Another conspiration theory.

Oleh: Ndaru Anugerah
Apakah kita perlu panik tingkat dewa dalam menyikapi COVID-19?
Mungkin pernyataan Menkes Terawan yang menyatakan bahwa COVID-19 akan sembuh 
dengan sendirinya, patut dijadikan rujukan, walaupun terkesan sepele.
Kenapa?
Pertama, Terawan adalah sosok dokter, dan kedua beliau sekaligus sosok militer 
yang tahu pasti skenario apa yang sesungguhnya sedang dijalankan lewat _*panic 
global*_ yang dipicu oleh munculnya COVID-19 tersebut.
Lewat tulisan ini, sebagai rasa peduli saya kepada bangsa ini, saya akan coba 
mengulas secara lengkap tentang COVID-19 ini dari awal hingga bagaimana 
kemungkinan skenario akan dikembangkan ke depannya.
Karena panjangnya informasi yang akan saya sajikan, terpaksa tulisan ini akan 
saya potong menjadi 2 bagian.
Pada bagian pertama saya akan mengulas tentang skenario awal dan asal muasal 
COVID-19. Pada tulisan kedua nanti, saya akan analisa bagaimana kemungkinan 
skenario akan berlanjut.
AS, Juli 2019. Seorang anak muda di Baltimore sana, tengah mengisap rokok 
elektrik disaat santai. Tanpa disadari, setelah menghisap beberapa kali, sang 
pemuda lantas tersungkur dan sesak nafas.
Begitu dilarikan ke rumah sakit, ternyata sang pemuda naas tersebut divonis 
telah mengalami pneumonia akut akibat mengkonsumsi rokok elektrik.
Kejadian ini cepat menyebar ke 22 negara bagian di AS dengan total kematian 193 
orang. Dan penyebab kematian menurut AMA (American Medical Association) adalah 
aktivitas vaping dari rokok elektrik.
Namun para ilmuwan AS mengatakan bahwa kalo rokok elektrik nggak akan 
mengakibatkan pneumonia yang berujung kematian demikian cepat. Kemungkinan yang 
paling masuk akal adalah kematian itu dipicu oleh sejenis virus yang mampu 
menginfeksi sistem paru-paru manusia.
Dengan kata lain, virus corona-lah yang paling mungkin dituding sebagai 
penyebabnya.
Sebelum timbulnya pandemi tersebut di seantero Amrik, fasilitas utama bio-lab 
militer AS di Fort Detrick, Maryland, ditutup dengan tiba-tiba oleh CDC dengan 
alasan yang tidak dijelaskan.
Selidik punya selidik, salah satu karyawan CDC telah tewas akibat terserang 
virus Corona. Padahal Directur CDC, Robert Redfield sebelumnya mati-matian 
lewat keterangan pers-nya, bilang bahwa penyebab kematian staf-nya adalah flu 
Amerika.
Flu Amerika palalu peyang!
Dan berdasarkan data, yang ditenggarai sebagai Flu Amerika tersebut telah 
menyebabkan kematian sekitar 10 ribu orang di AS per Agustus 2019 yang lalu. 
Apakah flu Amerika disebabkan virus corona? Entahlah…
Satu yang pasti, penutupan pusat penelitian senjata biologis di Fort Detrick 
tersebut jelas menimbulkan kecurigaan internasional.
Kenapa proses penutupannya tanpa penjelasan? Kenapa juga semua laporan yang 
berkaitan dengan aktivitas di Fort Detrick dihancurkan oleh CDC tanpa sisa 
sedikitpun?
Apalagi, kasus pandemi akibat vaping rokok elektrik, muncul ke permukaan nggak 
lama setelah penutupan fasilitas bio-lab tersebut.
Tanggal 18 – 27 Oktober 2019, bertempat di Wuhan, berlangsung event 
internasional berjudul Conseil Intenational du Sport Militaire (CISM) alias 
Military Word Games. Dalam ajang olimpiade militer dunia tersebut, AS 
mengirimkan 200 personel militernya untuk berlomba.
Event ini berakhir, tepat 2 minggu sebelum kasus Wuhan merebak. Dan 2 minggu 
adalah masa inkubasi virus Corona.
Mungkinkah, US Army menyeludupkan virus tersebut ke Wuhan?
Pada saat yang bersamaan dengan ajang CISM, berlangsung event 201 yang digelar 
di John Hopkins Center for Health Security di kampus Institut John Hopkins yang 
terletak di Baltimore, Maryland AS.
Ajang 201 tersebut disokong penuh oleh Bill and Melinda Gates Foundation, Big 
Pharma (GAVI) dan nggak ketinggalan World Economic Forum (WEF).
Apa isi ajang tersebut?
Simulasi latihan pandemi tingkat tinggi yang diberi kode nCov-2019. Simulasi 
tersebut menghasilkan 65 juta total kematian di seluruh dunia dan membuat pasar 
keuangan internasional ambles sekitar 15%.
Anehnya, simulasinya kok pakai nama yang sama dengan nCov-2019 sebelum berganti 
nama menjadi COVID-19 saat ini? Apakah hanya kebetulan belaka?
Tidak lama berselang, tibalah saat yang ditunggu-tunggu. 
China bersiap merayakan hari raya Imlek. Hari yang sangat penting bagi orang 
China, karena saat tersebut orang biasanya berbondong-bondong pulkam untuk 
merayakan hari raya bersama keluarga tercinta.
Sialnya, wabah Wuhan melanda dan cepat tersebar justru ditengah keramaian hiruk 
pikuk orang. Imlek yang seharusnya dirayakan penuh kegembiraan, menjadi gagal 
total. Dan China nggak lama kemudian menerapkan status lockdown sebagai langkah 
antisipasi.
Dan China yang tengah leading saat trade-war digelar dengan Amerika, dipaksa 
mundur sejenak. Menurut kaca mata intelijen, siapa yang diuntungkan dari suatu 
peristiwa, dialah sosok dibalik peristiwa tersebut.
*Sebenarnya, darimana asal muasal COVID-19?*
Kristian Andersen seorang ahli biologi evolusi dari Scripps Research Institute, 
telah menganalisa urutan COVID-19 untuk merunut dari mana asal virus tersebut. 
Berdasarkan temuannya, dari 27 turunan virus Corona, ternyata berasal dari 1 
leluhur yang sama. (25/1)
Dan menurut para peneliti Jepang yang dipublikasi oleh televisi Asahi pada 
Februari lalu, mereka mengklaim bahwa virus Corona awalnya berasal dari AS dan 
bukan dari China.
“Sebanyak 14.000 kematian di AS yang katanya disebabkan oleh influenza, 
kemungkinan besar justru disebabkan oleh virus Corona,” begitu bunyi siaran 
pers-nya.
Ini jadi masuk akal, karena hanya AS lah yang memiliki induk alias ‘batang 
pohon’ dari semua 27 turunan virus Corona di seluruh belahan dunia. Tak 
terkecuali virus Corona di Wuhan, China.
Dan semua turunan itu dikembangkan di bio-lab militer AS Fort Detrick yang 
telah ditutup oleh CDC pada Juli 2019 lalu.
Bagaimana skenario akan dijalankan ke depannya?

COVID-19: Vaksinasi dan Uang Digital
Pada bagian pertama tulisan, saya sudah ungkapkan tentang asal muasal dan 
skenario panic global yang dimainkan lewat COVID-19 ini.
Skenario panic global akan memunculkan kekacauan dan juga keputusasaan. Dan 
menurut rumusannya, orang yang panik akan lebih mudah dimanipulasi oleh pihak 
yang dari awal merencanakan agendanya.
Siapa whistle blower dari panic global ini?
Tak lain adalah badan kesehatan dunia, tepatnya Tedros Adhanom Ghebreyeus 
sebagai Sekjen WHO saat ini. Tanpa pikir panjang, setiap negara ditekan 
habis-habisan dengan harapan segera menetapkan status tanggap darurat atas 
pandemi global COVID-19.
Siapa Tedros? Pada lain tulisan saya akan mengulasnya.
Padahal status tanggap darurat atas pandemi global COVID-19 jelas mengada-ada.
Kenapa?
Pertama, status tersebut hanya mungkin diterapkan jika dan hanya jika, tingkat 
kematian akibat infeksi telah mencapai angka lebih dari 12%.
Mari kita lihat datanya.
Berdasarkan data yang dirilis oleh John Hopkins University, kasus COVID-19 
telah mencapai 156.112 kasus di seluruh dunia (total 141 negara), dengan 
73..955 orang berhasil recover dan 5.829 orang mati (15/3). Artinya, tingkat 
kematiannya hanya 3,7%.
Di benua Eropa, bahkan tingkat kematiannya hanya 0,4%, dengan tingkat kematian 
terbesar ada di Italia yang mencapai sekitar 6,3%. Kenapa demikian banyak angka 
kematian di Italia? Karena Italia adalah negara kedua di Eropa yang 
menandatangani agreement dengan China lewat proyek BRI-nya.
Bahkan China, tempat dimana COVID-19 muncul ke permukaan, disaat peak 
season-nya, tingkat kematian hanya menyentuh angka 3%. Masih jauh dari angka 
12%..
Dan yang kedua, para ahli biotek China dan Jepang berkali-kali mengatakan bahwa 
COVID-19 generasi pertama yang menghantam China dan negara-negara sekitarnya 
(Korea Selatan, Jepang, Hong Kong) serta korban yang terinfeksi dibelahan dunia 
lainnya, 99,9% merupakan genom Mongoloid.
Nah kalo China yang bergenom Mongoloid, yang awalnya disasar COVID-19 kini 
telah pulih, (karena mereka mengkonsumsi obat yang disebut Interferon Alpha 2B 
(IFNrec) yang didatangkan khusus dari Kuba), ngapain juga dunia harus panik 
plus pakai acara lockdown segala?
Ini artinya, status yang disematkan Tedros atas COVID-19 jelas mengada-ada 
alias lebay.
Apakah Tedros sebagai peniup pluit nggak punya agenda terselubung dibalik 
upayanya membuat situasi dunia panik? Tentu sebaliknya, Rudolfo.
Inilah yang akan saya ulas pada tulisan kedua ini.
19-25 September 2019. Bertempat di New York sebuah aliansi yang bernama ID2020 
yang disponsori oleh World Economic Forum, mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi 
tentang Dampak Pembanguan Berkelanjutan dengan tema: “Rising to the Good ID 
Challenge”.
Nah hasil pertemuan tersebut kembali dimatangkan di Davos, Swiss pada Januari 
2020 yang lalu.
Apa isi kesepakatan tersebut?
Mereka akan mengeluarkan platform identitas digital di seluruh dunia. Dan 
Bangladesh telah ditunjuk sebagai negara perintis yang akan menerapkan program 
tersebut pada tahun 2020 ini.
Saat WHO mengeluarkan status darurat pandemi global, apa kira-kira yang mungkin 
dilakukan sebagai antisipasinya? Tak lain adalah upaya vaksinasi global.
(Makanya, dalam analisa saya terdahulu, vaksin COVID-19 memang sejatinya sudah 
ada, tinggal dikeluarkan saja pada waktunya nanti.)
Vaksinasi global ini akan bersifat memaksa kepada semua orang karena status 
gawat daruratnya tadi. Kalo perlu pakai bantuan pihak berwajib atau kalo perlu 
militer, sekalian. Yang nggak mau divaksinasi, maka harus siap dijebloskan ke 
penjara atau didenda, karena telah melanggar UU darurat.
Dan kalo sudah bicara vaksinasi global, siapa yang diuntungkan secara ekonomis 
dengan proyek dunia tersebut? Tak lain adalah Big Pharma dan GAVI (Global 
Alliance for Vaccines and Immunisation). Siapa mereka, saya pernah mengulasnya.
Mungkin kalo kita yakin bila yang disuntikkan nanti hanya vaksin COVID-19 
doang, kita bisa mahfum. Tapi kalo ada material yang lain?
Misalnya vaksin tersebut diberikan dengan tujuan terselubung yaitu untuk 
kontrol populasi dunia yang mulai nggak terkendali jumlahnya.
Dimasa depan, tiba-tiba muncul penyakit misterius yang bisa mengakibatkan 
orang-orang mati mendadak atau kejadian dimana para wanita kemudian mendadak 
mandul tanpa hal yang bisa dinalar akal sehat.
Kita patut curiga, mengingat Bill Gates merupakan seorang penyokong aliran 
kontrol over populasi.
Hal ini jadi klop saat Aliansi ID2020 merekomendasikan vaksinasi sebagai 
platform identitas digital.
Teknisnya?
Yang paling mungkin adalah bersamaan dengan proses vaksinasi tersebut, chip 
nano juga disuntikkan pada tubuh manusia. Chip nano inilah yang kelak digunakan 
sebagai penanda digital dengan sistem biometrik.
Tujuannya apalagi selain kontrol atas data pribadi orang diseluruh dunia. Dan 
yang terlebih penting adalah kontrol atas uang digital yang semuanya akan 
terkoneksi lewat digital ID tadi.
Jadi kalo ada orang yang berani bertindak menentang arus mainstream, maka virus 
dorman yang telah disuntikkan lewat vaksinasi tadi, akan diaktivasi dan orang 
tersebut bisa mati seketika. Atau mungkin juga rekening korannya di bank 
diblokir sehingga dia nggak bisa ngapa-ngapain lagi.
Jangan heran bila Dr. Tedros lewat WHO jauh-jauh hari sudah mengumandangkan 
seruan penggunaan uang digital sebagai pengganti uang konvensional.
“Penggunaan uang (terutama uang kertas) dapat meningkatkan penyebaran virus 
Corona,” begitu kurlebnya.
Sampai sini paham ya, skenario yang mungkin dijalankan ke depannya.
Makanya, saya berkepentingan untuk memberi dukungan moril buat Jokowi untuk 
menentang upaya WHO untuk menetapkan status gawat darurat pandemi COVID-19.. 
Dengan menetapkan status tersebut, maka akan membuka jalan badan kesehatan 
dunia tersebut untuk mengobok-obok Indonesia.
Ada baiknya pakde justru menggandeng China yang sudah berhasil keluar dari 
jebakan batman yang dibuat oleh Amrik. Setidaknya, dengan merapat ke China, 
langkah antisipasinya sudah berada pada jalur yang tepat.
Hopefully, this disaster will be overcome soon.
Salam Demokrasi!!
(Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone
  • [GELORA45] Another conspira... Al Faqir Ilmi alfaqiri...@yahoo.com [GELORA45]

Kirim email ke