----- Pesan yang Diteruskan ----- Dari: ChanCT sa...@netvigator.com 
[GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com>Kepada: GELORA_In 
<GELORA45@yahoogroups.com>Terkirim: Kamis, 15 Agustus 2019 04.24.58 GMT+2Judul: 
[GELORA45] Fwd: Jalan Panjang Film Bumi Manusia, 20 Tahun Lalu Pramoedya Ananta 
Toer Tolak Hanung Bramantyo
     
 


 
 
 
 -------- 轉寄郵件 -------- 
| 主旨:  | Jalan Panjang Film Bumi Manusia, 20 Tahun Lalu Pramoedya Ananta Toer 
Tolak Hanung Bramantyo |
| 日期:  | Wed, 14 Aug 2019 15:07:46 +0800 |
| 從:  | ChanCT <sa...@netvigator.com> |
| 到:  | GELORA_In <GELORA45@yahoogroups.com> |

 
 
 
 
 
Jalan Panjang Film Bumi Manusia, 
 
 
20 Tahun Lalu Pramoedya Ananta Toer Tolak Hanung Bramantyo 
 
NIBRAS NADA NAILUFAR 
 
Kompas.com - 14/08/2019, 06:00 WIB 
 
 
 
Pramoedya Ananta Toer.(KOMPAS/LASTI KURNIA) 
 
Di suatu hari antara 1996 atau 1997, Hanung Bramantyo muda mengendarai motornya 
ke rumah Pramoedya Ananta Toer di Bojong Gede dari Jakarta.
 
Kala itu, Hanung tengah menjalani ujian tengah semester di semester III 
Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ia berniat untuk memfilmkan Nyai Ontosoroh, 
tokoh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. 
 
Hanung terpikat dengan sosok Ontosoroh, seorang "simpanan" orang Belanda dan 
pengajar yang cerdas dan tegar. 
 
Sesampainya di rumah Pram, Hanung disambut ramah. 
 
Ia berpindah dari kursi di hadapan Pram ke sebelahnya. Pram beralasan 
pendengarannya rusak karena dihajar tentara. 
 
Di samping telinga Pram, Hanung mengutarakan keinginannya memfilmkan sosok Nyai 
Ontosoroh untuk ujiannya. 
 
Sayangnya, permintaan Hanung langsung ditolak. Pram berujar, "Film ini ditawar 
Oliver Stone 60 ribu dollar saya tidak kasih." 
 
Hanung seperti diminta membeli hak untuk adaptasi sosok Nyai Ontosoroh. 
 
"Sorry banget ya Bung, bukannya saya materialistis, tapi saya hidup dari novel. 
Cuma ini yang saya jadikan pegangan hidup saya untuk keluarga dan saya 
sendiri," kata Hanung menirukan omongan Pram saat itu, kepada Kompas.com. 
 
Dengan hati ciut, Hanung pulang ke Jakarta. 
 
Ia sedih, namun juga tak bisa menyalahkan Pram atas alasan yang ada benarnya 
itu. 
 
Namun siapa sangka, dua dekade kemudian, Hanung menjadi sutradara besar dan 
mendapat kehormatan mengantarkan Bumi Manusia ke layar lebar. "Bumi Manusia ini 
bukan pekerjaan buat saya. Ini ibadah," kata Hanung. 
 
Ia mencurahkan jiwanya untuk Bumi Manusia. Tak peduli jika dianggap merusak 
novelnya. 
 
"Kalau ada yang bilang Hanung mengkomersialisasikan sastra, ketemu lah saya di 
Bojong dengan Pak Pram," kata Hanung berkelakar. 
 
Jalan panjang Bumi Manusia 
 
Bumi Manusia adalah novel pertama dari tetralogi karya Pram. Tiga novel 
berikutnya adalah Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. 
 
Keinginan untuk memfilmkan Bumi Manusia sudah muncul di awal era reformasi. 
Bumi Manusia dari tetralogi Buru adalah novel Pram yang terbesar. 
 
Novel itu ditulis dengan penuh perjuangan ketika Pram dipenjara oleh Orde Baru 
di Pulau Buru sekitar tahun 1969-1979. 
 
Baca juga: Pramoedya Ananta Toer dan Bumi Manusia, Perlawanan dari Dalam 
Penjara 
 
Setelah bebas dan Orde Baru lengser, Pram mendapat berbagai tawaran kontrak 
atas hak memfilmkan Bumi Manusia, termasuk dari Oliver Stone. 
 
Konon, Stone batal membuat film itu lantaran gagal menemukan pemain, terutama 
untuk tokoh Annelies. 
 
Pilihan Pram pun akhirnya jatuh pada Hatoek Soebroto, pemilik rumah produksi 
Elang Perkasa Film. Dua tahun sebelum meninggal di 2006, Pram menandatangani 
kontrak dengan Hatoek. 
 
Hatoek kemudian mengajak Leo Sutanto, pemilik Sinemart untuk menggarap film 
yang diperkirakan bakal memakan biaya besar ini. 
 
Awalnya, Riri Riza, Mira Lesmana, dan Jujur Prananto yang ditunjuk untuk 
menggarap produksi film Bumi Manusia. 
 
 
 
Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer: Bumi Manusia, Anak Semua 
Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. (KOMPAS.com/ HERU MARGIANTO) 
 
Namun entah bagaimana, nasib film Bumi Manusia dari Elang Perkasa-Sinemart 
hilang begitu saja. 
 
Hingga akhirnya pada 2007 muncul kabar film Bumi Manusia akan difilmkan oleh 
Garin Nugroho dengan penulis skenario Armantono. Sayangnya, ketika proses 
persiapan sudah mencapai 80 persen, Garin mundur lantaran Bumi Manusia tak bisa 
difilmkan sesuai visinya. 
 
Sekitar 2008, Hanung yang kala itu tengah mendulang sukses dari Ayat-ayat Cinta 
sempat ditawari menyutradarai Bumi Manusia oleh Hatoek dengan Deddy Mizwar  
sebagai produser. 
 
Hanung saat itu langsung menerima tawaran, bahkan rela tak dibayar. Sayangnya, 
keberuntungan belum berpihak pada Hanung. 
 
Film Bumi Manusia kembali diambil alih oleh Mira Lesmana. Sejak 2010 hingga 
2012, Mira menyiapkan produksi film. Mulai dari mencari pemain, lokasi, riset, 
hingga pendanaan. Usaha Mira tak berhasil. 
 
Ia kekurangan dana dan tak kunjung mendapatkan investor. 
 
Hingga akhirnya pada 2014, rumah produksi Falcon Pictures membeli hak adaptasi 
Bumi Manusia dan karya Pram lainnya, yakni Perburuan. 
 
Produser Falcon, HB Naveen, menunjuk Anggy Umbara untuk menyutradari Bumi 
Manusia. "Officially saya pegang (film) Gundala, tiba-tiba di perjalanan 
kontrak dengan Falcon membuat Jomblo, Benyamin, dan lainnya, lalu Pak Naveen 
tanya mau enggak garap (adaptasi) Harimau Harimau karyanya Mochtar Lubis, saya 
bilang mau. 
 
Waktu itu bercandanya saya sutradarai novelnya rivalnya Pak Pram (Lekra) yaitu 
Manikebu (Mochtar Lubis)," ujar Hanung. 
 
Entah karena keberuntungan atau memang sudah takdirnya, Hanung sekali lagi 
ditawari menjadi sutradara Bumi Manusia. Ia langsung mengiyakan tawaran itu 
tanpa berpikir dua kali. 
 
Tak peduli kritik 
 
Hanung mengaku tak ada kesulitan sama sekali dalam mengadaptasi novel Bumi 
Manusia menjadi adegan film. 
 
Perjalanan Minke dalam permerintahan kolonial Belanda digambarkan dengan apik 
oleh Pram. "Pak Pram itu saya enggak tahu belajar dari mana jadi penulis, saya 
baca Bumi Manusia ternyata Pak Pram menggunakan struktur tiga babak, yang 
digunakan seluruh dunia," kata Hanung. 
 
Hanung tak perlu merombak struktur cerita maupun alurnya. Pram, kata dia, 
seolah-olah sudah merancang Bumi Manusia untuk diadaptasi ke bentuk lainnya. 
 
Kata Hanung, inilah kehebatan Pram yang membuat novel-novelnya menjadi 
mahakarya klasik. 
 
"Itu memudahkan kami untuk mengupas, beda dengan novelis sekarang, mereka itu 
curhat, udah curhat yang baca banyak. Itu yang membuat ketika diadaptasi ke 
film kita kesulitan," kata Hanung. 
 
Begitu pula dengan pemilihan pemain. Sekitar 60 persen pemain di Bumi Manusia 
adalah keturunan Belanda. 
 
Yang mengejutkan, mereka sudah membaca Bumi Manusia di sekolah. Kesulitannya, 
kata Hanung, justru ada di pemeran lokal. 
 
 
 
Hanung Bramantyo sutradara film Bumi Manusia saat promo film di Kantor Redaksi 
Kompas.com, Menara Kompas, Jakarta, Selasa (23/7/2019). Film Bumi Manusia yang 
diadaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer akan mulai diputar di bioskop 
15 Agustus mendatang.(KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)   
 
Bumi Manusia yang berlatar kehidupan di tahun 1898 hingga 1918 ini diperankan 
oleh mereka yang saat ini terbilang masih remaja. "Karena mereka ini hidup di 
era milenial yang serba enak. Sekarang mereka harus memainkan drama di mana dia 
harus jadi tamu di negerinya sendiri," ujar Hanung. 
 
Soal pemilihan aktor, Falcon Pictures termasuk Hanung sempat ditentang 
habis-habisan karena memilih Iqbaal Ramadhan. Hanung mengaku, pada awalnya ia 
sendiri meragukan sosok Iqbaal. 
 
"Saya sama lah kayak kalian semua. Oh come on, Dilan main jadi Minke? Come on," 
kata Hanung. 
 
Namun ketika menonton Dilan, Hanung cukup terkesan dengan Iqbaal. Pasalnya, 
Iqbaal mampu mengucapkan rayuan gombal tanpa terkesan picisan. Keterpukauannya 
makin bertambah ketika ia tahu Iqbaal pernah meresensi novel Bumi Manusia saat 
bersekolah di Kanada. Ia pun langsung sepakat Minke diperankan Dilan. 
 
"Setelah dari Dilan dia ada peningkatan di sini. Bagus atau tidak itu relatif. 
Saya memberikan ruang anak itu untuk tumbuh," ujar Hanung. 
 
Hanung tak peduli jika filmnya dianggap tak sesuai dengan buku maupun latar 
waktu dan tempat. Yang terpenting, kata Hanung, membuat anak-anak sekarang 
menikmati karya Pram. 
 
"Ketika saya buat Bumi Manusia, yang membuat rileks adalah saya tidak akan 
mengejar pujian sesuai pembaca novelnya. Sorry banget, saya enggak mau jadi 
itu. Itu bikin saya stres," kata dia. 
 
"Yang saya kejar adalah saya harus melihat bahwa karya Pak Pram yang saya baca 
sembunyi-sembunyi saat itu harus dibaca dengan perasaan gembira oleh anak-anak 
ini. That's it. Sisanya itu urusan Tuhan," lanjut dia. 
 
Di zaman Orde Baru, karya-karya Pram dilarang beredar. 
 
Mereka yang ingin menikmati buku-buku Pram harus melakukannya 
sembunyi-sembunyi. 
 
Saat peluncuran poster Bumi Manusia di Jakarta pada 19 Juni 2019 lalu, Hanung 
sampai menangis sesenggukan melihat para remaja bersorak gembira. 
 
Kepada mereka, Hanung bercerita ketika SMA, ia membaca Bumi Manusia 
sembunyi-sembunyi takut ditangkap polisi. Ia bersyukur betapa hari ini karya 
Pram masih bisa hidup, bahkan dirayakan oleh generasi muda. 
 
"Kalau Pak Pram di sini, nangis dia. Dia kan menulis dari bungkus rokok di 
penjara dan diselundupkan naskah itu. Makanya kalau sekarang dirayakan mungkin 
memang jalannya Tuhan seperti itu," tutup Hanung.
 
 Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jalan Panjang Film Bumi 
Manusia, 20 Tahun Lalu Pramoedya Ananta Toer Tolak Hanung Bramantyo", 
https://entertainment.kompas.com/read/2019/08/14/060000110/jalan-panjang-film-bumi-manusia-20-tahun-lalu-pramoedya-ananta-toer?page=all..
 
 Penulis : Nibras Nada Nailufar
 Editor : Heru Margianto
  
 
|  | 不含病毒。www.avg.com  |

     

Kirim email ke