Skema pembiayaan ibukota Baru
By Erizeli Jely Bandaro
Jokowi telah menegaskan bahwa pembangunan ibukota Baru yang  rencananya menelan 
anggaran mencapai total Rp485,2 triliun. APBN nantinya akan menyumbang sekitar 
19,2 persen atau setara dengan Rp 93,5 T yang dianggarkan secara multiyear. 
Tahun 2020 hanya dialokasikan sebesar Rp. 2 triliun. Dana ini untuk membangun 
infrastruktur dasar seperti pembukaan lahan,  jalan, jembatan, dan Istana 
presiden. Lantas darimana sisanya ?  Perhatikan skema sebagai berikut.
Lahan.
Karena semua lahan di ibukota baru seluas 180 ribu hektar milik negara maka 
negara bukan hanya sebagai regulator tetapi juga sebagai pemilik. Lahan itu 
sebelum ada infrastruktur dasar tentu tidak ada harganya. Tetapi setelah 
disediakan infrastruktur dasar maka harga tanah akan naik valuenya.  Nah seluas 
30.000 hektar lahan itu akan dijual kepada publik. Rencana harganya beragam 
namun maksimum Rp 2 juta per M2,
Infrastruktur umum.
Nah untuk pembangunan Bandara, pembangkit listrik, backbone IT dan 
telekomunikasi, water supply ( PDAM), MRT, rumah sakit,  Universitas, 
pemerintah menerapkan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). 
Artinya Swasta ( lokal maupun asing ) atau BUMN boleh membangun proyek 
infrastruktur dengan uang mereka sendiri dan berhak mengelola itu sebagai 
konsesi bisnis dalam jangka waktu tertentu.  Artinya setelah rentang waktu 
konsesi habis, harus kembali kepada negara.  Kalau mereka untung, mereka harus 
bayar pajak. Sementara tarif tetap ditentukan oleh pemerintah sesuai UU. Yang 
sudah berminat menerapkan pola KPBU ini adalah UEA, AS, Hongaria, dan beberapa 
negara lain termasuk China. Sampai kini tidak ada satupun investor yang mundur. 
Kenapa harus dibatalkan.?
Untuk membangun kantor pemerintahan dan lembaga tinggi negara, diterapkan 
dengan skema Kerjasama Pemanfaatan (KSP). Lahan dan bangunan yang ada di 
Jakarta di KSO kan dengan swasta dengan kewajiban Swasta membangun gedung 
pemerintahan di Ibukota Baru. Walau ibukota pindah, Jakarta tetap sebagai kota 
bisnis. Lahan di semua gedung pemerintahan yang ada di Jakarta sekarang berada 
di kawasan emas. Ini pasti menarik bagi investor mengikuti tawaran kersama. 
Sementara gedung yang ada di Jakarta akan meningkatkan PAD PBB bagi Jakarta. 
Sementara untuk membangun perumahan karyawan bagi ASN,  Pusat komersial, Hotel, 
Mall, negara menjual lahan kepada developer seharga Rp. 2 juta per M2.  Tentu 
harga ini bervariasi tergantung peruntukannya. Negara bisa tentukan harga yang 
flexible agar harga  proporsional dengan kelas penghuni. Jadi adil.  Dari 
penjualan lahan ini negara sedikitnya dapat uang sebesar Rp. 400 triliun.  
Hampir semua developer besar tertarik mendapatkan peluang dari proyek ini.
Nah kalau  APBN hanya keluar sebesar Rp93,5 triliun, sementara pemasukan Rp. 
400 T, itu namanya untung. Mengapa harus dibatalkan.? Emangnya proyek Formula E 
hanya dapat angin dan tekor pula. Jadi yang minta anggaran ibukota dibatalkan,  
sebenarnya dia engga paham program pembiayaan Ibukota baru.

Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone

Kirim email ke