Teruskan bacanya, supaya tahu apa dampak pertambangan nikel bagi pertanian di 
Morowali. Jangan mengkerdilkan cara berpikir kita: 12000 motor seolah-olah 
membuat orang lebih makmur...Padahal orang belinya juga dengan krediiiit!!! 
ha...ha...ha  bukankah itu omong asal jeplak!!!???? Kalau kekuatan rakyat 
sekarang belum mampu mencegah semua kejahatan ini, tidak berarti rakyat 
berpangku tangan dan tidak melawan!!! Hanya kaum revisionis dan reformis yang 
dari menara gadingnya menjajakan pepesan kosong: kolaborasi dengan kelas 
penguasa...




Studi: Tambang Nikel Telah Menggusur Pertanian di Kabupaten Morowali
oleh Christopel Paino, Palu di 9 January 2015Asumsi ekonomi bahwa tumbuh 
suburnya investasi pertambangan di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, secara 
otomatis akan meningkatkan nilai tukar masyarakat, ternyata tidak demikian.Hal 
ini diungkapkan oleh Andika, peneliti muda asal Sulawesi Tengah, dalam sebuah 
laporan berjudul “Booming Nikel, MP3EI, dan Pembentukan Kelas Pekerja, Studi 
Perubahan Tata Guna Lahan dan Pembentukan Kelas di Kabupaten Morowali”. Laporan 
ini dituliskan dalam kertas kerja yang diterbitkan oleh Sajogyo 
Institute.Andika mengatakan bahwa perluasan ekonomi tambang nikel kian 
menggusur kegiatan produksi pertanian sebagai sumber pendapatan utama Kabupaten 
Morowali. Dari hasil analisis product domestik regional bruto (PDRB) tahun 
2007, ekonomi masyarakat Morowali bertumpu pada kegiatan-kegiatan 
seperti,pertama: sektor pertanian, yang memberikan andil sebesar 46,32 persen 
terhadap total PDRB atas dasar harga berlaku. Kedua, sektor turunan seperti 
perkebunan, perikanan, kehutanan dan tanaman bahan makanan, yang masing-masing 
memberikan andil sebesar 25,93 persen, 7,04 persen, 6,17 persen dan 5,89 
persen.Sementara sektor pertambangan dan penggalian, memberikan kontribusi 
20,90 persen terhadap total PDRB, peran subsektor pertambangan mencapai 20,45 
persen. Lonjakan pertumbuhan fantastis terjadi dalam kurun waktu 2006-2007 
yakni sektor pertambangan dan penggalian masing-masing 141,77 persen tahun 2006 
dan 105,93 persen pada tahun 2007.“Hal itu didorong sumbangan sektor migas yang 
dikelola oleh Job Pertamina Medco Expan Tomori di Kecamatan Mamosalato, dan 
telah berproduksi selama tiga tahun. Peranan rill sektor pertambangan terhadap 
PDRB yaitu 18, 57 persen tahun 2008 naik menjadi 26,67 persen pada tahun 
2012.”Menurutnya, untuk usaha ekonomi yang telah dikembangkan secara 
turun-temurun seperti padi dan palawija hanya mengalami sedikit peningkatan 
produksi. Hal ini terjadi akibat tingginya alih fungsi lahan dari tanaman 
pangan ke perkebunan yang diasumsikan bisa memberikan pendapatan yang lebih 
baik.Sementara, percetakan sawah baru lebih kecil dibandingkan investasi pada 
sektor perkebunan seperti, kelapa, kelapa sawit, coklat serta sektor 
pertambangan. Jika merujuk pada Morowali dalam angka tahun 2011, katanya, 
peruntukan lahan hanya berkisar 1 persen kawasan pertanian tanaman padi atau 
sebesar 12.347 hektar berupa padi sawah dan padi ladang.Jumlah itu jauh lebih 
kecil, jika dibandingkan dengan luas lahan perkebunan sawit tahun 2010, yang 
mencapai 28.010 hektar. Sementara, jumlah keseluruhan luas wilayah yang 
difungsikan untuk izin pertambangan sebesar 104.927,19 hektar, dengan pembagian 
sebagai berikut: masing-masing luas lahan untuk izin pertambangan nikel sebesar 
103..556,36 hektar, chromit 10,83 hektar, dan marmer 1.360,00 hektar.“Penetrasi 
modal dalam dunia pertanian juga terus meningkat, hal itu menunjukkan pola dan 
dinamika penguasaan lahan semakin terkosentrasi. Berdasarkan angka sementara 
hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah perusahaan pertanian 
berbadan hukum di Kabupaten Morowali mengalami peningkatan sebanyak 11 
perusahaan dari 6 perusahaan pada tahun 2003, lalu menjadi 10 perusahaan pada 
tahun 2013.”Berdasarkan angka sementara hasil pencacahan lengkap Sensus 
Pertanian 2013, jumlah usaha pertanian di Kabupaten Morowali sebanyak 36.473 
dikelola oleh rumah tangga, sebanyak 10 dikelola oleh perusahaan pertanian 
berbadan hukum dan sebanyak 12 dikelola oleh selain rumah tangga dan perusahaan 
tidak berbadan hukum.Pembabatan hutan mangrove yang telah dilakukan sejak 
Oktober 2011. Foto: Jatam SultengSimbol kemakmuranDalam penelitiannya itu 
Andika menyebutkan bahwa Anwar Hafid sebagai bupati periode 2008-2012, lalu 
kini terpilih lagi untuk periode 2013-2017, menggalakkan kampanye program 
politiknya. Visi itu adalah “Morowali Kabupaten Agrobisnis (Si’E) Tahun 
2012.”Pengertian Si’E diambil dari kata bahasa daerah dua etnis terbesar di 
Kabupaten Morowali yaitu etnis To Bungku dan To Mori, yang keduanya memberikan 
arti dan makna kata Si’E adalah “lumbung pangan/beras atau bangunan tempat 
penyimpanan beras”. Dengan demikian Si’E juga dimaknai sebagai simbol 
kemakmuran bagi suatu daerah oleh orang-orang Morowali pada umumnya.“Tetapi 
faktanya, janji perbaikan kondisi pertanian dan perikanan dalam program Si’E, 
tak pernah terealisasi. Namun yang terjadi justru lahan-lahan pertanian semakin 
masif dialih fungsi menjadi blok-blok produksi komoditi nikel,” katanya.Luas 
daratan Kabupaten Morowali, hanya 14.489,62 kilometer persegi atau sekitar 1,4 
juta hektar. Namun, lebih dari separuh daratan tersebut kini dikuasai izin 
konsesi untuk pertambangan atau perkebunan. Laporan Pemerintah Kabupaten 
Morowali ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan, ada 144 
izin usaha pertambangan (IUP) yang meliputi area sekitar 440.000 hektar.Namun, 
berdasarkan data panitia khusus (Pansus) Tambang dan Pengelolaan Lingkungan 
DPRD Kabupaten Morowali, ada 185 IUP di area sekitar 500.000 hektar plus 1 
(satu) Kontrak Karya (KK). Selain itu, juga terdapat izin konsesi bagi 
perkebunan skala besar seperti sawit. Perkebunan sawit yang dikelola oleh 
sejumlah perusahaan mencapai 250.000 hektar. Ini belum termasuk izin untuk 
perkebunan lain, dan sekitar 200.000 hektar hutan lindung.Dengan demikian, kata 
Andika, jika konsesi pertambangan, sawit, dan hutan lindung, serta perkebunan 
lain disatukan, maka setidaknya satu juta hektar daratan Morowali secara hukum 
tak boleh dimanfaatkan oleh warga untuk permukiman, persawahan, atau aktivitas 
lain.“Artinya, hanya ada kurang dari 500.000 hektar saja wilayah kabupaten itu 
yang boleh dimanfaatkan ruangnya,” katanya.Selain itu, akibat dari produksi 
ruang bagi kepentingan investasi sektor pertambangan, mayoritas petani 
terlempar dari arena produksi pertanian. Seringkali masyarakat setempat tidak 
berdaya terhadap status perusahaan tambang yang sudah lebih dulu masuk ke 
wilayah mereka tanpa permintaan persetujuan dan penjelasan yang jujur tentang 
cara kerja beserta dampak pertambangan.Tradisi ekonomi pun berputar pada 
homogenitas komoditi utama yakni pertambangan. Meski terbilang murah, 
masyarakat seakan dipaksa oleh keadaan untuk mengikuti standar ganti yang 
ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Morowali yaitu Rp 3.500 per meter bagi 
tanah yang bersertifikat.Kayu-kayu yang ditebang kala perusahaan mulai membuka 
tambang di Cagar Alam Morowali. Foto: Jatam SultengSementara itu, bagi tanah 
yang tidak memiliki sertifikat dibolehkan menjual dengan harga yang mereka 
tentukan sendiri, yang dibawah standar pemerintah. Sedang hasil penjualan tanah 
dan aktivitas produksi menimbulkan ketergantungan yang tinggi terhadap peluang 
dan siklus putaran transaksi keuangan di tingkat pedesaan yang sangat 
dipengaruhi ekonomi pertambangan misalnya, dana community development, royalti, 
dan program-program CSR.“Proses-proses ini disaat yang sama memicu efek domino 
ekonomi berupa tumbuh suburnya tengkulak, makelar tanah, pedagang eceran, 
kreditor barang-barang elektronik, pedagang campuran, dan bengkel kendaraan 
bermotor. Demikian pula dengan migrasi tenaga kerja dari luar daerah, bertambah 
signifikan,” kata Andika.Sehingga dengan demikian, kehadiran tambang tak 
mengubah perwajahan lama, angka kemiskinan di Kabupaten Morowali justru semakin 
meningkat tajam, terutama dipicu oleh friksi kapital yang menguasai lebih besar 
lahan dari pada ruang kelola masyarakat, baik produksi pangan lokal maupun 
produksi tanaman komoditas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 menunjukkan, 
sekitar 40.000 jiwa dari sekitar 210.000 jiwa penduduk Morowali masih tergolong 
miskin.Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Kirim email ke