Refleksi : Dalam tulisan saya yang berjudul Proses Demokrasi di Indonesia era 
``reformasi``  saya katakan  bahwa : Demokrasi adalah gerakan besar-besaran 
dari masyarakat luas melawan tatanan ekonomi,politik dan hukum neoliberal, yang 
menindas dan menghalangi adanya perubahan tatanan sosial yang lain, yang dalam 
konteks ini adalah kembali ke UUD 45 dan Pancasila 1 Juni 1945, yang 
memungkinkan rakyat untuk dapat merubah struktur masyarakat neoliberal, yang 
memihak pada neokolonialisme, dan Feodalisme, sehingga bangsa Indonesia dapat 
menjalankan tugasnya untuk menyesaikan tugas-tugas Revolusi Indinesia, yang 
menuju pada suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang sudah kita setujui 
bersama.

 

Semua ekonom yang patriotik dan Pacasilais pasti mendukung UUD 45 khususnya 
Pasal 33 UUD 45, dan Pancasila 1 Juni 1945. Menurut pengamatan saya rezim 
``reformasi`` sekarang ini sudah keluar dari koridor Konstitusi negara kita, 
yaitu UUD 45 kgususnya Pasal 33 UUD 45, dan Pancasila 1 Juni 1945; dan berpijak 
pada ideologi Neoliberalisme. Rakyat Indonesia pada umumnya telah merasakan 
adanya menyimpangan-penyimpangan yang sangat serius dari rezim ´´Reformasi`` 
dalam menjalankan tugasnya yaitu tugas untuk menjalankan Konstitusi Negara 
yaitu UUD 45, khususnya Pasal 33 UUS 45 dan Pancasila 1 Juni 1945. 
Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh rezim ``reformasi`` itu tercermin 
dalam kebijakan-kebijakanny yang didasari pada doktrin Neoliberalisme, yang 
berdampak sangat  negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. 

 

Betapa tidak, karena Neoliberalisme adalah doktrin pasar yang tidak sempurna: 
kemakmuran mereka muncul karena kekuasaan politik berada di tangan para 
individu-individu yang egois dalam mengejar kepentingannya sendiri; dalam 
konteks ini kaum neoliberal (neolib) menghendaki agar supaya peranan negara 
harus diperkecil, ini tercermin dalam kebijakan rezim Neolib di era 
´´reformasi´´, termasuk rezim Jokowi-JK yang hobinya menjual barang-barang dan 
aset milik Negara (BUMN) , untuk disesuaiakan dengan skema Priwatisasi di 
Indonesia  yang telah diprogram oleh IMF dan Bank Dunia, dalam konteks ini IMF 
dan Bank Dunia akan memberikan preoritas investasi kepda sektor swasta dalam 
bentuk Privatisasi di Indonesia , kepada mekanisme globalisirung, dan 
Neoliberalisme, bukan pada preoritas sosial; atau secara singkat dapat 
dikatakan bahwa IMF dan Bank Dunia secara terang-terangan telah melakukan 
serangkaian interfensi langsung terhadap kedaulatan perekonomian Indonesia, ini 
tercermin dalam bebentuk penempatkan kedaulatan Pasar diatas kedaulatan Rakyat. 
Dampaknya adalah NKRI telah kehilangan berbagai macam kedaulatannya misalnya 
dibidang Perekonomian, Budaya, Teknologi. Energi, Obat ,Pangan, Industri, dll. 
NKRI telah dijadikan negara yang hidpnya tergantung pada Utang luarnegeri.

 

Dari uraian diatas jelas kiranya mengapa rezim ``reformasi`` Jokowi-JK ditolak 
oleh rakyat Indonesia, yang setia pada tujuan Proklamasi kemerdekaan Indonesia 
yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Harus disadari bahwa 
Proklamasi kemerdekaan Indonesia Nasional  kita bukan sekedar manifesto 
politik,tetapi lebih dari itu,ia adalah juga merupakan  manifesto Kultural. 
Jadi Proklamasi kemerdekaan kita adalah merupakan kulminasi dari 
tuntutan-tuntun kultural yaitu :  Demokrasi Pancasila. ekonomi Pancasila yang 
sejalan dengan UUD 45 khususnya Pasal 33 UUD 45, pembebasan diri dari 
cengkeraman kaum Feodal dan neoliberal, yang telah membuka lebar-lebar bagi 
masuknya neokolonialisme di NKRI, melaksanakan berlangsungnya proses emansipasi 
Rakyat Indonesia dalam keseluruhan aspek kehidupannya, dan menjaga harga diri 
dan jati diri sebagai bangsa yang mandiri dalam suatau NKRI. Proklamasi 
Kemerdekaan kita mengabsahkan dan memberi dimensi bagi misi-misi kultural ini.

 

Tapi ternyata di era ``reformasi`` yang sudah 20 tahun berlalu ini, kita bangsa 
Indonesia masih terus menghadapi rintangan-rintangan yang nyata, yang datang 
dari rezim Jokowi-JK yang mengklaim dirinya sebagai orang-orang  reformis.  Ini 
tercermin dalam kebijaksanaan rezim ``reformasi``  yang melarang rakyat untuk 
menyampaikan pendapatnya yang menolak rezim ``reformasi`` yang tidak memihak 
pada tuntutan-tuntukan kultural Prokalmais Kemerdekaan kita. Padahal Proklamasi 
Kemerdekaan kita mengabsahkan dan memberi dimensi bagi misi-misi kultural ini 
tersebut.

Penolakan dan pelarangan rezim ``reformasi`` terhadap gerakkan rakyat yang 
menyuarakan pemilu 2019 ganti presiden adalah merupakan suatu bukti bahwa rezim 
``reformasi``Jokowi-JK  adalah rezim yang anti demokrasi yang diatur oleh 
Pancasila 1 Juni 1945, dan UUD 45; sikap anti Pancasila rezim ``reformasi`` ini 
tercermin dalam  kebijakan-kebijakannya, yang telah disesuaikan dengan 
demokrasi yang diatur oleh ideologi Neoliberalisme, yang diselimututi kain 
sutera yang disebut BPIP, untuk mensahkan ideologi Neoliberalisme, agar supaya 
diterima oleh rakyat Indonesia.

Bisa dipercaya bahwa BPIP itudak akan melawan Ideologi Neoliberalisme yang 
dipraktekan oleh rezim neolibral Jokowi-JK.

Kesimpulannya adalah: Larangan dan penolakan seruan pemilu 2019 ganti Pewsiden 
adalah suara kaum Neoloiberal, yang kini telah mendominasi kekuasaan politik di 
NKRI. 

 

Roeslan.

 

 

 

 


-------- 轉寄郵件 -------- 


主旨: 

[GELORA45] Rizal Ramli: Kirim Dong Aktivis Pro Jokowi Debat Kalau Memang Jagoan


日期: 

Tue, 28 Aug 2018 14:00:32 +0000 (UTC)


從: 

ajeg ajegil...@yahoo.com [GELORA45]  <mailto:GELORA45@yahoogroups.com> 
<GELORA45@yahoogroups.com>

                
                



  

Rizal Ramli: Kirim Dong Aktivis Pro Jokowi Debat Kalau Memang Jagoan

SELASA, 28 AGUSTUS 2018 , 14:14:00 WIB | LAPORAN: BUNAIYA FAUZI ARUBONE

 

RMOL. Aksi penolakan dan pengadangan deklarasi hashtag #2019GantiPresiden di 
berbagai daerah dinilai sebagai kemunduran demokrasi.

Aktivis senior, DR. Rizal Ramli mengatakan, pengadangan diskusi semacam itu 
bukanlah ciri-ciri dari sebuah negara yang berpegang pada faham demokrasi.

"Hari ini saya terkejut, kok orang mau mengadakan pertemuan dihadang, dilarang. 
Mau adakan diskusi tidak boleh. Jangan tarik mundur demokrasi," tegasnya kepada 
wartawan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (28/8).

 

RR, sapaan akrab Rizal Ramli pun menceritakan pengalaman dia semasa muda, yang 
memperjuangkan demokrasi saat pemerintahan otoriter, era orde baru. Ketika itu, 
dirinya bersama kawan-kawan sempat dipenjara selama bertahun-tahun.. Namun hari 
ini, demokrasi yang diperjuangkan seakan ditarik mundur.

 

"Kita memperjuangkan demokrasi, saat itu yang muda-muda termasuk angkatan 98 
dengan keringat dan darah. Jangan tarik mundur demokrasi," ujarnya.

 

Menurut RR, jika tak setuju dengan ide dari aktivis #2019GantiPresiden, 
harusnya pihak yang menentang, dalam hal ini para pendukung pasangan Joko 
Widodo-Ma'ruf Amin mengirimkan aktivis terbaiknya untuk beradu argumentasi saat 
diskusi tersebut berlangsung.

 

"Kalau mau diskusi silakan, kalau tidak suka dengan isi diskusinya, kirim dong 
aktivis pro Jokowi buat debat di sana kalau memang jagoan," desaknya.

 

Atau paling tidak, lanjut Menko Perekonomian era Presiden RI Abdurahman Wahid 
(Gus Dur) ini, para pendukung Jokowi-Ma'ruf membuat hashtag ataupun diskusi 
tandingan. 

Atau tidak suka dengan acaranya, buat juga acara sendiri yang lebih hebat. 
Tandingan. Selama ini juga terjadi yang di kubu Jokowi boleh buat acara," 
tukasnya. [lov]

Von: temu_er...@yahoogroups.com [mailto:temu_er...@yahoogroups.com] 
Gesendet: Mittwoch, 29. August 2018 02:32
An: undisclosed-recipients:
Betreff: [temu_eropa] Fwd: [GELORA45] Rizal Ramli: Kirim Dong Aktivis Pro 
Jokowi Debat Kalau Memang Jagoan

 

 

 

Baca juga :

 

 

 PROSES DEMOKRASI INDONESIA DI ERA ``REFORMASI´´

..

Pemilu hanyalah merupakan proses mekanisme politik. Pemilu bukan substansi dari 
Demokrasi!!!. Demokrasi adalah gerakan besar-besaran dari masyarakat luas 
melawan tatanan ekonomi,politik dan hukum neoliberal, yang menindas dan 
menghalangi adanya perubahan tatanan sosial yang lain, yang dalam konteks ini 
adalah kembali ke UUD 45 dan Pancasila 1 Juni 1945, yang memungkinkan rakyat 
untuk dapat merubah struktur masyarakat neoliberal, yang memihak pada 
neokolonialisme, dan Feodalisme, sehingga bangsa Indonesia dapat menjalankan 
tugasnya untuk menyesaikan tugas-tugas Revolusi Indinesia, yang menuju pada 
suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang sudah kita setujui bersama. 

 

Saya tidak bisa menyamakan demokrasi dengan pemilu dan politik pemilu. Sejarah 
politik Indonesia selama 73 tahun Merdeka; dan di era ``reformasi`` yang penuh 
dengan contoh paradigma demokrasi, yang telah menghasilkan stagnasi yang 
kacau-balau, dan demokrasi yang mambrul-adul, yang telah menguasai negara ini 
untuk waktu yang lama ( 20 tahun ``reformasi``), telah menyengsarakan kaum 
Buruh,Tani, dan pekerja lainnya termasuk rakyat kecil pada umumnya; kecuali itu 
juga menolak utuk memikirkan nasib generasi masa depan bangsa, yang  seharusnya 
menjadi hak mereka. Ini dibuktikan dengan utang luarnegeri NKRI yang semakin 
menjulang tinggi dan berkelanjutan, dapat dipastikan akan membebanni dan 
mengurangi kesejahteran hidup generasi-generasi bangsa masa depan.

 

Dan janganlah kita melupakan insting modern dari politik dan proses pemilihan 
umum pada tahun 2014,yang penuh dengan janji-janji kosong. Pemilu 2014 telah 
menghasilkan formasi sosial yang menimbulkan bencana perpecahan dan 
persaudaraan yang menyedihkan. Persoalannya adalah, karena pemilihan 2014 yang 
mereka lalkukan  hanyalah mekanisme politik, ia bukan  substansi dari 
demokrasi. Dampaknya adalah terjadinya perpecahan, yang terasakan sampai detik 
ini,massa menjadi terbelah, Ulamapun terbelah partai-partai politik pecah dll. 
Hukum, Polisi dan Militer telah dijadikan alat yang hanya menjaga kenyamanan 
``demokrasi``yang disesuaikan dengan kepentingan rezim neoliberal yang berkuasa.

 

Harus difahami bahwa Demokrasi adalah sebuah gerakan besar-besaran rakyat 
jelata terhadap suatu rezim  yang menindas,  dan  merintangi  penggantian 
tatanan (sistem) sosial yang lain, yang mendorong rakyat untuk dapat 
merestrukturisasi kekuasaan mereka, dengan cara  membentuk politik dan tatanan 
hukum yang tepat, yang membuka pintu bagi kembalinya NKRI ke jalan 
konstitusinal negata kita yaitu UUD 45, khususnya adalah Pasal 33 UUD 45, dan 
Pancasila 1 Juni 1945.

 

Bisa dipercaya bahwa proses demokrasi hanya bisa bertahan, selama gerakan 
rakyat terus berkelanjutan dengan semangat dinamis dan revolusioner. Jika ini 
bisa terjadi, maka akan menjadi nyata sebagai titik balik dalam sejarah 
Indonesia. 

 

Hal ini menjadi jelas pada hari ketika doktrin kenegaraan kita yaitu konsitusi 
UUD 45, khususnya Pasal 33 UUD 45 dan Pancasila 1 Juni 1945, yang diperjuangkan 
kembali oleh gerakaan reformasi 1998, tapi sayangnya gerakan tersebut kini 
telah kehabisan tenaga. Karena tidak ada lagi daun dan akar yang tersisa. 
Rakyat tidak memiliki kesempatan internasional untuk mengeksploitasi seperti di 
masa lalu, kareana bangsa ini telah kehilangan kedaulatannya sebagai bangsa. 
Ketika  rezim ``reformasi``bergrak menuju ke doktrin neoliberal dari hari ke 
hari, sehingga rakyat tidak memiliki masa depan sebagai suatu bangsa yang 
mandiri di NKRI. 

Darisini jelas karena adanya pergantian sistem dalam sejarah kita, yaitu dari 
amanat Proklamasi menerdekaan 17 Austus 1945 yang mengabdi pada amanat 
penderitaan rakyat, yang mengacu pada terbebtuknya masyarakat yang adil dan 
makmur; telah dirubah menjadi amanat ideologi neoliberal, yang mengabdi pada 
kepentingan negara-negara neoliberal pimpinan imperialismr AS.

 

Oleh karena itu kita harus mempunyai kehendak  revolusioner untuk kembali ke 
UUD 45 naskah asli dan Pancasila  1 Juni 1945, dan menggalang persetujuan 
seluruh rakyat Indonesia untuk  mendukung tuntutan-tuntukan kultural Proklamasi 
kemerdekaan kita yaitu : Pembebasan, Demokrasi Pancasila, emansipasi, dan jati 
diri sebagai bangsa yang mandiri di suatau Negara Keasuan Republik Indonesia 
(NKRI). 

 

Dan itulah yang  akan menjadi awal dari Demokrasi kita di tahun 2018. 
Mobilitasi dan kemunculan persepakatan seluruh rakyat Indonesia, sehinga 
menghasilkan pola pikir dan budaya yang berbeda secara kuantitatif, dengan 
budaya  penguasa neoliberal; kareana budaya Pancasila dan Bineka Tunggal Ika, 
yang sudah kita setujui bersama sudah menjadi jiwa dan syarat persatuan kita, 
maka akan dapat menghasilkan demokrasi yang nyata, yaitu Demokrasi Pancasila 
dalam artian yang luas, dibidang ekonomi, politik dan budaya, yang prinsipnya 
adalah kembali pada UUD 45 naskah asli dan Pancasila 1 Juni 1945.

 

Roeslan.

 

 

 

 

 

Bacajuga_._,_.___



Kirim email ke