From: 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] 
Sent: Sunday, May 13, 2018 2:26 AM
  



https://nasional.tempo.co/read/1088154/tragedi-trisakti-dan-cerita-diktat-bernoda-darah-hafidhin-royan

Tragedi Trisakti dan Cerita Diktat Bernoda Darah 

Hafidhin Royan 
Reporter: 
Caesar Akbar
Editor: 
Juli Hantoro
Sabtu, 12 Mei 2018 14:20 WIB 
 
Suasana kamar Hafidhin Royan di rumahnya, Jalan Sirnagalih, Kota Bandung, 29 
April 2018. Tempo/Caesar Akbar

TEMPO.CO, Jakarta - Kamar itu masih seperti 20 tahun lalu saat Tragedi Trisakti 
pecah. Buku-buku dan diktat kuliah Hafidhin Royan tersimpan rapi di lemari. 
Sunarmi Junus kemudian menunjuk satu buku yang terdapat noda berwarna coklat. 
“Itu buku terakhir yang dia bawa, warna coklat di diktat itu bercak darah,” 
ujar Sunarmi saat menemani Tempo melihat kamar anaknya di Jalan Sirnagalih, 
Bandung, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Hafidhin Royan adalah mahasiswa 
jurusan Teknik Sipil Universitas Trisakti yang gugur ditembus peluru aparat 
saat aksi unjuk rasa 12 Mei 1998 lalu.

Tragedi Trisakti itu memukul keluarga Sunarmi Junus.  Ayah Hafidhin, Enus 
Junus, menjadi orang yang sangat terpukul atas kematian anaknya yang ditembak 
aparat. Sebagai seorang pegawai negeri saat itu, Enus yang telah lama mengabdi 
pada negara harus menghadapi kenyataan pahit: Anaknya dibunuh justru oleh 
aparat negara.

Huda Nurjanti, kakak Hafidhin Royan berkisah, sejak Tragedi Trisakti yang 
menewaskan 4 mahasiswa termasuk sang adik, bapaknya itu kerap mengliping 
berita. Ia pun rajin merawat kamar anaknya. Semua barang milik anak lelaki 
satu-satunya di keluarga itu dia pajang.  "Awalnya, hanya untuk dinikmati oleh 
Bapak, hingga akhirnya tersebar dari mulut ke mulut oleh orang-orang," kata 
Huda.

Baca juga: 20 Tahun Reformasi: Halte 12 Mei Pengingat Tragedi Trisakti

Ibu Hafidhin Royan, Sunarmi Junus, 76 tahun di rumahnya, Jalan Sirnagalih, Kota 
Bandung, 29 April 2018. Tempo/Caesar Akbar

Kamar itu seperti bercerita tentang Tragedi Trisakti yang ikut menghilangkan 
nyawa Hafidhin Royan. Peristwa 20 tahun lalu itu terpatri dari foto-foto yang 
dipajang di sana. Sebuah pigura berisikan tulisan, “Perjuanganmu akan kami 
teruskan sampai titik darah penghabisan” terpampang di dinding berbaur dengan 
foto, lukisan, poster band, tempelan kucing Garfield, pajangan mobil 
Volkswagen, hingga piagam milik Hafidhin.

Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 lalu berawal dari unjuk rasa yang digelar 
kampus biru itu untuk menuntut reformasi. Kondisi negara yang saat itu sedang 
kritis dengan ekonomi yang hancur membuat mahasiswa turun ke jalan untuk 
menuntut pergantian rezim. Mahasiswa Trisakti yang turun ke jalan awalnya 
berunjuk rasa dengan damai. Mereka bahkan sempat membagikan bunga kepada polisi 
yang berjaga.

Tapi saat matahari tergelincir di sore hari, suasana tiba-tiba berubah chaos. 
Aparat keamanan menembakkan gas air mata dan peluru dari senjata laras 
panjangnya. Heru P Sanusi, dosen Universitas Trisakti ingat betul, bunyi desing 
peluru yang mengenai dinding kampus. Heru pun menjadi saksi kebrutalan aparat 
yang menewaskan mahasiswanya. Ia mengangkat tubuh seorang mahasiswa yang 
ditembak di bagian lehernya. Mahasisa itu kemudian diketahui sebagai Hendriawan 
Sie yang kuliah di Fakultas Ekonomi.

Hendriawan menjadi korban bersama Hafidhin Royan, Elang Mulia Lesmana, Heri 
Hartanto. Sunarmi meyakini Hafidhin Royan ditembak dengan peluru tajam. "Lubang 
masuknya sebesar 0,6 sentimeter. Saat dibalik, batang otaknya sampai 
tersembul," ujar ibu lima anak itu. Dia menyebut darah itu mengenai ransel 
Hafidhin sebelum membercaki buku-buku di dalamnya.

Pada saat Tragedi Trisakti terjadi, Sunarmi tengah berada di Jakarta karena 
Huda, kakak Hafidhin baru saja melahirkan. Ia mendengar peristiwa itu melalui 
telepon dari seorang mahasiswa Trisakti. Sunarmi kemudian meluncur ke Sumber 
Waras. Ia menemui anaknya telah terbujur kaku dengan luka tembak di kepala.

"Ibu yang lain sempat pingsan, alhamdulillah saya masih diberi kekuatan," tutur 
dia. Sunarmi sekeluarga akhirnya mengantar Hafidhin untuk dimakamkan di 
belakang rumahnya di Bandung pada Rabu, 13 Mei 1998 sekitar pukul 06.00 WIB. 
Sebelum itu, jenazah Hafidhin telah terlebih dahulu diotopsi dan disemayamkan 
di kampus Trisakti.

Wafatnya Hafidhin, kata Sunarmi, sangat memengaruhi suaminya. "Bapak dan Pak 
Bagus (ayah Elang Mulya) stres berat karena meninggalnya anak kita, itu sangat 
tampak," ujar dia. Hampir setiap menjelang tanggal 12 Mei sang suami selalu 
merasa tak tenang. Sebab, setiap tahunnya kenangan yang hampir dilupakan 
suaminya itu kembali tampak menjelang tanggal tersebut.

Bahkan, Sunarmi merasa peristiwa itu pun memengaruhi alam bawah sadar suaminya. 
"Pernah ketika kami sahur bersama, Bapak terus ngomong yang aneh-aneh, 
memanggil Royan," tutur dia. Beban pikiran itu, ujar Sunarmi, kemudian 
memengaruhi kesehatan suaminya hingga akhirnya sang suami meninggal di usianya 
yang ke 64 tahun pada 2006 lalu.

Selain sang suami, Sunarmi menuturkan kematian Hafidhin juga memengaruhi anak 
bungsunya, Hayyu Rakhmia, yang kala itu masih duduk di bangku kelas 1 Sekolah 
Menengah Atas. "Nilainya jadi banyak merahnya," kata dia. "Biasanya kalau 
enggak bisa itu minta diajarin hafidin pas dia pulang."

Setelah 20 tahun reformasi, kasus meninggalnya empat mahasiswa Trisakti masih 
menyisakan tanya. Pemerintah memang telah menghukum beberapa polisi yang saat 
itu bertugas. Namun hingga kini tak diketahui dari mana perintah penembakan itu 
berasal dan siapa pucuk pimpinan yang bertanggung jawab.

Sunarmi geram, karena berbagai rekomendasi yang dikeluarkan tim gabungan 
pencari fakta tragedy Trisakti tak ditindaklanjuti pemerintah. Harapan sempat 
timbul di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu orang tua korban 
Tragedi Trisakti diundang ke Istana untuk pemberian gelar pejuang reformasi.

Suasana Malam Gelora, yang memperingati 20 tahun Tragedi Trisakti di Kampus A, 
Grogol, Jakarta, 11 Mei 2018. TEMPO/Maria Fransisca Lahur.

Sunarmi mengatakan di sisa usianya, dia masih mengejar tanggung jawab negara 
atas kematian sang anak. Hingga kini pemerintahan Joko Widodo, Sunarmi tetap 
menagih janji presiden yang pada saat kampanye mengatakan akan menuntaskan 
kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Baca juga: Prabowo Jenguk Ibunda Elang, Gerindra: Tak Terkait Trisakti

Sayang memang, orang yang diminta menangani masalah ini adalah Menteri 
Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto. Sunarmi mengatakan Wiranto 
memang pernah mengajak bertemu para orang tua korban, namun saat itu ia tak 
bisa hadir. Menurut Sunarmi, Wiranto yang saat itu menjadi Panglima Angkatan 
Bersenjata Republik Indonesia yang juga membawahi Polri harusnya ikut 
bertanggung jawab. “Harusnya bertanggung jawab.”

Keinginan agar Wiranto bertanggung jawab atas Tragedi Trisakti juga diungkapkan 
Lasmiyati. Ibunda Heri Hartanto itu mengatakan saat bertemu dengan orang tua 
korban Wiranto berjanji akan membicarakan masalah Tragedi Trisakti ini dengan 
Presiden Jokowi. Janji tinggalah janji. Lasmiyati kini masih tetap menuntut 
pemerintah melaksanakan janjinya mengungkap dalang penembakan di Trisakti. 
“Harusnya negara bertanggung jawab,” kata dia sebelum berziarah ke makam 
anaknya di Tanah Kusir pada Rabu 9 Mei 2018 lalu.








Kirim email ke