*Siauw Giok Tjhan, *

*Penggemar Cerita Detektif yang Ajak Pemuda Tionghoa Dukung Kemerdekaan RI*

Kompas.com - 26/01/2020, 06:52 WIB

Salah seorang pendiri dan tokoh BaperkiSalah seorang pendiri dan tokoh Baperki (Istimewa)

Penulis Dylan Aprialdo Rachman | Editor Kristian Erdianto

JAKARTA, KOMPAS.com - Siauw Giok Tjhan lahir pada tahun 1914 di Kapasan, sebuah wilayah Pecinan yang terletak di Surabaya, Jawa Timur. Ia merupakan anak dari pasangan Siauw Gwan Swie dan Kwan Tjan Nio.

Siauw Gwan Swie merupakan seorang peranakan. Sedangkan ibunya Siauw Giok Tjhan, merupakan putri dari seorang Totok Hakka.

Berdasarkan catatan Yerry Wiryawan di majalah Basis berjudul "Tiga Menentang Stigma" tahun 2019, Siauw Giok Tjhan dikirim belajar ke Tiong Hoa Hwe Koan pada tahun 1918.

Namun, saat ayah mertua Siauw pulang ke Tiongkok pada tahun 1920, Siauw Giok berpindah sekolah ke sekolah Belanda, Europeesche Lagere School, sekolah dasar Belanda.

"Saat kakek dari pihak ibunya kembali ke Surabaya, dia terkejut mendapatkan cucunya, Siauw Giok Tjhan tidak bisa bahasa Tionghoa. Akibatnya, Siauw dipaksa bekerja di toko kakeknya setelah pulang dari sekolah," kata Yerry dalam catatannya.

Baca juga: Dari Daratan Tiongkok ke Kota Medan, Tjong A Fie Sang Dermawan...

Di sekolah Belanda lah, Siauw Giok gencar mempelajari berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Perancis, Jerman dan Belanda. Kemampuannya dalam berbahasa asing ini dimanfaatkannya membaca cerita-cerita detektif dan roman.

Siauw Giok sangat menggemari berbagai kisah-kisah detektif dan roman dalam bahasa asing yang sudah ia kuasai itu. Di sela-sela kesehariannya, Siauw Giok juga gemar membaca koran langganan ayahnya, Pewarta Soerabaia dan Sin Tit Po.

Baca juga: Kisah Kim Teng, Penyelundup Senjata Ulung demi Kemerdekaan RI

Seiring perkembangan waktu, saat terjadi depresi ekonomi di sekitar tahun 1920, ayah Siauw Giok bangkrut. Kakeknya pun menjual bisnisnya dan memutuskan kembali ke Tiongkok.

Tahun 1932, dalam waktu yang berdekatan, ayah dan ibunya meninggal dunia pada saat ia masih mengenyam pendidikan di sekolah Belanda. Di usianya yang masih muda, yakni 18 tahun, Siauw Giok sudah yatim piatu dan harus mengurus adiknya.

"Di saat ini pula, Siauw Giok mulai tertarik dengan politik dengan ikut aksi boikot yang dipimpin Liem Koen Hian menentang kesebelasan sepak bola Belanda di Surabaya. Akibat aksinya ini, Siauw diskors dari sekolahnya selama seminggu," tulis Yerry.

Baca juga: Koran Sin Po, Pelopor Istilah Indonesia yang Hilang dari Catatan Sejarah...

Kesadaran politik Siauw semakin meningkat, dia mengagumi sosok Liem Koen Hian dan bergabung dengan media Sin Tit Po. Namun, saat koran Mata Hari berdiri pada tahun 1934 sebagai corong Partai Tionghoa Indonesia (PTI), Siauw memutuskan bergabung dengan koran ini di Semarang.

Tahun 1937, ia kembali ke Surabaya untuk memimpin kantor cabang Mata Hari di sana. Siauw mulai berkenalan dengan aktivis politik Tionghoa yang mendorong minatnya pada Marxisme dan perjuangan anti-fasis.

Tahun 1939, ia menggantikan Kwee Hing Tjiat yang meninggal dunia sebagai editor Mata Hari dan kembali berkantor di Semarang.

Baca juga: Kisah Tony Wen, Kepercayaan Soekarno yang Selundupkan Candu demi Negara

Di Semarang, Siauw Giok menemui perempuan yang kelak menjadi istrinya, Tan Gien Hwa. Tan Gien merupakan putri dari seorang pedagang sukses di Pemalang. Siauw Giok dan Tan Gien memutuskan menikah tahun 1940.

Pada masa pendudukan di Jepang, ia bersembunyi di Malang. Seiring waktu, ia memimpin organisasi milisi Tionghoa bentukan Jepang bernama Kakyo Shokai. Di organisasi itu, dia mengajak para pemuda Tionghoa untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Caranya, mereka menjalin kerja sama dengan milisi-milisi Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ia bergabung dengan Partai Sosialis pada bulan Desember 1945. Selanjutnya, April 1946, Soekarno menunjuknya sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, lembaga yang menjalankan fungsi parlemen pada awal kemerdekaan.

Ia pun kemudian dijadikan sebagai menteri untuk urusan minoritas dalam kabinet Amir Syarifudin. "Jabatan-jabatan politik ini menunjukkan partisipasi politik Siauw dalam pemerintahan awal Indonesia," tulis Yerry.

Baca juga: Liem Koen Hian, Partisipasi Tokoh Tionghoa di Awal Pemerintahan RI

Saat kabinet Amir jatuh, Siauw bergabung dengan Front Demokrasi Rakyat, sebuah oposisi pemerintah Hatta. Di sini lah, Siauw tak hanya berpolitik mendukung pemerintah, melainkan juga pernah menjadi oposisi.

Pada tahun 1949, ia menjadi anggota Badan Pekerja dan kemudian menjadi anggota DPR RIS. Siauw Giok juga kembali menjalani aktivitas jurnalistiknya pada awal 1950-an. Ia menerbitkan Sunday Courier dan pernah menjadi editor Republik. Setahun kemudian, ia menerbitkan Suara Rakjat yang berubah nama menjadi Harian Rakjat.

Baca juga: Peran Masyarakat Tionghoa dalam Pertempuran 10 November: Ikut Angkat Senjata hingga Dirikan Palang Biru

Pada tahun 1953, koran ini dibeli Partai Komunis Indonesia (PKI). Sekalipun Siauw Giok tidak menjadi anggota resmi di partai tersebut. Ia tetap menjadi kontributor di Harian Rakjat dan menjalin hubungan dekat dengan tokoh PKI seperti Njoto dan Tan Lin Djie.

Dalam kariernya sebagai anggota parlemen, Siauw merupakan pembela komunitas Tionghoa agar mereka bisa mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Ia pun menentang keras diskriminasi ekonomi kepada masyarakat Tionghoa.

Perjuangannya itu dilanjutkan saat ia menjadi Ketua Baperki pada Maret 1954. Baperki merupakan organisasi Tionghoa terbesar saat itu dengan jumlah anggota diperkirakan sebesar 300.000 orang.

Organisasi ini mengusulkan agar masyarakat dan kebudayaan Tionghoa dianggap sebagai salah satu suku bangsa Indonesia. Dengan demikian, mereka tidak perlu mengubur kebudayaan leluhurnya. Kontribusi Baperki meluas ke sektor pendidikan. Baperki menyediakan sekolah-sekolah bagi anak-anak Tionghoa. Bahkan di tahun 1960, Baperki mendirikan Universitas Res Publica.

Meski Baperki bukan organisasi politik, pada tahun 1955, Baperki mendapatkan 180.000 suara dan memperoleh satu kursi di parlemen. Siauw mendapatkan banyak dukungan dari kalangan peranakan, masyarakat Totok, termasuk para pebisnis dan kaum intelektual.

Baca juga: Cerita Tan Jin Sing, Bupati Yogyakarta Keturunan Tionghoa: Intrik Keraton hingga Perang Diponegoro

Pada saat peristiwa 1965 pecah, Baperki yang dianggap lekat dengan PKI ditutup secara paksa oleh militer. Siauw ikut ditangkap beserta pimpinan Baperki lainnya. Ia pun ditahan selama 10 tahun.

Pada tahun 1978, dia diizinkan ke Belanda untuk berobat karena sakit keras. Selama di Belanda, Siauw tetap aktif berpolitik. Ia pun tutup usia pada 20 November 1981, terkena serangan jantung tepat sebelum ia mengisi kuliah di Universitas Leiden.

Siauw meninggal dalam keadaan sedang jauh dari Indonesia, Tanah Air yang sangat dicintainya. Baca tentang Masyarakat Tionghoa dalam Sejarah Indonesia

Artikel ini telah tayang di Kompas.com <http://kompas.com/> dengan judul "Siauw Giok Tjhan, Penggemar Cerita Detektif yang Ajak Pemuda Tionghoa Dukung Kemerdekaan RI",

https://nasional.kompas.com/read/2020/01/26/06525851/siauw-giok-tjhan-penggemar-cerita-detektif-yang-ajak-pemuda-tionghoa-dukung?page=all#page3.
Penulis : Dylan Aprialdo Rachman
Editor : Kristian Erdianto


 Menjadi Indonesia Ala Siauw Giok Tjhan


/04 Februari 2019 , 23:47/
Siauw Giok Tjhan. IstSiauw Giok Tjhan. Ist

*JAKARTA*– Perdebatan mengenai warga negara “asli” dan “tidak asli” telah menjadi persoalan yang pelik jauh sejak sebelum kemerdekaan negeri ini. Bahkan sampai saat ini pun, polemik pribumi dan non pribumi sampai sekarang jadi isu sensitif.

Pidato politik Gubernur DKI Jakarta terpilih tahun 2017-2022 Anies Baswedan menjadi salah satu buktinya. Saat itu, Anies dalam pidatonya mengatakan, berakhirnya masa penjajahan menjadi momentum bagi pribumi untuk menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.

"Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri," kata Anies, dalam pidato pelantikannya, 16 Oktober 2017 lalu.

Dalam konteks kolonial Belanda, istilah non pribumi ini memang lebih disematkan pada orang-orang keturunan bangsa China yang tinggal di Indonesia. Di Indonesia, mereka sendiri terbagi dalam dua kelompok. Sinolog Leo Suryadinata dalamjurnal <http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/view/3464/2744>berjudul “Negara dan Minoritas Tionghoa di Indonesia” (1999) menjelaskan, peranakan China adalah orang keturunan China, yang lahir dari perkawinan campur antara lelaki etnis China yang telah menetap di Indonesia dengan masyarakat pribumi, baik muslim dan nonmuslim.

Peranakan China pun memiliki kebudayaan yang mengandung unsur budaya lokal. Hal itu berbeda dengan China totok, yang tetap mempertahankan budaya China asli. Kendati demikian, keduanya tetap dipandang sebagai orang asing di Indonesia. Leo mencatat setidaknya ada beberapa alasan yang membuat kondisi demikian terjadi.

Meski orang Ambon dan Batak tergolong asing bagi orang Jawa, tetapi orang peranakan China tetaplah berbeda. Argumennya, selain sebagai imigran, mereka tidak memiliki daerah asal di Indonesia. Padahal, peranakan China tersebar ke kota-kota Indonesia.

Selain itu, Leo menjelaskan, kelompok nasionalis sebelum kemerdekaan Indonesia, tidak menganggap mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Hanya kelompok kiri yang mengakui keberadaan mereka. Pemerintah China pun pada suatu masa pernah menganggap bahwa semua orang China, baik yang berada di luar negeri China tetap merupakan warga negaranya.

Sejatinya, bila ditelisik secara historis, peranakan China sebenarnya turut menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan negeri ini. Ada sejumlah tokoh peranakan China yang memainkan peranan penting dalam proses nation building Indonesia.

Adalah Siauw Giok Tjhan, salah satu tokoh peranakan China yang hidup dan matinya rela dipertaruhkan demi persatuan bangsa Indonesia. Pria kelahiran Surabaya tahun 1914 ini boleh dikatakan hampir menghabiskan separuh hidupnya untuk menyatukan peranakan China di Indonesia.

Giok Tjhan adalah tokoh peranakan China yang menentang adanya revisi Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1946 pada tahun 1953. Tak hanya itu, ia turut gigih memperjuangkan Perjanjian Penyelesaian Dwi-Kewarganegaraan. Perjanjian itu menjamin bahwa sebagian besar penduduk Tionghoa kelahiran Indonesia menjadi warga negara Indonesia (WNI).

Siauw Tiong Djin dalam tulisannya pada buku/Sumbangsih Siauw Giok Tjhan dan BAPERKI dalam Sejarah Indonesia/(2000) menyebutkan, usaha Giok Tjhan tersebut berhasil menjadikan sebagian besar orang China kelahiran Indonesia, pada tahun 1965, menjadi WNI.

Giok Tjhan yang menyarankan agar sebaiknya sebagian besar orang China yang hidup di Indonesia itu menjadi WNI, diakui oleh banyak orang pada tahun 60-70 an. Saat itu, kenyataannya lebih dari 70% penduduk China di Indonesia adalah WNI.

Beragamnya suku, ras, dan agama serta pembelahan sosial di masyarakat sebagai dampak politik pecah belah yang dijalankan Belanda pada pasca Indonesia merdeka menuai perdebatan dalam mendefinisikan warga negara Indonesia. Perjalanan hidup Giok Tjhan dan jejak perjuangannya dalam merumuskan undang-undang kewarganegaraan menjadi bukti bahwa sebagai kelompok minoritas, tak mudah untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

Betul jika Giok Tjhan memang sangat berupaya mempertahankan Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1946. UU tersebut menggunakan prinsip "Jus Soli", yang berarti status kewarganegaraan tergantung pada tempat kelahiran. UU tersebut juga menerapkan Stelsel Pasif, yang berarti semua orang dan suku yang menjadi warga negara pada saat yang sama.

Giok Tjhan yakin Stelsel Pasif tak akan menimbulkan istilah "warga negara Indonesia baru"*.*Sebab semua orang yang dilahirkan di Indonesia dinyatakan sebagai warga negara Indonesia. UU tersebut pun dinilainya demokratis karena memberikan hak untuk setiap orang untuk menentukan menerima atau menolak menjadi WNI.

*Integrasi Versus Asimilasi*
Bukan orang China biasa. Itulah julukan yang disematkan Tiong Djin untuk ayahnya, Giok Tjhan. Sementara Soe Tjen Marching, dalamtulisannya <https://anzdoc.com/siauw-giok-tjhan-soe-tjen-marching-1.html%20/t%20_blank>mengatakan, pemikiran Giok Tjhan berangkat dari pengalamannya semasa muda. Semasa sekolah, Giok Tjhan kerap diejek “Cina Loleng”.

Masa muda Giok Tjhan terbilang amat sulit. Sejak usia remaja, Giok Tjhan sudah yatim piatu. Orang tuanya meninggal manakala ia baru menginjak usia 18 tahun. Guna menyambung hidup serta menghidupi adiknya, Siauw Giok Bie yang baru berusia 14 tahun, Giok Tjhan mulai bekerja.

Giok Tjhan menggeluti berbagai bisnis, sebelum ia pada akhirnya berkecimpung dalam dunia jurnalistik. Puncak karier jurnalistik Giok Tjhan yakni ketika ia terpilih menjadi pemimpin redaksi harian Mata Hari tahun 1939-1942. Semasa menjadi jurnalis, ia tak segan mengkritik pemerintahan koloni.

Tiong Djin dalam bukunya menceritakan, pembawaan ayahnya memang berlawanan dengan stereotip orang China pada umumnya. Apalagi sejak usia 18 tahun, Giok Tjhan telah bergabung dengan gerakan perjuangan Indonesia. Bahkan pascakemerdekaan pun, Giok Tjhan tetap aktif dalam gerakan politik yang sebenarnya dianggap sebagai sebuah profesi yang berbahaya oleh orang China.

Berkat aktivitas politiknya sedari belia itu, Giok Tjhan kemudian terlibat langsung politik praktis. Diawali pada tahun 1934, Giok Tjhan bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Dia memutuskan bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1946.

Pada tahun 1946-1966, Giok Tjhan kemudian dipilih menjadi anggota legislatif untuk Komite Nasional Indonesia Pusat dan Badan Pekerjanya. Pada saat yang sama, dia bersama Tan Ling Djie, Oey Gee Hwat dan Go Gien Tjwan, turut memimpin dan mempengaruhi berbagai kebijakan di partai tersebut.

Karir politiknya kian moncer mana kala ia dipilih menjadi menteri di kabinet Amir Sjarifuddin tahun 1947-1948. Tak hanya itu, di Zaman Demokrasi Terpimpin, ia juga diangkat oleh presiden Soekarno sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Namun dari semua karier politiknya itu, pendirian Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) pada tahun 1954, menurut Tiong Djin menjadi karir politik terpenting Giok Tjhan. Baperki adalah organisasi massa yang secara efektif melawan diskriminasi rasial melalui gerakan politik dan pendidikan politik. Orientasinya didasari pada UUD yang berlaku saat itu.

Baperki menjadi organisasi yang memperjuangkan pembangunan “Nasion” Indonesia. Menurut Giok Tjhan, gagasan Nation Building yang kerap digunakan Sukarno adalah kewarganegaraan Indonesia yang sejalan dengan nilai Bhinneka Tunggal Ika.

Giok Tjhan tak senang dengan penggunaan kata “bangsa” untuk menerjemahkan kata “race” dan “nation”. Dua hal ini menimbulkan kerancuan dalam perwujudan nasion yang sejalan dengan semangat kemerdekaan.

“Nasion” yang dikehendaki oleh para pejuang kemerdekaan ialah bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan memiliki kesamaan tekad untuk bersatu dan menjadi bagian dalam Indonesia. Lalu ras, merupakan kelompok manusia yang bersatu karena adanya kesamaan ciri biologis. Sedangkan Nation, merupakan istilah politik yang merujuk pada kelompok manusia yang bersatu karena kesamaan ciri politik.

Berangkat dari konsepsi tersebut, Giok Tjhan menilai tak ada Ras Indonesia, yang ada hanya “Nasion” Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa. Baginya, sejak tahun 1950an, peranakan China di Indonesia telah beregenerasi menjadi Indonesia, sehingga harus memperoleh status suku.

Menurut Siauw, setiap suku harus mengintegrasikan diri ke dalam “Nasion” Indonesia melalui kegiatan politik, sosial dan ekonomi. Tujuannya supaya aspirasi “Nasion” Indonesia itu menjadi aspirasi setiap suku, termasuk suku China.

Dari pemikiran itu pula, kata Tiong Djin, muncul gagasan konsep integrasi Giok Tjhan. Integrasi menjadi metode yang efektif dalam rangka mewujudkan “nasion” Indonesia, yang sejalan dengan prinsip nilai Bhinneka Tunggal Ika. Melalui organisasi Baperki lah, Giok Tjhan berupaya memperjuangkan hak-hak kewarganegaraan peranakan China di Indonesia.

Secara garis besar, Giok Tjhan menginginkan integrasi peranakan China menjadi warga negara Indonesia. Integrasi yang dimaksud adalah menjadikan peranakan China di Indonesia sebagai WNI sebanyak mungkin, tanpa menghilangkan identitas ke-China-annya.

Konsepsi Giok Tjhan tersebut diamini oleh Presiden Sukarno pada tahun 1963. Secara tegas, Sukarno mengatakan suku China dan orang China tak perlu mengganti nama, agama, dan kawin campuran demi berbakti kepada Indonesia.

Akan tetapi, pada saat yang sama, muncul pula penolakan terhadap gagasan Giok Tjhan tersebut. Penolakan itu pun datang dari kelompok peranakan China pula.

Pada awal 1960-an, muncul Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) dengan gagasan asimilasi sebagai solusi mengatasi persoalan kewarganegaraan peranakan China di Indonesia.

Diceritakan Tiong Djin, konsepsi asimilasi tersebut menginginkan agar peranakan China di Indonesia menanggalkan semua kebudayaan China-nya, mulai dari mengganti nama, dan melakukan perkawinan campuran. Hanya dengan begitu, menurut kelompok pendukung asimilasi, dapat membuat golongan China di Indonesia tak lagi terpisah dari golongan mayoritas.

Sebenarnya, Giok Tjhan tak menentang proses asimilasi selama hal itu dilakukan secara suka rela. Tapi bila proses tersebut dilakukan secara paksa, menurutnya justru mengarah ke praktik genosida.

Konsepsi integrasi yang digagas Giok Tjhan kemudian digolongkam dengan solusi “kiri”, sedangkan konsepsi asimilasi yang dicanangkan LPBK disebut sebagai solusi “kanan”. Keterkaitan ini menguat lantaran Giok Tjhan memiliki keterikatan dengan rezim Demokrasi Terpimipin dibawah kekuasaan Sukarno dan dipandang pro dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Alhasil, Giok Tjhan bersama Baperki pun menjelma jadi tokoh peranakan China yang berpengaruh saat itu.

*Tuduhan PKI*
Giok Tjhan dan Baperki tak hanya mengurus perkara perumusan Undang-undang Kewarganegaraan saja. Baperki di bawah kepemimpinannya turut berkembang sebagai institusi pendidikan swasta yang ditujukan untuk menanamkan kecintaan terhadap bangsa Indonesia kepada pelajar peranakan China yang tak tertampung di sekolah-sekolah umum.

Tak hanya itu, Giok Tjhan turut berkontribusi dalam perumusan program ekonomi nasional. Dia menganjurkan agar dilakukan pengembangan terhadap pemilik modal domestik, tanpa melihat latar belakang ras pemiliknya. Menurut Giok Tjhan, pemilik modal domestik lebih memedulikan kesejahteraan rakyat dibandingkan dengan pemilik modal luar negeri.

Sayang, meski pemikiran Giok Tjhan sejalan dengan tujuan persatuan dan keutuhan bangsa Indonesia, perjuangannya untuk mengawal pembangunan negeri ini harus berakhir. Kedekatan Siauw dengan rezim Sukarno dan PKI membuatnya dituduh sebagai komunis.

Padahal, Soe Tjen Marching menyebutkan, Siauw sering terlibat konflik dengan Aidit. Saat ulang tahun PKI misalnya, ia mengkritik Aidit yang berpenampilan layaknya menteri. Ia menilai Aidit terlalu elitis dan mementingkan posisi dalam pemerintahan.

Selain itu, meski gagasan ekonomi Giok Tjhan seperti Marxist, namun Giok Tjhan dinilai mencoba memadukan gagasan sosialis dan kapitalis. Perekonomian dirasa Giok Tjhan tak akan berkembang bila tak ada perpaduan dari kedua gagasan itu.

Stigma Giok Tjhan sebagai komunis itu menurut Tiong Djin masih melekat sampai sekarang. Namun menurutnya, sejarah akan membuktikan bahwa tuduhan yang datang dari LPKB dan didukung oleh rezim Orde Baru tidak lah benar. Giok Tjhan pun tak pernah menjadi anggota PKI.

Ironinya, Giok Tjhan justru tertuduh sebagai komunis. Peristiwa 30 September 1965 menjadi akhir karir Giok Tjhan dalam perpolitikan Indonesia.

Naiknya rezim Suharto menggantikan Sukarno tahun 1966 sukses memporakporandakan segala perjuangan Giok Tjhan untuk membangun Nasion Indonesia yang sejalan dengan konsepsi integrasinya.

Di bawah kekuasaan rezim Orde Baru Suharto, Baperki dibubarkan. Giok Tjhan dipenjarakan tanpa proses pengadilan dan baru bebas pada Mei 1978. Mendekam di penjara membuat kesehatan Giok Tjhan memburuk. Ia pun setelahnya pergi ke Belanda untuk menjalani pengobatan penyakit komplikasi yang dideritanya, sekaligus menghindari rezim otoriter Suharto.

Tanggal 20 November 1981, Giok Tjhan meninggal. Satu yang menjadi pembeda pemikirannya, adalah golongan China perlu bergerak secara akar rumput untuk melakukan pembaharuan.*(Dana Pratiwi)*



 Tionghoa Dari Hari Ke Hari

/NUSANTARA/ SELASA, 27 AGUSTUS 2019 , 17:59:00 WIB |*OLEH*: REDAKSI

Tionghoa Dari Hari Ke Hari <https://www.rmolbengkulu.com/images/berita/2019/08/783900_06010627082019_488745_05533027082019_zulkifli_lubis-650x320.jpg>

Zulkifli Lubis (tengah)/Net

BEBERAPA hari Pasca 17 Agustus 1945, first step yang dilakukan Sukarno adalah membentuk Badan Intelijen. BERITA TERKAIT <https://www.rmolbengkulu.com/read/2019/08/27/18880/Tionghoa-Dari-Hari-Ke-Hari-#> Anti Hoax News Inside A <https://www.rmolbengkulu.com/read/2019/08/27/18880/Tionghoa-Dari-Hari-Ke-Hari-#>

Dua puluhan pengusaha Tionghoa dikumpulkan. Di depan mereka, Sukarno kurang-lebih berkata, "Kita baru saja mendirikan negara baru. Salah satu yang dibutuhkan negara adalah sebuah badan intelijen. Tapi kita tidak punya uang".

Para pengusaha Tionghoa setuju bantu. Sumbang duit. Maka "Badan Istimewa" dibentuk.

Seorang jebolan Sekolah Intelijen Jepang Nakano di Tangerang bernama Kolonel Zulkifli Lubis bersama 40 veteran PETA (penyelidik khusus militer) memimpin lembaga rahasia itu.

Bulan Mei 1946, "Badan Istimewa" ganti nama jadi "Badan Rahasia Negara Indonesia" disingkat "Brani".

Pasca Agresi Belanda II atau Operatie Kraai, Zaman Orde Lama dimulai.

Hanya ada dua golongan Tionghoa; Pro Tiongkok dan Pro Republik Indonesia. Tionghoa Pro Belanda meleburkan diri ke barisan Pro Republik Indonesia.

Tionghoa Pro Tiongkok semakin mengecil dan terisolasi pasca pertemuan PM Zhou Enlai dengan Ketua Baperki Siauw Giok Tjan di Jakarta.

Pertarungan ganas pecah di internal Tionghoa Pro Republik Indonesia. Siauw Giok Tjan memimpin Peranakan Pro Sukarno. Sebarisan dengan element Progressive Revolusioner.

Lawannya adalah Klik Tionghoa Poros Taiwan penentang Sukarno. Pertarungan konsep integrasi dan asimilasi.

G-30S/PKI pecah tahun 1965. Tiongkok support PKI. Sukarno tumbang. PKI kocar-kacir. Baperki dan Kelompok Tionghoa Pro Sukarno jadi collateral damage.

Semasa Orde Baru, Klik Tionghoa pemenang membentuk CSIS. Menyerap residu Tionghoa menjadi Kristen-Katolik. Lahirkan banyak konglomerat. Bareng keruk kekayaan alam.

Sampai Jenderal LB Murdani dicopot Pak Harto. Jadi macan ompong. Peran CSIS diganti ICMI.

Dekade terakhir Pak Harto, Setelah era cold war, lahir generasi Tionghoa Baru. Andreas Harsono dan Stenly Prasetyo gabung di Aliansi Jurnalis Independen.

Masuk era reformasi, 500-an perkumpulan Tionghoa muncul. Ex CGMI Benny G Setiono ikut melahirkan Perhimpunan Indonesia Tionghoa. Lieus Sungkharisma mendeklarasikan Partai Reformasi Tionghoa disingkat Parti di Gedung KNPI Jakarta.

Pemenang Era Reformasi adalah Taipan Tionghoa. NGO Solidaritas Nusa Bangsa pimpinan aktivis Ester Indahyani Jusuf Purba atau Siem Ai Ling disokong James Riyadi.

Mantan Bupati Belitung Timur Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok ditampung Grup Sinar Mas.

Ahok dan segenerasinya memetik panen reformasi di tahun 2004. Dia masuk Partai PIB. Jadi kesayangan Dr. Syahrir dan Rocky Gerung yang menjadi mentornya.

Kulminasi sukses Tionghoa reformis adalah terlibat menciptakan skenario Jokowi-Ahok.

Jokowi jadi presiden. Ahok jadi Gubernur DKI Jakarta. Kepleset lidah. Ahok tumbang dihantam Aksi Bela Islam 1 sampai 3 dan Lieus Sungkharisma.

Sejak Era Ahok, provokasi "Anti Cina" menguat. Politics of hatred. Tuntutan kembali ke UUD 45 text asli hanya berkutat pada pasal 6. Anulir pasal-pasal baik hasil amandemen. Hanya karena ingin tutup kemungkinan WNI Tionghoa jadi presiden.

Layaknya semua kelompok ethnik, Tionghoa tidak monolith. Fragmentasinya banyak. Ada yang pro NKRI, cari duit, ngartis, mualaf, Papang Hidayat Tionghoa Lampung masuk Amnesty Internasional urus korban 21-22 Mei, dan beberapa orang memilih jadi antek-antek Taipan.

Grace Natalie diplot tampil di atas panggung PSI. Arief Poyuono dikenal sebagai waketum Gerindra dan klaim diri sebagai titisan semar". Jusuf Hamka yang pernah ditangkap Hendropriyono dengan tuduhan terlibat Komando Jihad jualan Nasi Kuning. Sementara Lieus Sungkharisma giat kampanye pulangkan Habib Rizieq Shihab.

Minoritas Tionghoa harus tahu diri. Publik mesti paham; Para player politik-ekonomi yang kebetulan beretnis Tionghoa jumlahnya sedikit.

Rata-rata Tionghoa hanya ngerti hidup dan kerja. Sesekali berkarya di bidang seni. Cari nafkah. Ngga peduli kekuasaan negara. Lebih suka makan duren.

/Penulis adalah Aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak)
/


Kirim email ke