Satu desa TKI, 350 anak ditinggalkan oleh orang tua

  
|  
|   
|   
|   |    |

   |

  |
|  
|    |  
Satu desa TKI, 350 anak ditinggalkan oleh orang tua - BBC Indonesia
 Di satu desa di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, terdapat 350 anak 
lebih yang tidak diasuh oleh oran...  |   |

  |

  |

 
Rohmatin BonasirWartawan BBC Indonesia   
   - 6 Maret 2017
KirimRatusan anak di Lombok ditinggalkan orang tuanya bekerja ke luar 
negeri.Puluhan anak tampak antusias membaca buku-buku bacaan di teras sebuah 
rumah di Desa Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Satu ruang 
di samping teras juga penuh dengan anak yang mengerjakan pekerjaan rumah dari 
sekolah. Ada pula kelompok bermain di sudut. Di halaman depan, anak-anak kecil 
dengan formasi bundar bernyanyi bersama.Jika ditotal, setidaknya terdapat 40 
anak usia sekolah, sebagian besar anak-anak yang ditinggalkan oleh ibu dan 
bapak untuk mencari nafkah di luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia 
(TKI).Hak atas fotoBBC INDONESIAImage captionPuluhan anak berkumpul setiap sore 
di kelompok belajar Smart Class Dua Bersaudara di Desa Wanasaba, Lombok Timur.  
 
   - TKI di Malaysia: 'Terpisah dari anak, hingga nyaris bunuh diri...'
   - Anak terpaksa ditinggal: kisah para ibu yang merantau ke Malaysia
Itulah suasana kelompok belajar Smart Class Dua Bersaudara. Diadakan setiap 
sore di rumah kader desa Suprihatin dan saudaranya, kegiatan ini bertujuan 
untuk memberikan perhatian khusus kepada anak-anak TKI."Kegiatan belajar ini 
dapat menjadi saluran bagus bagi mereka agar mereka tidak terlalu bersedih 
karena ditinggal oleh ibu mereka dan bahkan oleh kedua orang tua mereka," jelas 
Suprihatin.Semula kegiatan belajar dan bermain tidak direncanakan diadakan 
setiap sore, tetapi menurut Suprihatin, anak-anak justru datang setiap hari.
Hampir Rp1 triliun
Kelompok belajar untuk anak-anak buruh migran seperti Smart Class Dua 
Bersaudara mudah dijumpai di Desa Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur.Berdasarkan 
penelitian Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai) tahun 2015, di desa tersebut 
terdapat lebih dari 350 anak (0-18 tahun) yang ditinggal oleh ibu atau bapak 
dan bahkan keduanya untuk bekerja di negara-negara seperti Malaysia, Singapura, 
Hong Hong dan negara-negara Timur Tengah. Jumlah yang hampir sama juga 
ditemukan di desa tetangganya, Lenek Lauk."Kita tidak bisa membayangkan kalau 
kemudian satu desa rata-rata sekitar 300 anak dan di Kabupaten Lombok Timur ada 
sekitar 250 desa berapa jumlah keseluruhan," kata Suharti, direktur Yayasan 
Tunas Alam Indonesia, yang melakukan pendampingan anak-anak buruh migran di 
kabupaten itu.Hak atas fotoBBC INDONESIAImage captionMenurut Suharti, banyaknya 
anak yang ditinggalkan oleh orang tua mereka untuk mencari kerja patut segera 
diantisipasi sebab dapat menimbulkan masalah sosial.Lombok Timur tercatat 
sebagai kabupaten pengirim tenaga kerja terbesar ke luar negeri dengan jumlah 
15.000 lebih pada 2016 berdasarkan data pemerintah setempat. Setiap tahun 
mereka mengirimkan uang dalam jumlah besar untuk sebuah kabupaten yang miskin. 
Pada 2016, jumlah remitensi tercatat Rp820 miliar, belum termasuk uang yang 
dikirim pulang tanpa melalui bank ,misalnya lewat teman atau tetangga yang 
pulang. Tahun sebelumnya jumlah kiriman TKI ke Lombok Timur Rp966 miliar.Di 
Desa Wanasaba mayoritas yang merantau adalah perempuan, sedangkan di Desa Lenek 
Lauk sebagian besar yang menjadi buruh migran adalah laki-laki. Hampir setiap 
rumah punya anggota keluarga yang bekerja di luar negeri sebagai pekerja 
domestik atau pekerja perkebunan dan pekerja-pekerja kasar lain.Adapun 
pendorong kepergian mereka dari desa-desa yang mata pencaharian penduduknya 
bertani itu adalah faktor ekonomi."Lemahnya perekonomian di Desa Lenek Lauk, 
kurangnya lapangan kerja sehingga mereka pergi ke luar negeri. Ketika kami 
persentasikan sesuai dengan pantauan kami di desa, persentasi masyarakat Lenek 
Lauk -kalau laki-laki yang pergi ke Malaysia sampai 80%,'' kata Kepala Desa 
Lenek Lauk, M. Zaini.''Sebenarnya masyarakat kami sering mengeluh. 'Seandainya 
pak kepala, ada lapangan kerja di Lombok ini, bukan hanya di skala Lenek Lauk 
maka kami tidak mungkin pergi ke luar negeri. Karena meninggalkan keluarga, 
anak, sanak famili sangat berat rasanya,'' tambahnya kepada wartawan BBC, 
Rohmatin Bonasir.Hak atas fotoBBC INDONESIAImage captionMayoritas pencaharian 
penduduk Desa Wanasaba dan Lenek Lauk adalah petani dan buruh tani namun 
sebagian dari mereka merasa hasil pertanian tidak sesuai dengan ongkos produksi 
dan keperluan hidup.Hasil jerih payah TKI tampak nyata di kedua desa. 
Rumah-rumah bata berdiri kokoh dengan atap genteng, di depan rumah diparkir 
sepeda motor bahkan ada yang lebih dari satu, warga mengolah lahan pertanian 
yang subur. Namun demikian, diakui oleh M.Zaini, tidak semua warganya berhasil 
mengumpulkan uang sebagaimana yang direncanakan. Banyak pula yang tidak mujur 
dan ditipu oleh para calo tenaga kerja, sementara di desa mereka sudah meminjam 
uang atau menjual tanah untuk biaya keberangkatan ke luar negeri.
Nikah dini
Bagaimanapun ketidakhadiran orang tua di antara anak-anak mereka menimbulkan 
persoalan lain. Penelitian Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai) yang melakukan 
pendampingan anak-anak buruh migran di Lombok Timur menunjukkan kecenderungan 
pernikahan di bawah umur ( 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki) 
di dua desa; Lenek Lauk dan Wanasaba.''Kasus anak yang menikah di usia anak 
tersebut ada sekitar 136 orang anak dan sekitar 100 pasang adalah sesama anak 
buruh migran,'' ungkap Kepala Divisi Pemberdayaan Anak, Pemuda dan Masyarakat 
di Yayasan Santai, Zurhan Afriadi.Hak atas fotoBBC INDONESIAImage captionPara 
siswi dari keluarga buruh migran di Lenek Lauk, Lombok Timur, pulang dari 
sekolah. Pendidikan diharapkan dapat mencegah pernikahan dini di kalangan 
anak-anak buruh migran.Penyebabnya, menurut Zurhan, setidaknya ada dua.''Salah 
satunya karena kurang pengawasan dari orang tua karena ibu atau bapaknya harus 
bekerja ke luar negeri dan anak-anak tersebut dititipkan bersama kakek, nenek 
dan pamannya jadi pengawasan terhadap anak bisa jadi agal longgar. Dan itu 
menyebabkan anak-anak tertarik untuk menikah di usia anak.''Yang kedua, masih 
kata Zurhan, anak-anak merasa terhimpit ekonomi sehingga mereka terdorong untuk 
menikah dini dengan harapan pernikahan tersebut dapat mengubah nasib mereka.

Kirim email ke