-- j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2056-tarik-ulur-ruu-pks Kamis 09 Juli 2020, 05:00 WIB Tarik Ulur RUU PKS Administrator | Editorial SEKALI lagi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunjukkan gelagat ketidakberpihakan mereka terhadap rakyat. Padahal, sesuai namanya, mereka seharusnya adalah wakil rakyat, mereka semestinya satu barisan dengan rakyat. Akan tetapi, mereka malah seperti tak bosan-bosannya berseberangan dengan rakyat. Ketidakberpihakan mereka kali ini ditunjukkan melalui pencabut an Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Ini menjadi salah satu kabar paling memilukan di tengah situasi pagebluk covid-19 yang tak berkesudahan. RUU PKS senyatanya sangat dinanti-nanti sebagai payung hukum terkait dengan kekerasan seksual. Mengapa? Saat ini, di Republik ini, isu kekerasan seksual tidak terjangkau oleh aturan hukum mana pun. Aturan perundang-undangan yang ada, sebutlah KUHP dan KUHAP, amat tidak memadai untuk bisa mengatasi kasus kekerasan seksual. Tidak memadai dalam arti bahwa ada kesenjangan hukum yang nyata dalam isu kekerasan seksual tersebut. Proses hukum kasus-kasus jenis itu selama ini justru kerap tidak memenuhi keadilan terhadap korban. Alih-alih berpihak, proses hukum yang bertele-tele dan acap bias gender itu malah makin meningkatkan trauma korban. Dalam beberapa kasus, korban bahkan ditempatkan sebagai pihak yang bersalah. Intinya, hukum kita saat ini tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi korban. Hukum tidak sanggup menjangkau pemulihan korban kekerasan seksual dari traumanya. Yang terjadi sungguh memiriskan, korban kekerasan seksual pada akhirnya dibiarkan menyelesaikan masalahnya sendiri. Dalam bahasa keras mungkin bisa kita katakan perlindungan negara terhadap korban kekerasan seksual nihil. Tidak bisa dimungkiri, dengan kondisi sekarang ini masyarakat Indonesia sangat rawan mengalami kekerasan seksual. Data menunjukkan jumlah kasus kekerasan seksual terus meningkat. Ambil contoh data dari Komnas Perempuan yang mencatat pada 2018 menerima laporan 406.178 kasus dan pada 2019 naik menjadi sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebagian besar merupakan kekerasan seksual. Angka-angka itu akan semakin bicara bila kita tambah dengan data lain dari komisi yang sama, yang menyebutkan bahwa pada masa pandemi terjadi peningkatan 75% kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebagian besar tentu juga merupakan kekerasan seksual. Pada alasan-alasan prinsip itulah sejatinya kebutuhan akan sebuah payung hukum bernama RUU PKS disandarkan. Aturan hukum yang sejak awal disusun komprehensif dan berperspektif korban. Inilah suluh yang diharapkan mampu memberi jalan terang bagi upaya menekan angka kasus maupun korban kekerasan seksual. Tak cuma fokus pada penindakan, tapi juga penanganan, pemulihan, dan yang terpenting pencegahan. Tidak ada sikap lain saat ini selain kita mendesak DPR memasukkan lagi RUU PKS ke dalam prioritas pembahasan untuk 2020. Publik sudah bersuara keras, kini giliran gebrakan dari gedung parlemen yang kita tunggu. Kita yakin tidak semua anggota ataupun fraksi setuju dengan pencabutan RUU tersebut dari Prolegnas 2020. Sejumlah fraksi bahkan terlihat ngotot mengembalikan RUU itu ke pembahasan. Inilah saatnya bagi Anda memperlihatkan keberpihakan kepada masyarakat, kepada korban-korban kekerasan seksual yang selama ini tak mendapat keadilan, kepada perempuan dan anak-anak yang amat rawan mengalami kekerasan karena tidak memperoleh cukup perlindungan dari negara. Anda adalah wakil rakyat, maka wakililah kepentingan rakyat, jangan wakili kepentingan-kepentingan yang lain. Jika fraksi atau anggota DPR ogah mengembalikan RUU PKS ke prolegnas, tidaklah berlebihan bila para ketua umum partai politik turun tangan. Negeri ini darurat kekerasan seksual. Saatnya pemimpin politik jangan berpangku tangan. Sumber: https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2056-tarik-ulur-ruu-pks