
lainnya. Saya mendudukkan Jawa sebagai ibu kota kolonialisme Indonesia.
Cukup lama saya tinggal di Jawa sampai-sampai ada bagian dari diri saya
yang menjelma sesuatu yang Fanon takutkan. Saya menjadi orang Papua yang
menginternalisasi tatapan kolonial itu. Anggapan yang terus dijejalkan ke
khalayak bahwa orang Papua belum sanggup memerintah bangsanya sendiri—ihwal
yang menjadi alasan di balik semua stereotip di atas—kerap menghantui diri
saya. Tentu, kita tahu Indonesia berpikir "orang Papua bodoh", "orang Papua
terbelakang"—dan daerah yang "terbelakang" tak menghasilkan orang pintar.
Kami paham Indonesia tak peduli kesejahteraan orang Papua. Dengan mata
kepala kami telah menyaksikan kekerasan polisi dan aparat saat membubarkan
demo-demo orang Papua. Dan kami juga melihat bagaimana banyak orang
Indonesia santai-santai saja menanggapi kekerasan terhadap orang Papua di
Jawa. Kami mungkin tak pernah mengira mereka bisa sangat ugal-ugalan
rasisnya. Tampaknya, selama hari-hari ke depan, kita akan mendengar
segudang kisah bahwa pembangunan adalah solusi untuk rasisme; pembangunan
akan mengangkat martabat orang Papua ke taraf kehidupan yang berbeda dari
monyet; pembangunan akan mengantarkan kami ke puncak antah-berantah di mana
tiap orang Papua dihormati. Biarkan saya mendahului semua kisah di atas
dengan meyakinkan Anda bahwa tidak benar pembangunan akan mengakhiri
rasisme terhadap orang Papua. Yang punya masalah rasisme bukanlah orang
Papua, tapi Indonesia. Begitulah contoh tatapan kolonial. Jika Indonesia
membayangkan orang Papua sudah hidup cukup, selanjutnya, mungkin ia akan
mengkhotbahi mereka agar bersyukur. -------- Diterjemahkan oleh Windu Jusuf
dari tulisan berjudul "Papuans, It's Not You, It's Them". Versi bahasa
Inggris bisa dibaca di sini.

Baca selengkapnya di artikel "Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang
Papua", https://tirto.id/egA9

Kirim email ke