----- Pesan yang Diteruskan ----- Dari: 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com>Kepada: GELORA_In <gelor...@yahoogroups..com>Terkirim: Kamis, 15 Februari 2018 04.30.11 GMT+1Judul: [GELORA45] Pakar: UU MD3 Persoalan Serius dalam Demokrasi Indonesia
Pakar: UU MD3 Persoalan Serius dalam Demokrasi Indonesia Kamis, 15 Februari 2018 | 8:39 http://sp.beritasatu.com/home/pakar-uu-md3-persoalan-serius-dalam-demokrasi-indonesia/122818 Ilustrasi Gedung DPR/MPR. [Istimewa] Berita Terkait - UU MD3 Seharusnya Akomodasi Kewenangan DPD - UU MD3 Tidak Cerminkan Negara Hukum - PAN Belum Berencana Dukung Revisi UU MD3 - UU MD3 Kembali Digugat Ke MK - Irman Gusman : DPD Kemungkinkan Ajukan Yudisial Riview Terhadap UU MD3 [JAKARTA] Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan revisi Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pengesahan UU ini menuai polemik lantaran terdapat sejumlah pasal yang kontroversial. Setidaknya terdapat tiga pasal yang dinilai bermasalah, yakni Pasal 73 mengenai pemanggilan paksa terhadap pejabat negara atau warga masyarakat oleh DPR dengan melibatkan kepolisian; Pasal 122 huruf (k) menambah kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mengambil langkah hukum terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR; serta pasal 245 yang memperkuat hak imunitas DPR, setiap pemanggilan dan permintaan keterangan kepada DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapatkan pertimbangan MKD. Penambahan kewenangan MKD ini bertentangan dengan putusan MK yang sebelumnya telah membatalkan pasal tersebut dalam putusan uji materi UU nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 pada 2015 lalu. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menegaskan, UU MD3 ini akan menjadi persoalan serius dalam demokrasi di Indonesia. Feri menduga, DPR mengesahkan UU ini sebagai upaya agar pusat kekuasaan berada di tangan parlemen. "UU MD3 ini akan menjadi masalah serius dalam demokrasi. Saya menduga ini merupakan upaya untuk membangun oligarki DPR sehingga pusat kekuasaan ada di parlemen," kata Feri kepada SP, Rabu (14/2). Feri menjabarkan, Pasal 73 UU MD3 membuat DPR dapat memanggil paksa terhadap siapapun dan lembaga manapun, termasuk lembaga independen seperti KPK dan KPU. Pasal ini akan berbahaya lantaran KPU sebagai penyelenggara pemilu seharusnya dilindungi dari upaya intervensi oleh anggota DPR yang merupakan peserta pemilu. Selain KPU, DPR juga dapat 'menggunakan' pasal ini untuk mengintervensi KPK yang berulang kali menolak memenuhi undangan rapat Pansus Angket. "Jika diperhatikan, Pasal 73 itu dapat melakukan panggilan terhadap siapa saja, termasuk memanggil KPK, KPU dan lembaga-lembaga independen lainnya secara paksa. Padahal seperti KPU sebagai penyelenggara pemilu mereka harus dilindungi dari upaya peserta pemilu (anggota DPR) dari potensi intervensi. Pasal ini membuka ruang itu apalagi menjelang tahun politik. Ketentuan ini tentu juga menjadi khusus karena bisa mengintervensi KPK yang dalam beberapa kesempatan menolak panggilan DPR," katanya. Feri menyatakan, antikritik DPR sangat terasa dengan adanya aturan dalam Pasal 122 UU MD3 yang baru disahkan. Padahal, rakyat sebagai pemegang kedaulatan seharusnya dapat mengkritik DPR yang merupakan representasinya. "Terkait Pasal122 kesan antikritik terhadap rakyat sangat terasa. Padahal parlemen sebagai wakil rakyat diberi imunitas untuk mengeritik pemerintah. Kok rakyatnya mengeritik DPR tidak boleh. Aneh. Seharusnya rakyat sebagai pemegang kedaulatan harus lebih imuni lagi," tegasnya. Feri menegaskan Pasal 245 UU MD3 secara jelas merupakan rencana DPR membangun tameng untuk melindungi anggotanya yang terlibat tindak pidana termasuk korupsi dari sentuhan aparat penegak hukum. Apalagi, pasal ini bertentangan dengan putusan MK karena menambahkan peran Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebelum mendapat izin Presiden. "Paling penting pasal ini bertentangan dgn putusan MK karena menambahkan peran MKD memberi pertimbangan sblum mendapatkan izin presiden," katanya. Feri menegaskan menggugat UU MD3 melalui uji materi ke MK saat ini merupakan pilihan buruk. Hal ini lantaran Ketua MK telah dijatuhi sanksi etik karena bertemu dengan Komisi III DPR. Feri khawatir, uji materi ini hanya akan melegitimasi UU MD3. "MK telah menjadi perpanjangan kepentingan dpr dalam melegitimasi kepentingan politik DPR. Sebaiknya menunggu sampai Arief mundur terlebih dulu. Jangan sampai diuji sekarang malah UU MD3 memperoleh legitimasi konstitusional dari putusan MK," tegasnya. Namun, di sisi lain, Feri menilai publik menghadapi pilihan berat dengan membiarkan UU MD3 tidak diuji. Untuk itu, Feri menyatakan, penolakan terhadap UU MD3 harus terus didengungkan melalui berbagai saluran. "Pilihan publik tentu menjadi berat membiarkan UU bermasalah tersebut tidak diuji. Kondisi tersebut harus diatasi dengan terus menyatakan penolakan, baik langsung ke anggota DPR, media sosial maupun membuat petisi bersama untuk menolak," tegasnya. [F-5]